Kuliahalislam. Maddah dan Surah (materi dan bentuk). Maddah merupakan substansi yang menyebabkan terjadinya benda fisik sedangkan Surah adalah kenyataan lahir dari suatu materi yang dapat diindra. Segenap alam terdiri dari Maddah dan Surah. Dalam hal ini, Maddah menempati posisi sebagai elemen dasar, tanpa Maddah benda itu tidak akan ada. Adapun Surah merupakan sifat yang menempati materi, dengan Surah, dapat dibedakan antara satu benda dan yang lain masih meskipun Maddah-nya sama. Misalnya, kursi dan papan tulis; meskipun mempunyai Maddah yang sama, keduanya berbeda dalam bentuk.
Dalam menentukan pengertian Maddah, terdapat berapa pendapat yang secara garis besar dapat disimpulkan menjadi tiga pengertian. (1). Sesuatu yang menjadi bahan untuk membuat yang lain. (2). Sesuatu yang menyebabkan terjadinya benda fisik. (3). Segala sesuatu yang bukan bersifat akali dan spiritual.
Pengertian pertama lazim dipakai oleh kalangan awam, sedangkan yang kedua dan ketiga adalah kecenderungan para sarjana, terutama di bidang ilmu alam dan para filsuf. Kedua kelompok pengertian tersebut sebenarnya hanya berbeda pada segi kebahasaan, sedangkan substansinya sama. Kecenderungan para sarjana dan filsuf kepada pengertian tersebut sudah tampak sejak zaman Yunani kuno dan terus berkembang sampai saat ini.
Pada zaman Yunani kuno terdapat tiga pandangan pokok tentang Maddah. Pandangan pertama menyebutkan bahwa segala sesuatu mempunyai satu substansi. Thales ( filsuf dan ahli matematika Yunani pertama, 624-545 SM), menyebutkan bahwa al-Maddah al-ula ( materi awal) yang menjadi dasar sesuatu adalah “air”. Segala sesuatu tercipta darinya dan kepadanya pula segala sesuatu akan berakhir.
Pendapat Thales dibantah oleh Anaximander ( filsuf Yunani, 610-547 SM, muridnya sendiri). Dia mengatakan bahwa Maddah yang menjadi dasar segala sesuatu ialah Apeiron, yang tidak terbatas, tidak dapat dirupakan dan tidak dapat disamakan dengan segala sesuatu. Anaximenes (585-528 SM), murid dari Anaximander, tidak setuju dengan pendapat gurunya dan Thales.
Dia berpendapat bahwa segala sesuatu berasal dari “udara”. Udara tidak lepas dari gerak, dan gerak udara dapat menjadi renggang dan rapat. Apabila udara menjadi renggang, maka terjadi api. Jika udara menjadi rapat maka terjadi angin dan awan, bila semakin rapat maka turunlah hujan. Dari air terjadi tanah, dan tanah telah memadat menjadi batu.
Heracleitus ( filsuf Yunani, 540- 480 SM) mempunyai pandangan yang berbeda dengan filsuf sebelumnya. Dia mengatakan bahwa Maddah yang menjadi pokok pangkal sesuatu adalah api. Pandangan Kedua melihat bahwa segala sesuatu mempunyai empat substansi.
Menurut Empedocles ( filsuf Yunani, 490-430 SM), menyatakan bahwa alam ini tersusun dari empat jenis Maddah yaitu udara, api, air dan tanah. Tempatnya memiliki empat sifat pula yaitu dingin, panas, basah dan kering. Atas dasar demikian, dia mengatakan bahwa tidak ada yang hilang dalam alam ini, yang ada hanyalah ” bersatu” dan ” berpisah”. Bila keempat unsur itu bersatu, maka muncullah benda di alam ini, tetapi bila berpisah, lenyaplah benda tersebut. Persatuan dan perpisahan itu disebabkan oleh “cinta” dan “benci”. Percintaan menyebabkan persatuan dan kebencian menyebabkan perpisahan.
Adapun pandangan ketiga melihat bahwa segala sesuatu terjadi dari atom (zarrah). Atom merupakan bagian terkecil dari sesuatu yang tidak dapat dibagi. Atom itu tidak dapat hilang meskipun kecil dan senantiasa bergerak. Atom itu menjadi dasar benda alam ini. Demikian Pendapat yang dikemukakan oleh Leucippus ( filsuf Yunani) dan Democritus ( filsuf Yunani, 460- 370 SM).
Setelah itu muncul Aristoteles ( filsuf terbesar Yunani, 384- 322 SM) yang pandangannya jauh berbeda dengan para filsuf sebelumnya. Ialah orang yang pertama yang membicarakan keterkaitan antara Maddah dan Surah.
Menurutnya, Maddah adalah sesuatu yang tidak mempunyai bentuk. Maddah hanya substansi belaka dan menjadi dasar segala sesuatu. Maddah baru dapat diketahui secara indrawi ketika telah ditempati oleh Surah. Batu, misalnya, hanya berupa materi. Batu baru dapat diindera ketika ditempati oleh bentuk, seperti rumah dan nisan.
Pendapat ini sebenarnya telah dirintis oleh Plato dalam teorinya tentang “Ide”. Menurut Plato, segala yang tampak merupakan gambaran atau tiruan tidak sempurna dari yang ada dalam ide. Yang tampak ini hanya mirip dengan yang aslinya; antara yang asli ( dalam dunia abstrak) dan yang tiruan ( dalam dunia konkret) tidak mempunyai kaitan langsung. Pandangan inilah yang dirombak oleh Aristoteles dengan teorinya tersebut.
Pandangan kemudian berkembang di dunia Islam. Pandangan itu dikembangkan, dimodifikasi dan disesuaikan dengan ajaran Islam oleh ahli filsafat Islam antara lain Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Ibnu Sina memandang bahwa semua benda fisik terdiri dari dua dasar yaitu materi dan bentuk. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Di samping itu, setiap benda fisik mempunyai sifat, seperti gerak dan diam yang menandai bahwa benda tersebut juga diliputi oleh ruang dan waktu.
Menurut Ibnu Sina, materi alam ini bersifat Kadim, karena ia telah dijadikan Tuhan sejak dahulu kala, ketika Tuhan memikirkan Zat-Nya. Materi alam ini merupakan akibat yang melimpah dari Zat-Nya Yang Mutlak itu. Dengan demikian alam ini hanya Kadim dari segi waktu (Qadim zamani), bukan dari segi esensinya.
Pandangan Ibnu Sina itu dikembangkan oleh Ibnu Rusyd. Ia membagi materi atas tiga tingkatan. (1). Hayula ( materi awal), yang tidak mempunyai bentuk. Wujudnya hanya berupa daya yang dapat menerima bentuk karena itu disebut Hayula. (2). Jisim tunggal yang mempunyai empat elemen yaitu api, udara air dan tanah. Jisim tunggal memperoleh wujudnya yang pertama dengan adanya bentuk pada materi pertama, sedangkan jisim-jisim yang lain terjadi dari pencampuran keempat elemen tersebut. (3). Mahsusah (materi indrawi), yakni benda-benda fisik yang dapat diindra.
Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa Maddah mempunyai empat fisik yaitu gerak, diam waktu dan ruang. Gerak hanya dapat terjadi pada sesuatu yang dapat menerima diam. Setiap yang bergerak ada penggeraknya dan rangkaian gerak itu akan berujung pada Penggerak Pertama yakni Allah. Kebalikan dari gerak ialah diam, yang menandai ketiadaan gerak pada suatu benda. Gerak tidak mungkin terjadi kecuali dalam waktu dan ruang.
Di samping pandangan para filsuf, terdapat pula pandangan para ahli dalam ilmu kalam dan Maddah. Mereka memandang bahwa alam ini diciptakan Tuhan dari tidak ada dan akan berakhir pada tidak ada pula. Maddah yang menjadi unsur alam ini tidak lain adalah atom (jauhar fard) yang dilengkapi oleh beberapa sifat (‘ard), seperti bentuk, warna, gerak, diam, berkembang dan susut.
Semua sifat ini mengalami perubahan. Karena atom tidak terlepas dari sifat yang berubah sedangkan yang berubah itu adalah baru, maka atom juga baru. Semuanya itu diciptakan oleh Tuhan. Teori terakhir ini kemudian berkembang dalam bidang fisika modern sampai saat ini.
Adapun menurut Muhammad Ali-Tahanawi (wafat 1158 H/1745 M), istilah Surah mempunyai dua pengertian yaitu (1). Syibh, misl, nuskhah (rupa, tiruan, gambar); dan (2). Syakl (bentuk). Pengertian pertama banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam ucapan : Surati fi al-mir’ah (rupaku/gambarku terdapat dalam cermin).
Adapun pengertian kedua dipakai sebagai istilah filsafat. Pengertian kedua itu sendiri diaplikasikan pada objek eksternal dan objek internal. Pengertian Surah secara eksternal mengacu pada Itar ( bingkai) yaitu bentuk lahir yang berupa kualitas dan kuantitas dari suatu benda yang membedakannya dari yang lain. Adapun pengertian Surah secara internal mengacu pada Jins ( genus,jenis) dan Nau’ (spesies, macam).
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan secara umum, pandangan tentang Surah telah dimulai oleh Aristoteles seperti yang telah dijelaskan di atas. Pandangan Aristoteles tersebut dikembangkan oleh para filsuf Islam. Dalam filsafat Islam, Surah dikembangkan dalam beberapa bentuk, antara lain : (1). As-Surah al-Jauhariyyah ( bentuk substansif), yaitu kualitas dari suatu substansi. (2). As-Surah al-Jisimiyyah ( bentuk material) yakni bentuk yang membuat suatu Maddah mendapatkan wujudnya secara lahir. (3). As-Surah al-Jinsiyyah wa annau’iyyah ( bentuk genus dan spesies), yakni bentuk yang membedakan antara satu benda dan lainnya.
Ibnu Sina menerangkan lima macam pengertian Surah. (1). Surah yang mengacu pada spesies. Dalam hal ini, Surah merupakan jawaban dari pertanyaan : “Apakah”. (2). Surah yang membuat suatu Maddah mendapatkan wujudnya meskipun Surah itu sendiri lain dari Maddah. Dalam hal ini, Surah merupakan jawaban dari pertanyaan : “Bagaimana”. (3). Surah yang merupakan persyaratan keberadaan suatu Maddah. Misalnya, Surah pikiran merupakan persyaratan keberadaan manusia. (4). Surah yang menjadikan suatu Maddah menjadi aktual, seperti Maddah api dan Surah yang menjadikan api itu panas dan dapat membakar. (5). Surah yang menyusup pada suatu Maddah dan dalam jangka waktu terbatas tidak dapat terpisah dari Maddah. Misalnya, Surah jiwa menyusup pada Maddah badan.
Dapat dikatakan bahwa Surah membuat suatu Maddah yang pada dasarnya bersifat potensial berubah menjadi aktual. Maddah sudah aktual itulah yang terlihat sebagai benda-benda fisik. Benda-benda materi yang dapat dihindar dari satu segi adalah benda aktual, sedangkan dari segi lain adalah benda potensial.

