Dinamika politik Islam di kawasan minoritas selalu menghadirkan ketegangan antara identitas, representasi, dan strategi menghadapi marginalisasi. Dua figur yang sering dijadikan contoh dalam spektrum tersebut adalah Malcolm X, ikon Muslim kulit hitam yang bernuansa konservatif-revolusioner, dan Zohran Mamdani, politisi muda Muslim di Amerika yang hadir membawa wajah Islam liberal-progresif. Keduanya hidup dalam konteks dan generasi berbeda, tetapi sama-sama berjuang melawan ketidakadilan dan Islamofobia. Melalui pembacaan lintas waktu, kita dapat memahami transformasi cara Muslim minoritas berpolitik, dari pembentukan identitas perlawanan menuju integrasi dalam demokrasi plural.
Malcolm X: Konservatisme Moral dan Politik Perlawanan
Malcolm X lahir pada 1925 dan tumbuh dalam konteks keras rasisme Amerika. Jalan hidupnya yang berliku—dari kriminalitas, penjara, hingga bergabung dengan Nation of Islam—menjadikannya figur sentral bagi kebangkitan Muslim kulit hitam. Dalam fase awal, Malcolm memandang Islam sebagai agama moral dan disiplin sosial yang dapat membebaskan komunitasnya dari degradasi moral akibat penindasan struktural. Ia menekankan pentingnya self-discipline, self-defense, dan pemurnian moral sebagai fondasi pembebasan bangsa kulit hitam (lihat biografi Malcolm X di Britannica).
Model konservatisme Malcolm X bukan konservatisme politik modern ala kanan-nasionalis, melainkan konservatisme moral dan sosial berbasis nilai Islam. Menurut The Autobiography of Malcolm X (lihat ringkasan Grokipedia), Islam baginya adalah benteng identitas yang memulihkan martabat kulit hitam. Ia menolak integrasi yang dipaksakan dan lebih memilih solidaritas internal sebagai basis kekuatan.
Perubahan besar terjadi setelah ibadah haji tahun 1964. Melihat jemaah dari berbagai ras yang bersatu, Malcolm meninggalkan doktrin rasial Nation of Islam dan menuju Islam ortodoks yang universal. Pandangannya meluas: Islam tidak lagi hanya pembebasan kulit hitam, tetapi sistem moral universal untuk keadilan. Meskipun dibunuh pada 1965, warisan Malcolm tetap hidup: Islam sebagai resistensi struktural, identitas, dan etika perjuangan (lihat Britannica).
Zohran Mamdani: Politik Islam Progresif dan Integrasi Demokratis
Tujuh dekade setelah Malcolm X, komunitas Muslim Amerika menghadapi tantangan berbeda: Islamofobia pasca-9/11, narasi terorisme, serta diskriminasi sistemik dalam kebijakan dan media. Dalam konteks ini muncul Zohran Mamdani, politisi muda kelahiran Kampala tahun 1991 yang dibesarkan di New York dalam lingkungan urban yang plural (lihat biografi Mamdani di Wikipedia).
Mamdani merepresentasikan gelombang baru politik Islam minoritas. Identitas Muslim tidak ia tampilkan sebagai simbol perlawanan eksklusif, melainkan sebagai nilai moral yang melekat pada perjuangan keadilan sosial. Sebagai anggota legislatif New York yang kini berkompetisi menjadi wali kota Muslim pertama di kota tersebut (lihat laporan AA News dan Kompas Global), ia memperjuangkan isu-isu progresif: perumahan terjangkau, hak pekerja, layanan publik inklusif, dan anti-diskriminasi.
Politik Mamdani tidak menekankan isolasi identitas, tetapi justru memperkuat representasi dan keterlibatan Muslim dalam institusi demokratis. Ia hadir sebagai bukti bahwa minoritas tidak hanya dapat melawan stigma, tetapi juga memimpin kota terbesar di Amerika. Narasi politiknya menunjukkan bahwa Islam dapat berjalan berdampingan dengan pluralisme dan kebijakan publik modern (lihat analisis DW–Detik News).
Spektrum Politik Islam Minoritas: Dua Jalan, Satu Tujuan
Perbandingan antara Malcolm X dan Zohran Mamdani menunjukkan bahwa politik Islam di kawasan minoritas tidak pernah hadir sebagai satu bentuk tunggal. Ia selalu berada dalam spektrum ideologis yang luas, ditentukan oleh konteks sosial-historis yang melingkupi para aktornya. Malcolm X, misalnya, hadir dengan gaya konservatif-revolusioner yang berakar pada kebutuhan untuk mempertahankan moralitas, identitas, dan solidaritas internal komunitas Muslim kulit hitam. Islam baginya bukan hanya agama, tetapi benteng pertahanan, ruang pemurnian moral, sekaligus alat perlawanan struktural terhadap rasisme yang sangat nyata dan brutal. Ia hidup pada masa ketika penindasan rasial bukan sekadar wacana, melainkan pengalaman sehari-hari yang menuntut respons keras dan terorganisir. Karena itu, Islam dalam pandangan Malcolm merupakan fondasi untuk membangun harga diri dan kebanggaan identitas, sehingga komunitasnya dapat bertahan di lingkungan sosial yang memusuhi mereka.
Berbeda dengan Malcolm, Zohran Mamdani lahir dan berjuang dalam dinamika politik kota besar yang plural, demokratis, dan sarat isu-isu kebijakan publik modern. Islam yang ia bawa lebih mencerminkan wajah liberal-progresif, di mana nilai-nilai keadilan sosial, representasi politik, dan inklusivitas menjadi orientasi utama. Mamdani tidak menampilkan Islam sebagai identitas komunal tertutup, tetapi sebagai etika sosial yang mendorong solidaritas lintas kelompok. Dalam posisinya sebagai politisi yang bekerja dari dalam institusi, ia berupaya menunjukkan bahwa Muslim dapat menjadi aktor penting pembangunan demokrasi, bukan ancaman bagi tatanan sosial. Di tangan Mamdani, Islam tidak diposisikan sebagai tembok pemisah, tetapi sebagai jembatan yang menghubungkan beragam komunitas melalui perjuangan bersama untuk hak-hak dasar dan kesejahteraan publik.
Jika Malcolm berjuang dari luar struktur kekuasaan melalui radikalisme identitas, Mamdani bekerja dari dalam sistem melalui reformasi kebijakan. Meski metode keduanya bertolak belakang, tujuan mereka tetap serupa: melawan ketidakadilan dan memulihkan martabat Muslim minoritas. Inilah bukti bahwa politik Islam minoritas tidak statis; ia fleksibel, adaptif, dan selalu mencari bentuk yang paling efektif sesuai zaman.
Islamofobia dan Perubahan Strategi
Islamofobia menjadi unsur penting dalam membaca transformasi strategi politik Muslim minoritas. Pada masa Malcolm X, Islam bukan target utama diskriminasi; rasisme anti-kulit hitam jauh lebih dominan. Karena itu, respons Malcolm berpusat pada penguatan batas identitas, pembentukan komunitas internal yang solid, dan penolakan terhadap integrasi palsu yang menurutnya hanya memperkuat dominasi kulit putih. Ia mendorong berdirinya komunitas Muslim yang tertata, tertib, dan siap menghadapi permusuhan eksternal. Bagi Malcolm, menjaga jarak dari sistem yang tidak adil adalah bentuk pertahanan dan perlawanan.
Berbeda dengan konteks Malcolm, Mamdani berhadapan langsung dengan Islamofobia yang menjadi wacana arus utama pasca-9/11. Di Amerika modern, identitas Muslim itu sendiri dapat memicu kecurigaan, prasangka, dan diskriminasi kebijakan. Karena itu, strategi Mamdani tidak bisa menggunakan pendekatan isolasi seperti Malcolm. Ia memilih mengatasi Islamofobia melalui integrasi politik, keterlibatan langsung dalam lembaga demokrasi, dan menunjukkan melalui kerja nyata bahwa Muslim bukan ancaman, tetapi bagian integral dari solusi terhadap masalah sosial perkotaan. Dengan tampil terbuka sebagai Muslim progresif, Mamdani menantang narasi Islamofobia dari dalam sistem yang memproduksinya.
Perbedaan strategi ini memperlihatkan satu pelajaran penting: politik Islam minoritas tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah, tekanan sosial, dan bentuk diskriminasi yang mereka hadapi. Setiap generasi Muslim minoritas membutuhkan model perjuangan yang sesuai dengan kondisi zamannya.
Keberhasilan Dua Model Politik Islam Minoritas
Keberhasilan Malcolm X dapat dilihat dari pengaruh jangka panjangnya yang melampaui batas waktu hidupnya. Ia menjadi simbol global perlawanan terhadap ketidakadilan dan rasisme, sekaligus membuka jalan bagi kebangkitan Muslim kulit hitam Amerika. Islam yang ia tonjolkan sebagai sumber harga diri dan identitas telah menginspirasi banyak generasi untuk menemukan kekuatan spiritual dan politik dalam ajaran agama.
Sebaliknya, keberhasilan Zohran Mamdani tampak dalam struktur politik konkret. Kiprahnya dalam jabatan publik penting di New York membuktikan bahwa Muslim minoritas bisa menjadi bagian dari elite politik tanpa mengorbankan identitas moralnya. Ia mampu memengaruhi kebijakan, memperjuangkan hak kelompok rentan, dan menjadi representasi penting bagi generasi muda Muslim yang ingin terlibat dalam pemerintahan.
Jika Malcolm mewakili kemenangan moral dan ideologis, Mamdani mewakili kemenangan institusional. Bersama-sama, keduanya menunjukkan bahwa umat Islam minoritas memiliki dua strategi sah: memperkuat komunitas dari luar sistem atau memperbaiki sistem dari dalam. Tidak ada yang lebih unggul, karena keduanya lahir dari kebutuhan zamannya.
Dari Malcolm X hingga Zohran Mamdani, perjalanan politik Islam minoritas menggambarkan dinamika panjang dalam merespons penindasan, diskriminasi, dan Islamofobia. Malcolm menawarkan konservatisme moral dan perlawanan identitas sebagai jalan pembebasan, sementara Mamdani menghadirkan integrasi demokratis dan reformasi kebijakan sebagai jalan perubahan. Meski keduanya berjalan di jalur berbeda, keduanya memperlihatkan bahwa Islam minoritas tidak hanya menjadi objek marginalisasi, tetapi juga subjek aktif yang mampu mengubah tatanan sosial dan politik.
Di tengah meningkatnya Islamofobia global, kisah dua tokoh ini mengingatkan bahwa Islam memiliki kapasitas besar untuk memperjuangkan martabat, keadilan, dan solidaritas baik melalui resistensi identitas yang tegas maupun melalui kerja kebijakan yang inklusif. Perbedaan strategi bukanlah perpecahan, melainkan kekayaan cara umat Islam dalam meneguhkan keberadaan mereka di tengah dunia yang terus berubah.

