KULIAHALISLAM.COM – Lewatlah sudah tahun ke-6 Hijriah,
tahun terjadinya beberapa peristiwa penting yaitu pernikahan Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam dengan Sayidah Juwairiyyah binti Al-Harits.Awal
tahun ke-7 Hijriah ditandai dengan kesiagaan kaum Muslimin untuk menghadapi
peperangan dengan Yahudi Kahibar. Merekalah yang menggerakan kaum musyrikin
Arab untuk menyerbu Madinah. Kejahatan mereka didorong oleh kedengkian terhadap
Islam dan kaum Muslimin yang makin hari makin kuat.
Pada pertengahan kedua bulan
Muharram tahun ke-7 Hijriah, Rasulullah memimpin pasukan dengan kekuatan cukup
besar berangkat ke Khaibar, pusat kekuatan kaum Yahudi dan daerah perbentengan
mereka yang terkenal tangguh. Peperangan berlangsung selama beberapa hari.
Semua benteng di Khaibar dapat diserbu satu demi satu, orang-orang Yahudi yang
mengangkat senjata dihancurkan, kekayaan dan tanah-tanah perkebunan mereka
disita sebagai rampasan perang termasuk kaum wanitanya.
Di antara Yahudi yang ditawan adalah
Shafiyyah binti Huyaiy bin Akhthab, keturunan Nabi Harun saudara Nabi Musa dan
Ibu wanita terebut adalah Barrah binti Syamwal (Samual). Usianya baru 17 tahun
tetapi meskipun masih muda ia telah menikah dengan Salam bin Misykam, seorang
prajurit berkuda dan penyair. Setelah itu ia menikah dengan Kinanah bin
Ar-Rabi’ bin Abil-Haqiq, pemimpin kaum Yahudi yang bermukim di dalam benteng
terkuat di Khaibar.
Semua wanita yang ada dalam benteng
Khaibar sesuai peraturan zaman itu, ditawan. Di antara mereka terdapat
Shafiyyah bersama anak perempuan pamannya. Shafiyyah diam menunduk sangat
ketakutan akan tetapi ia berusaha memperlihatkan dirinya sebagai wanita
terhormat. Rasulullah benar-benar pengap melihat anak perempuan paman Shafiyah
yang berambut kotor dan kusut, berpakayan koyak-koyak dan tidak henti-hentinya
meratap melolong-lolong.
Kepada para sahabatnya, Nabi meminta
agar perempuan itu disingkirkan. Berbeda dengan Shafiyyah yang menatap Nabi
dengan harapan agar tidak dijadikan budak. Beliau dapat memahami isi hati
Shafiyyah.Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam meminta kepada Bilal bin
Ra’bah agar mengawal Shafiyyah dan Nabi memberikan Ridha (kain penutup
punggung) dan dipakaikan kepada Shafiyyah yang merupakan isyarat beliau akan
melindungi atau bersedia menjadikannya istrinya.
Pernikahan Shafiyyah Dengan
Rasulullah
Selama beberapa waktu, Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam berada di Khaibar menunggu suasana tenang kembali.
Shafiyyah mulai tampak tenang akibat guncangan jiwa perang Khaibar. Rasulullah
bersama pasukannya beranjak meninggalkan Khaibar bersama pasukannya menuju
Madinah. Shafiyyah menyampaikan pada Nabi bahwa ia ingin dinikahi oleh
Rasulullah. Shafiyyah dimerdekakan Nabi dari budak dan kemerdekaannya Shafiyyah
dijadikan sebagai Mahar.
Setelah menikah, Shafiyyah banyak
sekali menceritakan mengenai orang-orang Yahudi. Tempat peristirahatan Shafiyyah
dan Rasulullah dalam perjalanan pulang ke Madinah senantiasa dijaga tanpa
sepengetahuan Nabi oleh Abu Ayyub Khalid bin Zaid. Abu Ayyub berkata : “ Ya
Rasulullah, aku khawatir perempuan itu (Shafiyyah) berbuat jahat terhadap anda.
Kaumnya telah membinasakan kami dan ia baru saja meninggalkan kekufurannya”.
Rasulullah kemudian berdoa : “ Ya Allah, lindungilah Abu Ayyub sebagaimana
ia telah melindungku”.
Setelah Shafiyyah dan Rasulullah
serta pasukannya tiba di Madinah, seluruh penduduk Madinah ramai-ramai ingin
melihat sosok Shafiyyah yang dinikahi Nabi. Paras Shafiyyah sangat cantik dan
menawan. Ada juga yang menghina Shafiyyah karena ia berdarah Yahudi. Untuk
menjaga keselamatan jiwa Shafiyyah, Nabi memutuskan untuk memberikannya tempat
tinggal yang jauh dari istri-istri Nabi lainnya. Ia ditempatkan sementara di
rumah milik sahabat Nabi bernama Haritsah bin Nu’man.
Mendengar pernikahan Nabi dengan
Shafiyyah, Sayidah Aisyah binti Abu Bakar langsung menemuinya di rumah milik
Haritsah binti Nu’man karena ia penasaran dengan kecantikan Shafiyyah. Tanpa
diketahui oleh Sayidah Aisyah, Nabi mengikutinya dari belakang. Saat tiba di
depan rumah milik Haritsah, Sayidah Aisyah dihentikan oleh Nabi. Nabi berkata “
Hai Syuqaira {wanita yang berkulit kuning kemerah-merahan}, bagaimana yang
engkau lihat itu ?”. Sayidah Aisyah mengangkat bahunya dan berkata : “ Saya
melihat perempuan Yahudi !”. Nabi
berkata : “ Jangan engkau berkata seperti itu. Ia telah memeluk Islam dan
melaksanakannya dengan baik”.
Sayidah Aisyah tidak menyahut dan
tidak menyangkal bahwa Shafiyyah benar-benar cantik dan menawan. Sayidah Aisyah
langsung pulang dan pergi ke rumah Sayidah Hafsah binti Umar bin Khattab untuk
menanyakan pendapatnya tentang Shafiyyah.
Rumah Tangga Rasulullah Dengan
Shafiyyah
Beberapa lama kemudian Shafiyyah
pindah ke tempat kediaman Rasulullah dan berdekatan dengan rumah-rumah milik
istri Nabi yang lainnya. Shafiyyah benar-benar bingung siapa istri Nabi yang
terlebih dahulu perlu didekati, tentu ia merasa dianggap saingan oleh para
istri Nabi lainnya. Sayidah Shafiyah pun berusaha mendekati Sayidah Aisyah dan
putri Nabi yaitu Sayidah Fatimah Az-Zahra. Kemudian ia mendekati Syaidah
Hafsah.
Sayidah Shafiyah menyadari bahwa
dirinya berdarah Yahudi dan akan mendapat cemohan karena keyahudiannya dari
para istri Nabi. Ia selalu mewaspadi ejekan dari Sayidah Aisyah dan Sayidah
Hafsah terhadap dirinya sebagai “Yahudi”. Sayidah Shafiyyah tidak menemui
kesulitan mendekati Sayidah Fatimah yang tidak mau ikut campur persaingan
antara istri-istri Nabi. Sayyidah Shafiyyah memberikan hadiah berupa perhiasan
dari emas kepada Sayidah Fatimah sebagai tanda kecintannya pada putri Nabi dan
hadiah itu diterima dengan baik oleh Sayidah Fatimah.
Pada suatu hari Sayidah Shafiyyah
menangis tersedu-sedu dan mengadu pada Nabi karena selalu diejek Sayidah Aisyah
dan Sayidah Hafsah sebagai “perempuan Yahudi”. Nabi berkata : “Hai Shafiyyah
mengapa engaku tidak menjawab ejekan mereka ?, katakan pada mereka bahwa ‘Bagaimana mungkin kalian berdua lebih baik
dariku ? Suamiku Muhammad, ayahku Harun dan pamanku Musa’,”. Perkataan Nabi itu
menyejukan hati Sayidah Shafiyah.
Rasulullah Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam memang merasakan
keterpencilan Shafiyyah di kalangan para istri beliau yang terdahulu. Oleh karenanya
beliau selalu membela Shafiyah dari para istri beliau. Hingga hari-hari
terakhir hidupnya Rasulullah, Rasulullah selalu membela Shafiyah. Saat
Rasulullah sedang sakit menjelang wafatnya, para istri Nabi berkumpul disekitar
Nabi. Shafiyyah berkata : “ Ya Rasulullah, sungguh lebih baik aku saja yang
menangung penyakit anda, jika mungkin”. Para istri Nabi lain saling memicingkan
mata. Nabi berkata : “Cucilah mata kalian”. Mereka heran mengapa harus mencuci
mata ?. Beliau menjawab : “ Tadi kalian
memicingkan mata mengejek dia (Shafiyyah). Demi Allah.. apa yang kalian lakukan
itu tidak benar.
Tidak beberapa lama, Rasulullah
wafat dan Shafiyyah sangat sedih akan hal itu karena akan kehilangan sosok yang
selalu melindunginya. Walau ia istri Nabi tapi orang tidak dapat melupakan
bahwa ia berdarah Yahudi. Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, ia
sangat menghormati Sayidah Shafiyyah. Kemudian pada masa Khalifah Utsman bin
Affan, Sayidah Shafiyah terjun ke dunia politik. Sayidah Shafiyyah senantiasa
mendukung Khalifah Utsman bin Affan samahalnya dengan Saiydah Aisyah. Dukungan
Sayidah Shafiyah kepada Khalifah Utsman bin Affan karena Sayidah Aisyah juga
mendukung Utsman bin Affan, ada harapan Sayidah Shafiyyah menjalin persaudaraan
dengan Sayidah Aisyah.
Ketika disaat-saat terakhir Khalifah
Utsman bin Affan dikepung pemberontak, Sayidah Shafiyah membuka jalan untuk
menghantarkan makana dan minuman ke rumah Saydina Utsman bin Affan. Sayidah
Shafiyyah wafat sekitar tahun 50 Hijriah pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu
Sufyan (Daulah bani Ummayah). Jenazahnya dimakamkan diperkuburan Baqi (Madinah)
bersama para istri Nabi. Ia ikut dalam meriwayatkan sejumlah Hadis Nabi yang
tercantum dalam Ash-Shihahus Sittah (Enam Kitab Hadis Sahih).
Sumber :
Kitab Rumah Tangga Nabi Muhammad
Shalallahu Alaihi Wasallam karya H.M.H Al-Hamid Al-Husaini, dilahirkan di
Tuban, Jawa Timur tahun 1910 Masehi. Ia menyelasikan pendidikannya di ‘Inat,
Yaman Selatan. Wafat tahun 2002. Semoga Allah menerima amal baik beliau dan
menjadikan seluruh karyanya sebagai amal jariah.Amin