Menelisik Tekstualisme Khawarij
Dalam diskursus tafsir Islam, kelompok Khawarij termasuk salah satu cabangnya, Ibadi sering diidentikkan sebagai golongan yang sangat tekstualis. Mereka dikenal kaku dalam memahami makna lahiriah ayat, terutama ketika menghadapi ayat-ayat antropomorfisme yang menyebut “tangan”, “wajah”, atau “datangnya” Tuhan.
Namun, di tengah tradisi yang dikenal rigid ini, muncul fenomena yang sungguh menarik: Muhammad bin Yusuf al-Itfisy. Mufassir dari tradisi Ibadi ini justru menolak pemaknaan harfiah ayat-ayat sifat Tuhan, dan sebaliknya, ia memilih pendekatan takwil (interpretasi metaforis) yang cenderung rasional dan anti-antropomorfisme.
Sikap Al-Itfisy ini sangat signifikan karena ia seolah “menerobos pakem” mazhabnya sendiri, membuktikan bahwa tradisi Khawarij tidak seseragam dan sekeras yang sering dibayangkan. Ia menafsirkan ayat-ayat sifat dengan makna metaforis, mengarahkannya pada konsep kekuasaan, kemuliaan, atau keagungan Tuhan, dan menolak keras sifat fisik literal. Pendekatan unik ini menempatkan Al-Itfisy pada posisi kunci dalam sejarah intelektual Islam: seorang Khawarij yang berani mentakwil.
Siapa Sang Mujtahid Ibadi Ini?
Muhammad bin Yusuf bin Isa bin Shalih Athfisy al-Wahaby al-Ibady, atau yang lebih sering disingkat Al-Itfisy, adalah ulama yang lahir di Wadi Mizabiy, wilayah Aljazair (Al-Maghrib) sekitar tahun 1236 Hijriah.
Dari kisah hidupnya, kita tahu bahwa Al-Itfisy bukanlah ulama sembarangan. Beliau dikenal memiliki karakter yang sangat zuhud (asketis) dan wara’ (saleh). Kecintaannya terhadap ilmu begitu mendalam hingga ia memulai kegiatan belajar dan menulis sejak usia belasan tahun (sekitar 16 tahun), dengan fokus awal pada ilmu qira’at. Konon, saking tingginya etos keilmuan beliau, diceritakan bahwa beliau tidak pernah beristirahat (tidur) melebihi empat jam dalam semalam.
Al-Itfisy adalah penganut mazhab Khawarij Ibadiyah, yang secara umum dianggap sebagai sekte Khawarij yang paling moderat. Produktivitasnya luar biasa; total karyanya diperkirakan mencapai kurang lebih 300 kitab dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari Nahwu, Sharaf, Balaghah, Falak, hingga Hadits dan Fiqih. Beliau wafat pada usia 96 tahun, tepatnya 23 Rabi’ al-Akhir 1322 H.
Hamyan al-Zad: Mahakarya Pembela Teologi
Di antara ratusan karyanya, yang paling monumental di bidang tafsir adalah Hamyan al-Zad ila Dar al-Ma’ad. Kitab tafsir ini, yang tebalnya mencapai 13 jilid besar (atau ada yang menyebut 14 jilid), menjadi rujukan penting bagi golongan Ibadiyah. Karena ditulis oleh seorang berideologi Ibadiyah, kitab ini diklasifikasikan sebagai tafsir al-I’tiqadi (tafsir bercorak teologi) yang bertujuan memberikan legitimasi teologis bagi pandangan sekte Ibadiyah.
Al-Itfisy menyusun tafsir ini menggunakan metode tahlili (analitis), mengikuti urutan surah dalam mushaf dari juz pertama hingga terakhir. Dalam penafsirannya, ia menunjukkan penguasaan yang luas, melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti Lugah (Bahasa), Nahwu (Gramatika), Balaghah (Retorika), perbedaan pendapat Fiqh, hingga isu-isu Ilmu Kalam (teologi).
Sumber utamanya tentu Al-Qur’an, namun ia juga menyertakan hadis, pandangan ulama, kisah israiliyat (sebagai penguat), dan logika (pemikirannya). Meskipun terkadang ia mencantumkan hadis dha’if (lemah) atau maudu’ (palsu) tanpa menjelaskan derajatnya, serta kadang mengabaikan konteks ayat, dalam isu takwil, ia sangat konsisten menggunakan nalar metaforis.
Menerobos Pakem: Ketika Tangan dan Datang Berarti Kuasa
Inti dari perbedaan Al-Itfisy dengan kelompok Khawarij tekstualis lainnya terletak pada interpretasinya terhadap ayat-ayat yang secara zahir (lahiriah) menyiratkan sifat fisik bagi Tuhan. Bagi Al-Itfisy dan kaum Ibadi, sifat-sifat Tuhan harus dikembalikan kepada prinsip {ليس كمثله شيء} “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya”. Memahami sifat-sifat Allah secara harfiah hingga menyerupai-Nya dengan makhluk dianggap sebagai bentuk syirik. Berikut adalah beberapa contoh kunci bagaimana Al-Itfisy, sebagai seorang ulama Khawarij-Ibadi, menolak antropomorfisme:
- Kedatangan Tuhan (QS. Al-Fajr: 22)
Ayat {وَجاَء َربُّك} yang berarti “Dan datanglah Tuhanmu”, oleh Al-Itfisy dipahami bukan sebagai kedatangan Allah secara fisik, melainkan sebagai datangnya perintah-Nya, atau tampilnya tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Ia menjelaskan bahwa ini adalah ungkapan metaforis. Kekuasaan Allah terlihat begitu nyata, layaknya seorang penguasa yang kehadirannya tampak dari wibawa pasukan dan para pengikutnya, tanpa harus hadir secara langsung. Sebagian ulama bahkan menyebut bahwa yang dimaksud adalah kemunculan kekuasaan Allah, bukan Allah datang secara fisik.
Pemahaman harfiah yang mengira Allah datang dan pergi, bergerak seperti makhluk, dianggap jauh dari pemahaman para sahabat seperti Ibn Abbas dan Aisyah. Aisyah sendiri pernah meriwayatkan sabda Nabi yang memperingatkan bahwa kaum yang paling berat siksanya di hari kiamat adalah mereka yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
- Genggaman Tuhan (QS. Al-Zumar: 67)
Ayat yang menyebutkan bahwa “Bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat…” juga ditafsirkan secara metaforis. Frasa ini bukanlah gambaran fisik, melainkan ungkapan yang mudah dipahami manusia untuk melukiskan betapa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Ini adalah gaya bahasa metaforis yang lazim dalam sastra Arab.
Ungkapan dalam riwayat lain yang menyebutkan Allah “melipat langit dengan tangan kanan-Nya” dan “melipat bumi dengan tangan kiri-Nya” harus dipahami sebagai gambaran kekuasaan dan keperkasaan, bukan deskripsi fisik. Konsep “genggaman”, “kanan”, “kiri”, atau “lipatan” adalah metafora untuk menunjukkan kemudahan, kekuasaan, dan keagungan Allah dalam menguasai ciptaan-Nya. Ayat ini diakhiri dengan {سُْبَحانَهُ َوتَعَالَى َعمَّ يُْشِرُكوَن} sebagai penegasan bahwa segala gambaran antropomorfis yang dinisbatkan kepada Allah tidak layak bagi-Nya.
- Bersemayam di Arsy (QS. Thaha: 5)
Mengenai firman Allah: {الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى} (Yang Maha Pengasih bersemayam di atas Arsy), Al-Itfisy menafsirkannya sebagai ‘menguasai’ (istawlâ).
Istiwâ’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dipahami sebagai kiasan yang sudah masyhur tentang kekuasaan dan keperkasaan. Ungkapan Arab, “Si Fulan telah beristiwa’ di atas singgasananya,” berarti ‘ia telah menguasai dan berkuasa,’ meskipun ia tidak memiliki singgasana fisik. Penyebutan Arsy dalam konteks ini menunjukkan bahwa dari sanalah Allah menjalankan hukum-hukum dan menentukan takdir-Nya sejak azal (kekal).
- Tangan Allah Saat Baiat (QS. Al-Fath: 10)
Dalam konteks baiat (sumpah setia), ayat {يدُٰ الله َفَْوَق اَْيِدْيِهم } (“Tangan Allah di atas tangan mereka”) juga ditafsirkan sebagai majazi (perumpamaan). Makna hakikatnya, baiat tersebut adalah baiat kepada Allah.
Menurut Al-Itfisy dan jumhur ulama yang menolaknya secara literal, “tangan Allah” adalah pertolongan-Nya, penjagaan-Nya, atau nikmat-Nya. Ibn Abbas menafsirkannya sebagai “pemenuhan Allah terhadap janji-Nya akan kebaikan”. Intinya, Allah Mahasuci dari anggota tubuh dan sifat-sifat jasmani.
Barang siapa memahami ayat ini dengan mengambil makna lahiriah bahwa Allah benar-benar memiliki tangan fisik maka ia telah memilih kebingungan dan kesesatan setelah kebenaran dijelaskan.
Kesimpulan
Kajian terhadap penafsiran Muhammad bin Yusuf al-Itfisy secara jelas memperlihatkan bahwa kerangka besar Khawarij (termasuk Ibadiyah) tidak bisa dipahami secara monolitik. Meskipun lahir dari tradisi yang dikenal sangat tekstualis, Al-Itfisy justru tampil sebagai figur yang membuka ruang takwildan secara tegas menolak antropomorfisme dalam ayat-ayat sifat Ilahi. Inti dari penakwilannya adalah penegasan komitmen terhadap prinsip tanzīh: mempertahankan kesucian dan keagungan Allah dari segala penyerupaan dengan makhluk. Al-Itfisy menjadi contoh penting yang membuktikan bahwa dinamika tafsir Al-Qur’an selalu berkembang, bahkan dalam kelompok yang paling rigid terhadap teks sekalipun. Keberaniannya menembus pola umum (pakem) bukanlah penyimpangan, melainkan bagian dari tradisi dialektika keilmuan Islam itu sendiri.

