Ziarah makam sunan Pandanaran: biografi dan jejak spiritual di tanah Jawa. Pada hari itu saat menuju makam sunan Pandanaran penulis berangkat tidak bersama rombongan mahasiswa teman kelas, dikarenakan ada sesuatu hal dan tiba di destinasi wisata kira-kira lebih 30 menit dari rombongan yang datang lebih awal. Suasana berkecamuk dalam hati tengah menyelimuti perjalanan penulis saat berangkat menuju destinasi wisata. “Terlambat tidak ya nanti, Haduh….”.
Sesampainya disana sekitar perjalanan 50 menit, penulis terkejut ada yang menghadang motor penulis. “Monggo-monggo, Mbak parkir di dalam,” sila Bapak penjual es teh. Penulis kebingungan dalam hati, ini beneran parkir motor di dalam rumah yang ukurannya sekitar 2 meter persegi. “Tidak apa-apa, Mbak, masuk saja” penulis berkata “baik Pak” sambil mengangguk menghidupkan motor dan memasuki pintu rumah.
Makam Sunan Pandanaran yang terletak di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Makam ini cukup terkenal di kalangan para peziarah karena merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam di daerah tembayat pada zaman Kerajaan Demak yang juga murid Sunan Kalijaga.
Makam Sunan Pandanaran terletak di atas bukit Jabalkat dengan kompleks makam utama berada di puncak bukit dan area makam umum di bagian bawah, untuk mencapai Makam Sunan Pandanaran, saya harus menaiki 152 anak tangga yang cukup curam.
Penulis yakin, rombongan mahasiswa teman penulis belum pulang, jadi penuli memberanikan diri untuk bertanya kepada Ibu-ibu disana. “Bu, Maaf mau tanya, apa ada rombongan mahasiswa yang masih di dalam?.” Tanya saya. “Wah masih Mbak di dalam masuk saja,” ujarnya.
Dalam hati Alhamdulillah…, plus satu kata Salah satu keunikan makam ini adalah adanya tanda bulan pada makam yang diyakini sebagai ciri khas budaya Ngaksintoro.
Selain itu, Bukit Jabalkat, tempat Makam Sunan Pandanaran berada, juga diyakini sebagai tempat belajar agama dan bela diri. Kompleks Makam Sunan Pandanaran memiliki beberapa gapura yang indah, dan setelah melewati gapura ke-5 (kelima), penulis memasuki kawasan makam yang lebih suci.
Di dalam kompleks makam, penulis menemukan beberapa makam yang memiliki arsitektur yang unik, seperti makam dengan corak kepala ikan yang diyakini sebagai simbol Islam Sufi Satoriyah.
Biografi singkat Sunan Pandanaran II, yang juga dikenal sebagai Susuhunan Tembayat, Pangeran Mangkubumi, Wahyu Widayat, disebut “Sunan Tembayat” sebab banyak mengajarkan patembayatan/ pirukunan/ gotong-royong kepada sesama manusia tanpa pandang bulu.
Sunan Tembayat diyakini hidup pada abad ke-16 Masehi, semasa Kesultanan Demak. Sunan Pandanaran II lahir dengan nama Sayyid Maulana Muhammad Hidayatullah, dengan gelar Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, dan Wahyu Hidayat. Beliau merupakan putra Sayyid Maulana Hamzah, seorang tokoh berpengaruh pada masanya.
Sunan Pandanaran II menikah sebanyak sembilan kali, termasuk dengan putri Sunan Pandanaran I, pendiri Kota Semarang. Sunan Pandanaran II melakukan perjalanan dari Semarang menuju Bukit Jabalkat.
Terdapat dua versi mengenai ini, versi pertama berasal dari babad dan yang kedua menurut cerita masyarakat. Susuhunan Tembayat atau Pangeran Mangkubumi, yang awalnya memerintah dengan baik dan taat pada ajaran Islam, mulai kehilangan jejaknya.
Sultan Demak Bintara kemudian mengutus Sunan Kalijaga untuk menyadarkannya. Setelah dinasihati, beliau sadar akan kesalahannya dan meninggalkan hal-hal keduniawian serta memilih untuk mengundurkan diri, menyerahkan kekuasaan kepada adiknya.
Setelah mengundurkan diri, Sunan Pandanaran II pindah ke selatan bersama istrinya, melewati beberapa tempat yang kemudian diberi nama berdasarkan pengalaman perjalanan mereka, seperti Mojosongo, Boyolali, Salatiga, dan Wedi menurut salah satu babad.
Awalnya Sunan Pandanaran II bersiap-siap menyusul ke Jabalkat setelah menyelesaikan urusan dan persyaratan yang diberikan gurunya. Ia menjelaskan rencana dan pengalamannya kepada istri dan keluarganya. Sunan Pandanaran II ingin memenuhi Syeh Malaya dan berencana meninggalkan istri-istrinya di rumah untuk mengurus rumah tangga dan keluarga. Namun, Nyai Ageng Kaliwungu, istri tertuanya, ingin ikut serta karena ingin mentaati sumpah setianya sebagai seorang istri.
Mereka berangkat, dengan Nyai Ageng Kaliwungu menggendong anak kecil yang kelak dikenal sebagai Pangeran Jiwa. Dalam perjalanan, mereka dihadang penyamun yang meminta harta benda bekal perjalanan. Sunan Pandanaran menyerahkan harta benda istrinya, tapi penyamun ingin menjamah Nyai Ageng Kaliwungu. Mendadak penyamun menjadi lemas dan jatuh ke tanah.
Konon, setelah diserang penyamun, Nyai Ageng Kaliwungu berteriak meminta pertolongan kepada suaminya, “Tolong Kyai, ada orang salah masih tega juga!” Karena teriakannya itulah, tempat itu kemudian dikenal sebagai Salatiga. Ada juga yang mengatakan bahwa Nyai Ageng Kaliwungu berteriak, “Tolong Kyai, ada orang salah, tiga jumlahnya,” merujuk pada jumlah penyamun yang menyerangnya, yaitu tiga orang.
Sunan Pandanaran kemudian mengubah dua penyamun menjadi seekor kambing dan seekor ular sebagai hukuman. Keduanya kemudian menjadi murid Sunan Pandanaran dengan nama Syeh Domba dan Syeh Kewel.
Dalam perjalanan selanjutnya, Nyai Ageng Kaliwungu merasa tertinggal jauh dan mengucapkan “Baya wis lali, Kyai teka ninggal” (Sudah lupakah gerangan, Kyai meninggalkan daku), kata-kata yang kemudian membuat tempat itu dinamakan Boyolali.
Kisah juga menceritakan tentang kesaktian putra Sunan Pandanaran yang dapat mengisi tempayan dengan air menggunakan keranjang tanpa menumpahkan setetes pun. Lalu ada cerita tentang seorang pedagang beras yang curang dan akhirnya berubah menjadi pasir, sehingga desa itu dinamakan Wedi.
Di akhir cerita, Sunan Pandanaran membangun masjid di atas bukit Jabalkat dan mengumandangkan adzan. Namun, karena Sunan Demak kurang senang, masjid tersebut kemudian diturunkan ke bawah bukit dan dikenal sebagai Masjid Gala.
Dalam buku lain yang berjudul Kyai Ageng Pandhanarang, di tulis oleh Soewignja terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1978. Di dalam buku ini mengulas perjalanan beliau menuju bukit Jabalkat setelah bertemu Sunan Kalijaga.
Ia kemudian menetap di Tembayat (Bayat, Klaten), di mana ia menyebarkan agama Islam kepada para pertapa dan pendeta setempat. Keberhasilannya dalam berdakwah membuatnya dikenal sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.
Makam Sunan Pandanaran adalah tempat bersejarah yang menawarkan jejak spiritual dan pemahaman tentang nilai-nilai agama Islam. Di sini, saya bisa belajar tentang toleransi dan kerukunan antarumat beragama, serta peran Sunan Pandanaran dalam membentuk identitas budaya dan agama di Tanah Jawa. Sifat dermawan dan semangatnya dalam menyebarkan agama Islam juga menjadi inspirasi bagi kita untuk menjadi lebih peduli dan membantu sesama.
Dengan mengunjungi makam ini, saya bisa mendapatkan banyak pelajaran berharga dan inspirasi untuk hidup yang lebih baik. Makam Sunan Pandanaran menjadi pusaka sejarah dan jejak spiritual yang sangat berharga bagi masyarakat Jawa dan Indonesia.
Melalui ziarah ke makam ini, saya dapat memperdalam jiwa spiritualitas dan meningkatkan kesadaran akan keberadaan Tuhan, serta memahami nilai – nilai sejarah dan budaya di Tanah Jawa.

