Di tengah derasnya modernitas, tradisi santri seperti mencium tangan kiai, menunduk ketika lewat, atau berjalan merunduk di pesantren kerap memicu perdebatan publik, terutama di media sosial. Sebagian orang melihatnya sebagai sisa feodalisme, sementara para santri memaknainya sebagai cinta, hormat, dan pendidikan moral.
Perbedaan tafsir ini menunjukkan bahwa takdhim bukan sekadar gerak tubuh, tetapi nilai sosial yang dibentuk oleh pengalaman spiritual, historis, dan kultural. Karena itu, fenomena ini perlu dibaca dengan pendekatan keilmuan Islam, sosiologi, dan antropologi budaya.
Takdhim Santri Perspektif Islam
Islam menempatkan ilmu pada kedudukan mulia. Al-Mujādilah ayat 11 menegaskan bahwa Allah SWT mengangkat derajat orang beriman dan berilmu. Ini menjadi dasar mengapa penghormatan kepada guru memiliki legitimasi teologis dalam tradisi Islam.
Dalam khazanah pesantren, takdhim berarti mengagungkan bukan dalam arti politis, tetapi sebagai nilai etis-spiritual yang diwariskan turun-temurun. KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-Alim wa al-Muta‘allim menekankan bahwa adab adalah kunci keberkahan ilmu. Hubungan santri dan kiai bukan relasi kekuasaan, tetapi relasi pendidikan dan keteladanan moral.
Al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta‘allim menjelaskan bahwa pelajar tidak akan memperoleh manfaat ilmu tanpa mengagungkan ilmu, ahli ilmu, dan gurunya. Sementara itu, Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din melihat hubungan murid dan guru sebagai proses tazkiyah (pensucian diri). Takdhim membentuk kerendahan hati dan kesiapan spiritual untuk menerima ilmu. Karena itu, takdhim bukan alat penundukan, tetapi metode pendidikan karakter.
Takdhim sebagai Fakta Sosial: Durkheim
Durkheim memandang norma sosial sebagai fakta sosial yang eksis di luar individu dan bersifat memaksa secara moral. Pesantren sebagai institusi pendidikan islam dan komunitas moral memiliki nilai yang mengatur perilaku anggotanya. Ketika santri mencium tangan atau menunduk di depan guru, mereka sedang mengukuhkan kohesi sosial dan menjaga kesakralan ilmu.
Menurut Durkheim, masyarakat membedakan antara yang sakral dan profan. Dalam pesantren, guru dan ilmu berada pada ranah sakral. Takdhim menjadi ritus yang menjaga nilai sakral tersebut. Dalam kerangka ini, takdhim bukan feodalisme, melainkan simbol solidaritas moral dan identitas kolektif.
Takdhim sebagai Tindakan Sosial: Weber
Weber menjelaskan tindakan sosial berdasarkan makna subjektif pelaku. Takdhim santri dapat dipahami melalui empat bentuk tindakan sosial yakni:
- Rasional nilai: santri yakin bahwa menghormati guru membawa keberkahan.
- Afektif: tindakan santri ditopang cinta dan kedekatan emosional.
- Tradisional: dilakukan karena diwariskan dari generasi ke generasi.
- Rasional instrumental: sebagian kecil santri melihatnya sebagai cara memudahkan komunikasi, namun ini bukan motif utama.
Dengan Weber, kita memahami bahwa takdhim tidak lahir dari paksaan struktural, tetapi makna subjektif yang berakar pada nilai dan pengalaman spiritual.
Antropologi mengatakan bahwa budaya tidak bisa dinilai dengan standar budaya lain. Membungkuk di Jepang, memberi gelar kehormatan di Korea, atau menyentuh kaki guru di India adalah bentuk hormat yang dianggap wajar. Maka mengapa takdhim dianggap feodal?
Relativisme budaya menjelaskan bahwa setiap masyarakat memiliki orientasi nilai sendiri. Seperti percakapan dalam film Hell on Wheels: “I’m offering you a better way of life.” dijawab, “Better than what? I like what I have.” Modernitas tidak selalu berarti meninggalkan tradisi. Bagi santri, takdhim adalah cara terbaik memuliakan ilmu, bukan praktek usang.
Modernitas dan Kritik terhadap Standar Barat
Modernitas sering diukur dengan standar Barat dan model pendidikan STEM. Namun masyarakat Indonesia hidup dalam tradisi, spiritualitas, dan nilai lokal. Pesantren tidak anti-sains; mereka menolak modernitas yang menghapus nilai adab atau mereduksi manusia menjadi makhluk materialistis.
Dalam antropologi klasik, Edward B. Tylor, yang dikenal sebagai bapak antropologi budaya mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut
“Culture is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities acquired by man as a member of society.”
Dalam pandangannya, budaya adalah keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, adat, hukum, seni, dan kemampuan manusia lain yang diperoleh melalui proses belajar, bukan warisan biologis. Tradisi, dalam konteks itu, merupakan bagian dari budaya yang diwariskan antar generasi sebagai pola kebiasaan yang bertahan lama dan berfungsi menjaga kesinambungan sosial.
Fungsi budaya pada dasarnya mencakup memberi pedoman hidup, menciptakan keteraturan sosial, membangun identitas kelompok, serta menjadi mekanisme adaptasi manusia terhadap lingkungannya.
Konsep baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur atau falsafah Jawa Toto Titi Tentrem Kerto Raharjo menggambarkan bahwa kemajuan bukan hanya teknologi, tetapi keharmonisan sosial dan moral. Kebudayaan, seperti dijelaskan Tylor dan Koentjaraningrat, adalah hasil belajar kolektif yang memberikan pedoman hidup, identitas, dan keteraturan sosial. Tradisi pesantren berada dalam kerangka ini.
Pesantren sebagai Laboratorium Peradaban Islam Indonesia
Secara historis, pesantren berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan intelektual Islam di Indonesia. Pesantren seperti Tebuireng, Lirboyo, Sidogiri, Al-Anwar, Al-Munawwir, dan lainnya menjadi penjaga tradisi keilmuan Islam. Karena itu, pesantren adalah laboratorium peradaban yang perlu terus diperkuat.
Pesantren sebagai laboratorium peradaban islam di Indonesia karena di dalamnya berlangsung proses dialektika keilmuan islam. Para santri tidak hanya mempelajari kitab-kitab turats, tetapi juga mempraktikkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari melalui kegiatan sosial, keorganisasian, musyawarah, dan kepemimpinan.
Pesantren menjadi ruang hidup tempat tradisi, spiritualitas, pendidikan, dan budaya bertemu dan melahirkan pikiran islam yang relevan dengan konteks Indonesia. Kemampuan pesantren menjaga tradisi keilmuan Islam agar selaras dengan budaya lokal seperti menjaga tradisi khas Islam Nusantara, dakwah kultural, islam yang moderat membuktikan bahwa pesantren tidak pernah statis.
Pesantren menghasilkan model peradaban Islam yang damai, moderat, serta adaptif terhadap zaman. Di sinilah letak pesantren sebagai laboratorium yang merawat dan mengembangkan peradaban Islam khas Indonesia.
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, perbedaan pandangan adalah keniscayaan. Tradisi seperti takdhim tidak dapat dinilai secara dangkal atau diseragamkan. Pendekatan ilmiah melalui teologi Islam, sosiologi, dan antropologi membantu kita memahami bahwa fenomena budaya harus dibaca secara kontekstual dan menghormati keberagaman. Dengan cara inilah konflik sosial dapat dihindari dan harmoni kebangsaan tetap terjaga.
Profil singkat penulis: Bagus Azam Noor adalah mahasiswa S1 Sosiologi Agama di UIN Syekh Wasil Kediri. Ia merupakan alumnus Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil Pati, serta Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto.
Azam aktif menulis dan menjadi kontributor di berbagai media nasional, antara lain Kompas, Kumparan, The Columnist ID, dan Tempo, dengan fokus pada isu sosial, budaya, politik, dan keislaman. Selain menulis, ia juga terlibat aktif dalam riset serta kegiatan sosial dan budaya di Kota Kediri.

