Keislaman

Sab’ah Ahruf: Rahasia Kemudahan Membaca Al-Qur’an

4 Mins read

Al-Qur’an Al-Karim merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW, yang berfungsi sebagai petunjuk (huda), pembeda (furqan), dan penyembuh (syifa) bagi umat manusia. Keajaibannya tidak hanya terletak pada kandungannya yang sempurna, tetapi juga pada cara penurunannya dan keluwesannya dalam penerimaan.

Salah satu aspek yang mencerminkan keluwesan ini adalah konsep Sab’ah Ahruf, yang secara harfiah bermakna “tujuh huruf”. Konsep ini menunjuk pada izin dan rukhsah (keringanan) dari Allah SWT kepada Nabi-Nya untuk mengajarkan Al-Qur’an dalam tujuh dialek atau cara bacaan yang berbeda yang dikenal oleh bangsa Arab pada masa turunnya wahyu.

Landasan utama dari konsep ini adalah sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab ra: “Sesungguhnya Tuhanmu menyatakan: Bacalah Al-Qur’an dengan satu huruf. Maka aku memohon (keringanan), dan aku terus memohon hingga Dia berfirman: Bacalah dengan tujuh huruf.” (HR. Muslim). Hadis ini secara gamblang menunjukkan bahwa keberagaman cara baca ini bersumber langsung dari wahyu Ilahi, bukan ciptaan manusia, dan merupakan bentuk kemudahan yang diberikan Allah SWT kepada umat ini.

Hikmah di balik diturunkannya Al-Qur’an dalam tujuh huruf ini sangatlah agung dan penuh kasih sayang. Bangsa Arab, meskipun bersatu dalam bahasa Arab yang fasih, memiliki perbedaan dialek dan logat antar kabilahnya yang signifikan. Suku Quraisy, Hudzail, Tsaqif, dan lainnya memiliki cara pengucapan, kosakata, dan struktur kalimat yang sedikit berbeda.

Seandainya Al-Qur’an hanya diturunkan dalam satu dialek (logat Quraisy misalnya), hal ini akan memberatkan kabilah lain dalam menghafal, memahami, dan melafalkannya. Oleh karena itu, Sab’ah Ahruf merupakan solusi Ilahi untuk memudahkan semua pihak tanpa mengurangi kesucian dan keotentikan wahyu.

Rasulullah SAW pun menegaskan hal ini dalam sabdanya: “Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Masing-masing huruf (cara baca) itu cukup (memberi petunjuk) dan membawa kesembuhan, selama kamu tidak mencampurkan ayat tentang azab dengan ayat tentang rahmat, atau sebaliknya.” (HR. Abu Ya’la). Dengan demikian, kemudahan ini menjaga universalitas Al-Qur’an sejak awal, menjangkau semua lapisan masyarakat Arab dengan latar belakang linguistik yang beragam.

Baca...  Rahasia-rahasia Puasa Menurut Imam Al-Ghazali

Fenomena ini juga menjadi bukti nyata dari janji Allah SWT dalam firman-Nya: وَلَقَدْ يَسَّرْنَا ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ – “Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17). Kemudahan yang disebutkan dalam ayat ini mencakup berbagai aspek, termasuk kemudahan dalam menghafal, memahami, dan sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama kemudahan dalam melafalkannya melalui Sab’ah Ahruf.

Ini adalah wujud nyata dari sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Ia tidak ingin menjadikan agama ini sebagai beban yang menyusahkan, melainkan rahmat bagi seluruh alam. Konsep Sab’ah Ahruf dengan demikian bukanlah suatu kelemahan atau pertentangan dalam Al-Qur’an, melainkan sebuah kekayaan dan dimensi lain dari kemukjizatannya yang abadi, yang hanya diberikan kepada umat Nabi Muhammad SAW.

Hubungan dengan qira’at sab’ah dan kodifikasi Utsmani

Perjalanan sejarah umat Islam pasca wafatnya Rasulullah SAW membawa perkembangan penting terkait Sab’ah Ahruf. Pada masa Khalifah Utsman bin Affan ra, wilayah Islam telah meluas hingga ke Persia, Syam, dan Afrika. Para sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an berasal dari berbagai latar belakang qira’at yang mereka pelajari langsung dari Nabi.

Mulailah muncul perbedaan bacaan yang dapat memicu perselisihan, bahkan hingga tuduhan “kesalahan” antar kelompok. Melihat potensi fitnah ini, Khalifah Utsman mengambil langkah bijaksana dan monumental. Beliau membentuk panitia yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit ra untuk menyalin dan menyatukan Al-Qur’an ke dalam satu mushaf induk dengan rasm Utsmani (tulisan tertentu yang dapat menampung berbagai qira’at yang sahih), yang kemudian dikirim ke berbagai pusat wilayah. Mushaf lain yang tidak sesuai dibakar.

Kebijakan Khalifah Utsman ini sering disalahpahami sebagai penghapusan Sab’ah Ahruf. Padahal, sebenarnya ini adalah penyelamatan dan pengaturan. Yang disatukan adalah tulisan (rasm) dalam satu mushaf, sementara bacaan (qira’at) yang mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang dari banyak orang, mustahil bersepakat dusta) dan sahih sanadnya hingga kepada Nabi SAW tetap diakui dan dipelihara. Inilah kemudian yang melahirkan ilmu Qira’at Sab’ah (Tujuh Bacaan).

Baca...  Menyingkap Rahasia Shalat Tahajjud: Kedamaian Jiwa dan Kedekatan Ilahi

Qira’at Sab’ah adalah penjabaran praktis dan ilmiah dari Sab’ah Ahruf yang tetap terjaga setelah proses kodifikasi. Qira’at ini dinisbatkan kepada tujuh imam qira’at ternama seperti Nafi’ al-Madani, Ibn Kathir al-Makki, Abu ‘Amr al-Bashri, ‘Asim al-Kufi, Hamzah al-Kufi, al-Kisa’i al-Kufi, dan Ibn ‘Amir asy-Syami. Masing-masing imam memiliki dua perawi utama, sehingga dikenal “dua jalur dari setiap imam.”

Untuk membedakannya: Sab’ah Ahruf adalah konsep awal pemberian keringanan dari Allah, sedangkan Qira’at Sab’ah adalah sistem bacaan yang terkodifikasi yang mewakili dan merupakan bagian dari Sab’ah Ahruf yang masih tersisa dan mutawatir. Tidak semua variasi dari masa Sab’ah Ahruf bertahan; hanya yang memenuhi syarat ketat periwayatanlah yang dilestarikan.

Hal ini sejalan dengan firman Allah:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).

Penjagaan Allah terhadap Al-Qur’an tidak hanya pada teks tulisannya (mushaf Utsmani), tetapi juga pada bacaan lisan (qira’at mutawatirah) yang turun-temurun dari generasi ke generasi melalui sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.

Contoh praktis perbedaan qira’at:

Perbedaan qira’at bukanlah perbedaan yang kontradiktif, melainkan saling melengkapi dan memperkaya makna. Mari perhatikan Surah Al-Fatihah ayat 3:

Bacaan mayoritas (Riwayat Hafs dari ‘Asim): مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ (Maliki yaumid din)

Bacaan lain (Riwayat Warsy dari Nafi’): مَلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ (Maliki yaumid din) – tanpa alif setelah mim.

Kedua bacaan ini sahih dan mutawatir. Bacaan pertama (مَٰلِكِ) menekankan makna “Pemilik yang mutlak” dari Hari Pembalasan, sementara bacaan kedua (مَلِكِ) menekankan makna “Raja yang berkuasa” pada hari tersebut. Kedua makna ini benar dan saling menguatkan, memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang keagungan Allah SWT.

Relevansi bagi muslim kontemporer:

  1. Pelajaran Toleransi Berlandaskan Ilmu: Sab’ah Ahruf mengajarkan bahwa perbedaan yang memiliki landasan otentik (sanad shahih) bukanlah alasan untuk berselisih, tetapi justru kekayaan warisan yang harus dihormati. Ini adalah fondasi toleransi yang benar dalam masalah agama.
  2. Motivasi Mempelajari Ilmu Tajwid dan Qira’at: Memahami sejarah ini memotivasi kita untuk tidak asal dalam membaca Al-Qur’an, tetapi berusaha mempelajarinya sesuai dengan kaidah tajwid dan melalui guru yang sanadnya bersambung (talaqqi), demi menjaga otentisitas bacaan.
  3. Mengokohkan Keyakinan: Proses sejarah dari Sab’ah Ahruf hingga kodifikasi Utsmani dan pelestarian qira’at membuktikan betapa umat Islam diberi kehormatan oleh Allah untuk menjadi penjaga kitab-Nya, baik secara tulisan maupun lisan.
  4. Fokus pada Pengamalan: Di tengah keberagaman qira’at yang sahih, pesan utama tetap sama: perintah untuk beribadah hanya kepada Allah, berakhlak mulia, dan menjauhi kemungkaran. Allah berfirman: كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ إِلَيْكَ مُبَٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ – “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad: 29). Tujuan akhir dari mempelajari qira’at adalah untuk mendekatkan diri dan mentadaburi maknanya.
Baca...  Menyingkap Rahasia Roh Dalam Islam

Daftar Pustaka

Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya.  Al-Qur’an dan Terjemahannya (Edisi Penyempurnaan 2019). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kementerian Agama RI, 2019.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 2000.

Al-Munawar, Said Agil Husin. I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Diya Press, 2005.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1999.

Al-Atsari, Abdullah bin Abdul Hakam. Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an (Utsmani dan Ibn Mas’ud). Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2007.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan). Jakarta: Widya Cahaya, 2010.

Fathoni, Muhammad. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya: Penerbit Al-Miftah, 2016.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih (Terj.). Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2003. (Bab tentang Qira’at sebagai Sumber Hukum).

Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur’an. Jakarta: Karya Mulia, 1993.

2 posts

About author
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
KeislamanSejarah

Mengenal Mur'jiah Dalam Sejarah Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Murji’ah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti tetapi Imam Syahrastani menyebutkan…
Keislaman

Adat Atau 'Urf Dalam Fiqih Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Adat (‘adah) secara bahasa berarti sesuatu yang dikerjakan atau diucapkan berulang-ulang, sehingga dianggap baik dan diterima oleh jiwa dan akal sehat. Istilah…
Keislaman

Dua Ayat Satu Ruh, Membaca Al-Qur’an Bersama Al Razi

3 Mins read
Ada kata-kata dalam Al-Qur’an yang selalu terasa lebih dalam dari bahasa. Ruh adalah salah satunya. Ia sering disebut, tetapi jarang benar-benar dipahami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Setelah Gagal Mencuri Terong, Allah Karuniakan Seorang Isteri

Verified by MonsterInsights