Keislaman

Al-Kashshaf di Antara Kekaguman dan Kewaspadaan

4 Mins read

Mengagumi sebuah karya besar dalam khazanah Islam tidak selalu berarti menerimanya tanpa sikap kritis. Ada kitab-kitab yang memesona karena kejeniusannya, tetapi sekaligus menuntut kewaspadaan karena arah pemikirannya.

Al-Kashshaf, tafsir monumental karya al-Zamakhshari, berada tepat di wilayah itu. Ia dipuja sebagai mahakarya balaghah Al-Qur’an, namun juga dibaca dengan penuh kehati-hatian karena membawa jejak teologi Mu’tazilah. Dari sinilah perbincangan tentang al-Kashshaf selalu bergerak di antara dua kutub: kekaguman dan kewaspadaan.

Biografi Al-Zamakhshari dan Al-Kashshaf

Al-Zamakhshari lahir di Zamakhshar, Khawarizm, pada tahun 467 H. Ia hidup pada abad keenam Hijriah, masa yang sering disebut sebagai salah satu puncak kejayaan intelektual umat Islam. Pada periode ini, ilmu tafsir, bahasa Arab, fikih, dan kalam berkembang pesat dengan ragam pendekatan dan aliran pemikiran.

Al-Zamakhshari dikenal sebagai ulama dengan kecerdasan bahasa yang luar biasa. Ia menguasai nahwu, sharaf, dan balaghah dengan tingkat ketelitian yang jarang tertandingi. Namun, di balik kejeniusannya dalam bahasa, ia secara terbuka menganut teologi Mu’tazilah yakni sebuah pilihan yang membuat posisinya kerap diperdebatkan oleh ulama Ahlus Sunnah, terutama dalam isu-isu akidah seperti sifat Allah dan kehendak-Nya. Dari sosok inilah lahir sebuah karya tafsir yang memukau sekaligus mengundang kehati-hatian.[1]

Kejeniusan linguistik al-Zamakhshari menemukan puncaknya dalam al-Kashshaf. Dalam tafsir ini, ia tidak berhenti pada penjelasan makna ayat, tetapi menyelami keindahan susunan kata, ketepatan diksi, dan relasi makna yang tersembunyi dalam bahasa Al-Qur’an. Perhatiannya yang mendalam pada ‘ilm al-ma‘ānī dan ‘ilm al-bayān menjadikan al-Kashshaf bukan sekadar kitab tafsir, melainkan juga ruang belajar balaghah yang menyingkap keajaiban bahasa wahyu, sekaligus medan ujian bagi pembacanya untuk bersikap kritis dan bijak.[2]

Baca...  5 Ayat Al-Qur’an yang Sering Disalahpahami Tanpa Tafsir Tekstual

Salah satu ciri khasnya adalah metode tanya-jawab, yang sering muncul dalam bentuk فإنْ قلتَ (fa-in qulta) (jika engkau bertanya) dan قلتُ (qultu) (aku menjawab). Gaya ini membuat pembaca seolah diajak berdialog langsung dengan penulis, sehingga tafsir terasa hidup dan argumentatif.

Tak heran jika banyak ulama Ahlus Sunnah tetap merujuk al-Kashshaf dalam kajian bahasa, meski mereka tidak sepenuhnya menerima pandangan teologinya. Kejelian al-Zamakhshari dalam membedah struktur kalimat, pilihan diksi, dan keindahan balaghah menjadikan kitab ini kerap disebut sebagai “guru balaghah” bagi para penuntut ilmu tafsir.

Namun, kekuatan linguistik itulah yang sekaligus menuntut kewaspadaan. Di balik pesona bahasanya, al-Kashshaf juga memuat penafsiran yang sarat dengan kecenderungan Mu’tazilah, terutama pada ayat-ayat tentang kehendak Allah, perbuatan manusia, dan sifat-sifat ketuhanan. Dalam sejumlah bagian, analisis bahasa yang begitu halus tidak hanya menjelaskan makna, tetapi juga diarahkan untuk meneguhkan posisi teologi tertentu, sebuah sisi yang membuat kitab ini terus dibaca dengan sikap selektif dan kritis.

Contohnya dapat dilihat dalam penafsiran istilah ‘azm al-umūr yang muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Al-Zamakhshari menafsirkan istilah ini bukan hanya sebagai “tekad”, tetapi sebagai tindakan-tindakan besar yang menuntut keteguhan moral, kesabaran, dan kelapangan jiwa. Secara linguistik, penjelasannya sangat kaya dan memikat.[3] Namun, sebagian ulama menilai bahwa pendekatan semacam ini kadang diarahkan untuk menegaskan posisi teologi Mu’tazilah tentang peran manusia dalam menentukan tindakannya.

Reaksi Ulama: Antara Apresiasi dan Kritik

Respons ulama terhadap al-Kashshaf sangat beragam. Ibn al-Qayyim menilai bahwa tafsir ini kerap memantulkan pandangan Qadariyyah, terutama dalam pembahasan kehendak Allah. Tāj ad-Dīn as-Subkī bahkan menilai bahwa bagian-bagian yang sarat bias teologi seharusnya dihapus agar tidak menyesatkan pembaca awam.

Baca...  Integrasi-Interkoneksi Menurut Pandangan Amin Abdullah

Abū Ḥayyān al-Andalusī, penulis al-Bar al-Muḥīṭ, memberikan kritik yang sangat keras. Meski mengakui keindahan bahasa al-Kashshaf, ia menuduh al-Zamakhshari terlalu memaksakan pandangan mazhabnya dan keliru dalam menempatkan hadis.[4]

Di sisi lain, Ibn al-Munīr al-Mālikī memilih jalur yang lebih tenang dan sistematis. Ia menulis al-Intiṣāf sebagai upaya meluruskan kecenderungan Mu’tazilah dalam al-Kashshaf, tanpa menutup mata terhadap kecemerlangan bahasa al-Zamakhshari. Sikap ini memperlihatkan bahwa kritik ilmiah tidak selalu berarti menolak secara total, melainkan bisa menjadi bentuk penyaringan agar manfaat keilmuan tetap terjaga.[5]

Dari sini tampak satu pelajaran penting: kecemerlangan intelektual tidak selalu sejalan dengan ketepatan akidah. Sebuah karya bisa sangat indah, cerdas, dan berpengaruh, namun tetap perlu dibaca dengan sikap hati-hati. Al-Kashshaf mengajarkan bahwa kekaguman terhadap ilmu harus selalu disertai kewaspadaan iman.

Bagi penuntut ilmu, al-Kashshaf adalah ladang emas dalam balaghah dan kajian bahasa Al-Qur’an. Namun emas itu berada di tanah yang perlu disaring. Dibaca tanpa fondasi akidah yang kuat, ia bisa membingungkan. Dibaca dengan bimbingan dan kewaspadaan, ia justru memperkaya khazanah keilmuan.

Al-Kashshaf tetap menjadi warisan intelektual yang memikat sekaligus menguji kewaspadaan. Keindahan bahasanya membuat banyak ulama terpukau, sementara muatan teologinya mengingatkan bahwa ilmu harus selalu disertai kehati-hatian iman. Dari al-Zamakhshari, kita belajar bahwa peradaban Islam tumbuh bukan hanya dari karya-karya yang disepakati, tetapi juga dari karya-karya yang diperdebatkan, selama perdebatan itu melahirkan kedewasaan intelektual dan keteguhan akidah.

Referensi

Abror, Ahmad Syifa’ul. “Makna ‘Azm al-Umur Perspektif Az-Zamakhsyari: Analisis Pendekatan Semantik Dalam Tafsir al-Kasysyaf.” Jurnal Semiotika-Q: Kajian Ilmu al-Quran Dan Tafsir 4, no. 2 (July 2024): 423–44. https://doi.org/10.19109/jsq.v4i2.23720.

Baca...  Amtsal dalam Alquran: Cara Allah Mengajarkan Manusia Melalui Perumpamaan Yang Menghidupkan Hati

Al-Zamakhshari, Abd al-Qasim Mahmud ibn Muhammad ibn ‘Umar. Al-Kasyaf ‘An Haqaiq At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fii Wujuh At-Ta’wil. Beirut – Lebanon: Dar  Al-Marefah, 2009. https://archive.org/details/galerikitabkuningmaktabanakasyyaf/page/n14/mode/1up.

Mulyaden, Asep, Muhammad Zainul Hilmi, and Badruzzaman M. Yunus. “Manhaj Tafsir Al-Kasyaf Karya Al-Zamakhsyari.” Jurnal Iman Dan Spiritualitas 2, no. 1 (February 2022): 85–90. https://doi.org/10.15575/jis.v2i1.16492.

[1] Asep Mulyaden, Muhammad Zainul Hilmi, and Badruzzaman M. Yunus, “Manhaj Tafsir Al-Kasyaf Karya Al-Zamakhsyari,” Jurnal Iman Dan Spiritualitas 2, no. 1 (February 2022): 86, https://doi.org/10.15575/jis.v2i1.16492.

[2] Abd al-Qasim Mahmud ibn Muhammad ibn ‘Umar Al-Zamakhshari, Al-Kasyaf ‘An Haqaiq At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fii Wujuh At-Ta’wil (Beirut – Lebanon: Dar  Al-Marefah, 2009), 12, https://archive.org/details/galerikitabkuningmaktabanakasyyaf/page/n14/mode/1up.

[3] Ahmad Syifa’ul Abror, “Makna ‘Azm al-Umur Perspektif Az-Zamakhsyari: Analisis Pendekatan Semantik Dalam Tafsir al-Kasysyaf,” Jurnal Semiotika-Q: Kajian Ilmu al-Quran Dan Tafsir 4, no. 2 (July 2024): 423–44, https://doi.org/10.19109/jsq.v4i2.23720.

[4] Al-Zamakhshari, Al-Kasyaf ‘An Haqaiq At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fii Wujuh At-Ta’wil, 15.

[5] Al-Zamakhshari, Al-Kasyaf ‘An Haqaiq At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fii Wujuh At-Ta’wil, 16.

Related posts
KeislamanSejarah

Mengenal Mur'jiah Dalam Sejarah Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Murji’ah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti tetapi Imam Syahrastani menyebutkan…
Keislaman

Adat Atau 'Urf Dalam Fiqih Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Adat (‘adah) secara bahasa berarti sesuatu yang dikerjakan atau diucapkan berulang-ulang, sehingga dianggap baik dan diterima oleh jiwa dan akal sehat. Istilah…
Keislaman

Dua Ayat Satu Ruh, Membaca Al-Qur’an Bersama Al Razi

3 Mins read
Ada kata-kata dalam Al-Qur’an yang selalu terasa lebih dalam dari bahasa. Ruh adalah salah satunya. Ia sering disebut, tetapi jarang benar-benar dipahami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
KeislamanTafsir

Konsep Amthal dalam Al-Qur’an

Verified by MonsterInsights