Kuliahalislam.Mempelajari asal usul Roh ada kaitannya dengan masalah kekadiman atau kebaharuan Roh. Berdasarkan pendapat Plato, ahli filsafat Yunani mengatakan bahwa Roh itu Kadim. Roh atau jiwa manusia telah hidup sebelumnya di alam ide sebelum masuk ke jasad. Saat itu dia telah mempunyai pengetahuan atau Ma’rifat tentang sesuatu.
Akan tetapi karena satu hal, dia tidak mampu ikut bersama jiwa bintang-bintang di alam ide dan ia turun ke dalam badan atau jasad sebagai hukuman atas kelemahannya. Di sini ia lupa akan pengetahuannya selama berada dalam alam ide, tetapi dapat diingat kembali melalui usaha atau tafakur. Jika telah berpisah dengan jasad yang disebabkan adanya kematian, dia kembali ke alam ide, sedangkan yang tidak bersih akan berinkarnasi dalam berbagai jasad di dunia ini. Abu Bakar Ar- Razi juga memakai prinsip Kekadiman Roh seperti Plato.
Pendapat lain dari Aristoteles yang menyatakan bahwa manusia terdiri dari dua unsur yakni jasad atau materi dan Roh atau bentuk. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan; suatu jasad akan mati, maka jiwa juga akan mati bersamanya. Namun Aristoteles mengecualikan Nafs Natiqah dari kehancurannya karena dia mengandung unsur Ilahi yakni akal. Dalam hal ini berarti Roh tidak Kadim karena jiwa tak berfungsi tanpa adanya jasad, lagi pula jiwanya hanya merupakan kesempurnaan pertama bagi jasad.
Sebagian ahli bersikap diam dalam mempelajari asal usul Roh. Mereka mengemukakan alasan bahwa jiwa atau Roh itu adalah urusan Allah yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali hanya Allah (Q.S 17:85). Ibnu Qayyim al-Jauziyah sebagaimana para ulama, Filsuf Islam dan para Sufi berpendapat sama dengan Aristoteles karena pendapat kebaharuan Roh Aristoteles sesuai dengan ajaran Islam yakni yang Kadim hanya Allah, sedangkan Roh diciptakan (mahluk).
Selanjutnya Ibnu Qayyim mengatakan bahwa segala yang dinisbatkan kepada Allah ada dua macam. Pertama, yang tidak dapat berdiri sendiri yang memang bukan makhluk seperti sifat-sifat Allah. Kedua, yang dapat berdiri sendiri seperti dalam Al-Qur’an disebutkan Rasul Allah dan Roh Allah. Ini semua adalah makhluk Allah, dinisbatkan disebabkan kepada Allah bagi pemuliaan kepada Allah.
Ada yang mengatakan bahwa Roh diciptakan sebelum jasad dan ada pula yang mengatakan sesudah jasad. Pendapat yang mengatakan sebelum jasad didasarkan pada firman Allah yang artinya : ” Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat : Bersujudlah kamu kepada Adam”, (Q.S 7:11). Kata-kata “Summa” (kemudian) dalam ayat ini berarti urutan waktu. Dengan demikian penciptaan Roh mendahului perintah Allah kepada Malaikat untuk sujud kepada Adam, sedangkan jasad diciptakan sesudahnya. Hal ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm.
Adapun yang mengatakan bahwa Roh manusia menciptakan sesudah jasad, seperti Ibnul Qayyim, Suhrawardi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali, mendasarkan pendapat pada firman Allah yang artinya :” Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Roh ( ciptaan)-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”, (Q.S 38:71,72).
Juga berdasarkan hadis Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang mengatakan : ” Manusia dijadikan dalam perut ibunya sebagai nutfah selama 40 hari dan mudigah selama 40 hari, lalu Allah mengutus malaikat untuk meniupkan Roh kepadanya. Jika ia hidup sebelum jasad sedangkan ia hidup mengetahui dan berpikir maka tentu saja ia akan ingat hal itu pada waktu itu”, (H.R Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Tidak benar karena ketika Tuhan mengeluarkan manusia dari perut ibunya, ia tidak tahu apa-apa (Q.S 16:78).
Hubungan Roh dengan jasad dikemukakan antara lain oleh al-Farabi dan Imam Al-Ghazali. Al-Farabi mengatakan bahwa jiwa atau Roh merupakan bentuk bagi jasad di satu pihak dan Jauhar rohani di lain pihak. Roh selalu bekerja melalui jasad dan jasad membentuk sasaran Roh. Roh atau Jiwa tidak akan ada jika jasad tidak bersedia menerimanya.
Dalam hal kerja Roh atau jiwa ini, Imam Al-Ghazali membaginya ke dalam dua macam arti. Pertama, dalam arti material (Roh hewani) dan kedua dalam arti immaterial (Roh insani). Dalam arti pertama, jiwa adalah organ jasad yang bekerja sebagai perantara baik sebagai daya penggerak maupun daya yang mengetahui.
Dalam arti kedua, jiwa adalah Nafs Natiqah, dengan daya praktik dan teori ( Amali dan Nazari). Hubungan kedua macam jiwa ini dapat diketahui dengan Ilham ( ilmu mukasyaf), yang merupakan pembuka tabir hakikat hubungan keduanya karena kesulitan terletak pada perbedaan hakikat antara jiwa dan jasad.
Jiwa sebagai Jauhar rohani berasal dari alam Ilahi ( alam malakut) sedangkan jasad berasal dari alam kejadian (khalq). Namun yang jelas, menurut Imam Al- Ghazali, jasad bukan tempat Roh karena sifat Jauhar tidak tak mendiami tempat tertentu. Jasad hanyalah merupakan alat. Roh mendatangi jasad sebagai substansi yang juga diperlukan oleh jasad bantuannya.
Roh mengatur dan bertasarruf ( bertindak) pada jasad sebagaimana halnya raja dengan kerajaannya. Keperluan jiwa terhadap badan dapat diumpamakan dengan perlunya bekal bagi Musafir. Seseorang tidak akan sampai kepada Tuhan kalau Roh tidak akan mendiami jasadnya selama di dunia ini. Tingkat yang lebih rendah harus dilalui untuk sampai pada tingkat yang lebih tinggi.
Imam Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan Roh dengan jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi. Di sini Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal atau Roh, tetapi merupakan satu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat; itulah yang dinamakan manusia.
Al-Farabi menambahkan bahwa pada setiap jasad hanya ada satu Roh atau jiwa yang memiliki beberapa daya yang bekerja melalui organ tubuh, seperti daya makan yang utama merupakan materi bagi daya masa yang utama sedangkan daya merasa adalah bentuk bagi daya makan, daya merasa yang utama merupakan materi bagi daya khayal, sedangkan daya khayal merupakan bagi daya merasa yang utama, daya khayal utama adalah materi bagi daya berpikir yang utama sedangkan daya berpikir adalah bentuk bagi daya khayal dan ia bukan materi bagi daya-daya lain, melainkan bentuk bagi setiap bentuk yang terdahulu.
Pada umumnya ahli filsafat dan Sufi Islam mengakui kekekalan Roh, sebagaimana pendapat yang mereka ambil dari pemikiran Plato. Hal ini bertentangan dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa Roh akan lenyap bersama jasad karena keduanya tidak berdiri sendiri. Dalam Islam, Roh adalah jauhar rohani yang berbeda secara esensial dengan jasad.
Di sini pendapat al-Farabi tidak berbeda dengan filosof Islam lainnya tentang kekekalan Roh. Menurutnya kekekalan Roh itu bukan Roh perorangan tetapi Roh kolektif, yang di akhirat nanti Roh-roh yang masuk ke dalam jasad kembali bergabung dengan jiwa yang kekal (‘aql mustafad).
Ibnu Sina, Ikhwanu as-Safa’ dan Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Roh atau jiwa merupakan bentuk bagi jasad tetapi ia tidak fana dengan fananya jasad. Ia akan kekal secara individual setelah berpisah dari jasad bukan kolektif. Ibnu Rusyd lebih mendasari kekekalan Roh dari pemahaman Wahyu daripada filsafat. Dia mengatakan bahwa ” Manakala Wahyu telah mengajarkan dalam syariat secara menyeluruh bahwa jiwa itu kekal setelah matinya jasad, jika ia bersih akan berlipat ganda kebersihannya, jika ia kotor akan bertambah kotor pula ia dan akan sengsara atas kejadian yang dilakukannya itu”.
Lebih jauh lagi Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Roh itu adalah Jauhar rohani yang tidak hancur bersama jasad. Kematian itu sendiri tidak mengenai Roh atau jiwa, tetapi merupakan perubahan hal keadaan Roh sedangkan zatnya sendiri kekal. Kematian jasad disebabkan jasad tidak lagi bisa menuruti perintah Roh. Karena itu keabadiannya juga bersifat individual, bukan kolektif. Inilah yang membawa para ahli filsafat dan Sufi Islam pada kesimpulan bahwa alam akhirat nanti adalah berbentuk alam rohani bukan alam jasmani.

