Syahdan, Sokrates “tamat” di kursi pesakitan usai menenggak racun cemara sebagai hukuman karena telah dituduh telah “meracuni” akal anak-anak muda Athena. “Racun” adalah ramuan yang layak ditenggak oleh “tukang racun”! “Tak usah, jika aku mengucapkan apa mau mereka, sia-sia yang kuperjuangkan selama ini,” ujar Sokrates kepada murid-muridnya, di antara mereka, Plato.
Sokrates hidup di Yunani, tepatnya di Athena. Ia hidup di tengah merebaknya “wabah” kebodohan yang bau seperti bangkai. Muhammad Hatta, atau yang dikenal Bung Hatta, lulus dari sekolah Belanda. Sekolah-sekolah itu hanya dapat “dimasuki” oleh anak-anak Priyai.
Pendidikan adalah “barang mahal” bagi rakyat Indonesia saat itu. Atas “baik budi” Belanda mereka menelurkan program politik “etis” (?) berupa pembangunan sekolah untuk pribumi. Awalnya, sekolah itu dimaksudkan untuk melatih para calon ambtenaar yang akan menjadi pegawai di sektor-sektor formal.
Sayang, manusia bisa berencana, Tuhan selalu punya keputusan lain. Anak-anak didik Belanda, setelah pintar, melakukan perlawanan. Guru saya, Ali Antoni, mengatakan: “Orang yang semakin pintar akan berani melawan.” Bung Hatta dan kawan-kawannya, melakukan itu semua, tanpa ada rasa “pekewuh” dengan “orang tua” ideologis mereka. Berulangkali ia mengalami perlakuan buruk berupa pembuangan politik karena “melawan” penguasa yang “sah”. Sematan “pemberontak” dan yang lainnya, telah ia sandang resmi.
Mesir mengalami peningkatan mutu pendidikan yang signifikan. Ekonomi juga cenderung stabil. Pembangunan infrastruktur? Jangan tanya. Jika Anda mendengar kata “Mesir” yang muncul pertama kali di pikiran apa? Piramida? Bangunan megah, kokoh, dan terbukti mampu bertahan melawan waktu itu adalah “warisan” Firaun kepada dunia.
Bagaimana nabi Musa saat diutus Tuhan untuk mengacak-acak kekuasaan Firaun yang “berhasil” itu, sedangkan ia juga merupakan anak angkatnya? Bagi Firaun dan anak buahnya, Musa tak lain adalah “kecoa” menjijikkan yang harus diinjak-injak sampai hancur!
Musa, dengan demikian, pahlawan atau “lalat” pengganggu? Bagaimana juga dengan Sokrates? Bagaimana juga dengan Bung Hatta? Pahlawan menurut siapa mereka? Atau, sudut pandang terhadap ‘kebenaran’ menentukan siapa yang layak disebu ‘pahlawan’. Presiden kedua “kita”, H.M. Soeharto, pahlawan menurut siapa? Ia mungkin penjahat bagi lawan politiknya, tapi, bagi orang-orang sekitarnya, ia adalah “pahlawan” sepanjang zaman!
Kebenaran Sebagai Patokan
Kalau anda membaca buku-buku filsafat, ada satu diskusi yang cukup panjang tentang ‘teori kebenaran’. Banyak filosof yang menawarkan. Diantaranya Descartes dengan teori rasionalismenya, Francis Bacon dengan empirisismenya, dan yang menarik, Henry Bergson dengan intuisionimenya. Bagi Bergson, ada satu ‘fakultas’ di dalam diri manusia yang dilupakan oleh orang modern sebab ukuran kebenaran yang ditawarkannya tidak dapat diukur “dengan pasti”: intuisi.
Orang bisa berdebat: apakah Firaun pahlawan atau tidak. Bagi kanca-kancanya, Firaun dalah pahlawan. Jelas, ia memberi kemewahan yang tiada terukur kepada seluruh abdi dalem dan sebagian rakyatnya. Rumah, jabatan, akses pada pendidikan yang bermutu, “gundik-gundik” yang siap “dipakai” kapan saja mereka mau, semua tinggal “metik”. Ini adalah semacam kenikmatan surgawi yang tak dapat lagi diukur dengan nominal—simpelnya, mereka mendapat privilese yang tak dapat diakses orang lain di luar lingkar kekuasaan Firaun.
Sedangkan, bagi Musa dan pengikutnya, musuh politiknya, sudah jelas Firaun adalah penjahat kelas kakap. Ia jelas-jelas mendaku diri sebagai Tuhan! Bagi Musa dan pengikutnya, itu merupakan kriminal yang tak terampuni.
Di tengah situasi yang tarik-ulur, terjadi polarisasi “kebenaran”, manusia butuh intuisi-nurani untuk menilai: layakkah, umpamanya, Firaun dijuluki pahlawan sedangkan “portofolionya” penuh dengan nilai merah? Hanya hati nuranilah yang akan memberikan jawaban “menenangkan”. Kata Nabi, “istafti
qalbak,” mintalah fatwa kepada hatimu!
Politisasi Gelar Pahlawan
Esais besar yang pernah dimiliki Indonesia—yang juga seorang intelektual par-excellents, Daniel Dakhidae, mengutip Galileo Galilei, membuat pernyataan yang mengguncang: “Celakalah bangsa yang memerlukan pahlawan.” Ia tak main-main dengan pernyataannya itu.
Dia sudah berada di hadapan gantungan inkuisisi. Murid-muridnya harap cemas. Sebentar lagi nyawa gurunya akan melayang karena pandangannya “berselisih” dengan Gereja—agama. Gereja bilang: “bumi” adalah pusat tata surya”. Galileo, sang professor matematika dan fisika dari Florence itu setelah melakukan observasi ilmiah berkesimpulan: “Tidak! Matahari lah pusatnya, bukan bumi”.
Dia diberi pilihan: mati atau menarik perkataan awal; yang artinya, “taat buta” dengan doktrin teologi Gereja. Galileo “insyaf”. Ia mengaku “salah”. Pandangannya soal matahari pusat alam semesta, dia tarik sesaat sebelum eksekusi mati dijalankan. Murid-muridnya marah besar, dia direndahkan dengan sebuhan “keranjang sampah”!
Apakah manusia butuh pahlawan? Dalam sejarah, pahlawan selalu dekat dengan “status quo”. Penetapan A sebagai pahlawan dan B tidak terjalin erat dengan dialektika urus-mengurus negara dengan serangkaian bungkus politik kecutnya. Kepahlawanan tak membutuhkan pengakuan negara. Ia adalah “gelar” yang menuntut peran sosial yang real.
Saya—sebagai seorang muslim—akan mengatakan “Muhammad adalah pahlawan” walaupun tanpa provokasi Hart yang menobatkan Muhammad sebagai sosok berpengaruh nomor satu di dunia. Tidak, saya tidak butuh justifikasinya. Privilese yang ia punya yang digunakannya untuk membebaskan kaum tertindas, cukup bagi saya menjadi alasan: Muhammad adalah pahlawan!

