Dalam tradisi intelektual Ismailiyah, hubungan antara nāṭiq (nabi pembawa syariat) dan ṣāmit (imam penerus makna batin) merupakan fondasi paling khas dalam memahami bagaimana agama bekerja pada dua tingkat, yaitu lahir dan batin.
Struktur ini lahir dari keyakinan bahwa wahyu tidak hanya perlu disampaikan dalam bentuk aturan dan hukum yang tampak, tetapi juga harus ditafsirkan secara mendalam agar tidak kehilangan ruh dan tujuan hakikinya.
Oleh karena itu, pemahaman agama dalam tradisi ini tidak berhenti pada aspek formal syariat, melainkan menuntut penyingkapan makna yang lebih dalam melalui otoritas keagamaan yang berkelanjutan.
Farhad Daftary menjelaskan bahwa pembagian otoritas antara nāṭiq dan ṣāmit merupakan mekanisme teologis khas Ismailiyah yang berfungsi menjaga kesinambungan makna wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad, sehingga ajaran agama tetap hidup dan relevan dalam lintasan sejarah.
Secara sederhana, nāṭiq adalah pihak yang “bersuara”. Ia membawa syariat yang tampak, aturan-aturan jelas yang dapat dipahami umat, sebagaimana Nabi Muhammad membawa wahyu terakhir. Namun bagi Ismailiyah, syariat yang tampak ini belum selesai tanpa kehadiran ṣāmit, yakni Imam yang “membisu” bukan dalam arti pasif, tetapi sebagai simbol bahwa ia tidak membawa syariat baru.
Kebisuannya adalah diam yang penuh makna, karena ia mewarisi dimensi batin dari wahyu tersebut. Dalam ta’wil, yaitu metode penyingkapan makna batin, peran ṣāmit menjadi sentral.
Paul Walker, dalam kajiannya tentang intelektual besar Ismailiyah Abu Ya‘qub al-Sijistani, menegaskan bahwa ta’wil bukan sekadar tafsir, melainkan usaha mengembalikan ayat pada “asal cahaya”-nya. Oleh karena itu, ṣāmit menjadi penerjemah dimensi terdalam dari apa yang dibawa nāṭiq.
Gambaran paling kuat mengenai hubungan dua otoritas ini muncul dalam Asās al-Ta’wīl. Yang mana mengibaratkan nāṭiq dan ṣāmit seperti siang dan malam, dua tanda yang keduanya berasal dari Allah namun memiliki fungsi berbeda. Siang diibaratkan sebagai imam yang membawa terang hukum lahiriah, sedangkan malam sebagai hujjah yang menyembunyikan rahasia batin. Teksnya berbunyi:
فمثل النهار الامام وقيامه بالظاهر ، ومثل الليل الحجة وستره للباطن وكتمانه ، وفي ذلك قال الله تعالى : وَجَعَلْنَا الَّيْلَ وَالنَّهَارَ اٰيَتَيْن
Artinya : “Maka perumpamaan siang adalah imam, karena ia menegakkan syariat lahir; dan perumpamaan malam adalah hujjah (ṣāmit), karena ia menutupi makna batin dan menyembunyikannya. Dan tentang hal ini Allah berfirman: ‘Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda…’.”
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa imam atau nāṭiq diibaratkan sebagai “siang” karena ia menampakkan dan menegakkan syariat lahir sebagaimana siang yang memberi terang. Sebaliknya, hujjah atau ṣāmit dipersamakan dengan “malam” karena ia menyembunyikan dan menjaga makna batin agar tidak diakses sembarangan, seperti gelapnya malam yang menutupi apa yang tidak layak tampak.
Kutipan ayat “وجعلنا الليل والنهار آيتين” menegaskan bahwa siang dan malam seperti halnya ẓāhir dan bāṭin adalah dua tanda yang saling melengkapi. Melalui perumpamaan ini, Asās al-Ta’wīl menegaskan bahwa agama berjalan melalui dua lapisan: syariat lahir yang tampak, dan makna batin yang dijaga oleh imam dan juga menunjukkan bahwa agama tidak mungkin berdiri hanya dengan syariat lahiriah, sebagaimana dunia tidak mungkin hanya siang tanpa malam. Syariat memberi bentuk, tetapi batin memberi ruh. Dan ruh itu hanya dipegang oleh Imam.
Oleh karena itu, dalam perspektif Ismailiyah, ibadah bukan sekadar ritual, tetapi isyarat simbolik yang menunjuk kepada makna yang lebih tinggi. Tanpa Imam, manusia hanya memegang bentuk luar agama. Ada gerak ritual, tetapi tanpa kunci yang membuka hakikat. Imamlah yang menjadikan syariat bukan sekadar aturan, tetapi jalan menuju pengetahuan terdalam.
Dalam konteks pendidikan Islam, relasi antara nāṭiq dan ṣāmit juga dapat dibaca sebagai kerangka pedagogis yang menegaskan bahwa proses pendidikan tidak berhenti pada penyampaian aturan dan pengetahuan lahiriah semata.
Syariat yang dibawa nāṭiq menyerupai materi ajar yang bersifat eksplisit dan terstruktur, sementara peran ṣāmit mencerminkan fungsi pendidik sebagai pembimbing makna yang menuntun peserta didik memahami dimensi batin dari ajaran agama.
Pendidikan, dalam perspektif ini, bukan sekadar transmisi hukum dan doktrin, melainkan proses pembentukan kesadaran spiritual melalui ta’wil, yakni penggalian makna di balik teks dan ritual. Dengan demikian, konsep nāṭiq–ṣāmit mengajarkan bahwa keberhasilan pendidikan Islam tidak hanya diukur dari kepatuhan formal terhadap syariat, tetapi juga dari kemampuan peserta didik menangkap ruh ajaran dan menginternalisasikannya dalam kehidupan. Pemahaman ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam idealnya berjalan seimbang antara aspek lahir dan batin, sebagaimana keseimbangan otoritas antara nabi pembawa syariat dan imam penjaga makna.
Melalui uraian mengenai relasi nāṭiq dan ṣāmit dalam tradisi Ismailiyah, artikel ini menunjukkan bahwa konsep tersebut terutama berfungsi sebagai kerangka intelektual untuk memahami bagaimana otoritas agama beroperasi dalam dua lapisan: lahir dan batin.
Penjelasan ini tidak dimaksudkan untuk mengarah pada pembenaran doktrinal tertentu, melainkan sebagai upaya akademik untuk membaca pemikiran klasik Islam dari perspektif sejarah intelektual. Diharapkan tulisan ini dapat membantu pembaca mengenali kekayaan ragam penafsiran dalam khazanah Islam tanpa harus terjebak pada penghakiman teologis yang sempit.
Kajian seperti ini penting bukan untuk meniru atau mengikuti suatu mazhab, melainkan untuk memperluas wawasan, memahami dinamika pemikiran umat Islam sepanjang sejarah, serta menumbuhkan sikap ilmiah yang kritis dan terbuka terhadap keragaman tradisi keilmuan.
Dengan demikian, pembahasan mengenai doktrin nāṭiq dan ṣāmit dapat ditempatkan sebagaimana mestinya: sebagai bagian dari studi pemikiran Islam yang kompleks, bukan sebagai ajakan menuju keyakinan tertentu. Semoga artikel ini bermanfaat bagi pengembangan literasi akademik dan mendorong penelitian lebih lanjut mengenai tradisi intelektual dalam Islam, khususnya dalam konteks kajian pendidikan Islam dan pengembangan pemahaman keagamaan yang kritis dan reflektif.

