Islam dan tugas menyembuhkan dunia yang kehilangan arah. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan berisik ini, muncul satu kegelisahan yang diam-diam dirasakan banyak orang: masih relevankah Islam dalam menjawab tantangan sosial dan perkembangan sains masa kini? Pertanyaan itu tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari kegamangan sebagian umat yang melihat praktik keislaman di sekitarnya cenderung berhenti pada tataran ritual dan formalitas. Islam sering dipahami sebatas ibadah mahdhah, fikih, dan tasawuf yang berorientasi akhirat, sementara aspek intelektual dan sosialnya jarang tersentuh.
Padahal, Islam tidak datang hanya untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta. Namun, dalam kenyataannya, ada jarak antara ajaran dan praksis. Ketika umat Islam tampak pasif menghadapi tantangan zaman—dari kemiskinan struktural, korupsi, hingga krisis lingkungan—muncullah pertanyaan yang menggugat: apa kontribusi nyata Islam terhadap kemajuan sains dan sosial masyarakat modern, jika kita menyingkirkan sejenak romantisme masa keemasan peradaban Islam di Baghdad atau Andalusia?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menengok kembali hakikat manusia dan masyarakat. Manusia, kata para pemikir, adalah makhluk ganda: individu sekaligus bagian dari kelompok. Dari himpunan individu terbentuklah masyarakat, dan ketika masyarakat memiliki cita-cita bersama, lahirlah negara. Masyarakat, dalam analogi yang indah, mirip tubuh manusia. Ia disebut sehat bila seluruh anggotanya berfungsi baik. Maka, masyarakat yang “sakit” adalah masyarakat yang warganya tidak sehat—baik secara fisik, mental, maupun moral.
Selain itu, manusia memiliki dua dimensi: fisik dan psikis. Karena masyarakat tersusun dari manusia, masyarakat pun mewarisi dua dimensi itu: dimensi fisik yang tampak sebagai peradaban (bangunan, teknologi, sistem), dan dimensi psikis yang memancar dalam bentuk budaya dan moralitas. Kedua dimensi ini harus berjalan beriringan. Peradaban tanpa budaya ibarat tubuh tanpa jiwa—hidup, tapi kosong.
Ciri Khas Islam: Agama yang Menyentuh Seluruh Dimensi Hidup
Prof. M. Quraish Shihab pernah menjelaskan bahwa Islam memiliki tiga ciri utama: Rabbaniyyah (bersifat ketuhanan), Insaniyyah (bersifat kemanusiaan), dan ‘Alamiyyah atau Syumūliyyah (mencakup seluruh aspek kehidupan). Dengan ciri-ciri ini, Islam hadir bukan sekadar agama ibadah, tetapi sistem nilai yang utuh—mengatur kehidupan pribadi, sosial, hingga hubungan antarbangsa.
Islam memberi manusia panduan spiritual yang sejalan dengan akal sehat, menawarkan nilai etika tertinggi, dan memberikan aturan praktis untuk kebahagiaan dunia sekaligus akhirat. Karena itulah Islam berbeda dari agama-agama lain yang memisahkan urusan dunia dan akhirat, serta berbeda dari ideologi modern seperti kapitalisme dan komunisme yang hanya menuhankan rasionalitas dan materi.
Kemajuan material yang kita lihat di negara-negara maju memang memukau: kota bersih, teknologi mutakhir, pendidikan tinggi. Namun di balik itu, tersimpan kegelisahan batin yang mendalam. Rasa cemas, alienasi sosial, hingga krisis makna. Di balik pencapaian sains yang luar biasa, manusia modern sering kehilangan arah moral. Dunia menjadi semakin pintar, tetapi tidak semakin bijak.
Maka, jika peradaban hanya dilihat dari beton dan baja, dari teknologi dan statistik ekonomi, kita sebenarnya sedang mengukur tubuh tanpa menimbang jiwa. Padahal, kesejahteraan sejati tidak hanya diukur dari kemajuan materi, tetapi juga dari ketenangan batin, keadilan sosial, dan moralitas publik.
Akar Masalah: Jiwa yang Sakit
Lalu, di mana sumber problematika sosial dan sains kita? Banyak ulama menjelaskan, semuanya bermula dari hati manusia. Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i menyebut enam akar penyakit manusia: kerakusan, kemewahan, kekejaman, egoisme, kesombongan, dan keras kepala. Al-Ghazali menyebut empat: harapan panjang, tergesa-gesa, dengki, dan sombong. Sementara Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menegaskan satu sebab paling dalam: keterikatan hati kepada dunia.
Semua itu bersumber dari jiwa yang tidak sehat. Bila hati kotor, pikiran pun gelap; dan dari pikiran gelap lahir perilaku yang menimbulkan kerusakan sosial. Maka, masalah sosial sejatinya bukan sekadar masalah ekonomi, politik, atau struktur sosial—melainkan masalah moral dan spiritual.
Islam memandang manusia sebagai sumber sekaligus solusi dari masalah sosial. Jika hati manusia diperbaiki, masyarakat pun ikut sembuh. Dengan begitu, kemajuan peradaban tidak hanya berwujud fisik, tetapi juga bermakna spiritual. Ia bukan sekadar kemajuan semu yang gemerlap di luar, tetapi rapuh di dalam.
Peran Islam: Menyembuhkan dari Dalam
Lalu, siapa yang berperan menyembuhkan penyakit sosial ini? Islam sendiri telah menyediakan resepnya melalui tiga pilar utama: akidah, syariah, dan akhlak. Tiga aspek ini tidak bisa dipisahkan. Akidah membangun keyakinan dan arah hidup; syariah mengatur perilaku lahiriah; dan akhlak menata batin agar ikhlas.
Al-Buthi mengingatkan bahwa amal lahiriah tidak akan diterima di sisi Allah tanpa keikhlasan hati. Artinya, hukum, ibadah, dan aktivitas sosial apa pun hanya bermakna jika bersumber dari jiwa yang bersih. Dengan kata lain, penegakan syariah tanpa spiritualitas akan kering, sementara spiritualitas tanpa syariah akan kabur dan tidak membumi.
Sayyid Quthb menyebut Islam sebagai manhaj ilahi—pedoman Ilahi untuk kehidupan manusia yang dijalankan dengan usaha manusia sendiri, sesuai kapasitas dan realitas zamannya. Maka, solusi Islam terhadap problem sosial tidak bisa datang secara instan. Ia menuntut kesungguhan, atau dalam bahasa Al-Buthi, jihad.
Namun jihad di sini bukan semata perang fisik, melainkan perjuangan melawan hawa nafsu dan keburukan diri. Rasulullah Saw. bahkan menyebut perjuangan menundukkan hawa nafsu sebagai “jihad besar”. Sebab di sanalah semua perubahan bermula: dari dalam diri manusia.
Ulama dan Tanggung Jawab Moral
Dalam konteks inilah peran ulama dan tokoh Islam menjadi sangat penting. Mereka adalah “dokter jiwa” masyarakat. Melalui ceramah, pengajaran, dan keteladanan, para ulama membimbing umat mengenali akar penyakit sosial—rakus, iri, cinta dunia—seraya mengajarkan obatnya: zuhud, sabar, dan cinta kebenaran.
Pendekatan mereka tentu beragam. Ada yang lembut dan persuasif, ada yang tegas dan konfrontatif. Ada yang menempuh jalan dakwah kultural, ada pula yang memilih jalur struktural melalui politik. Perbedaan ini sah saja selama berlandaskan iman dan kejujuran, bukan ambisi pribadi. Sebab, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad Saw., jalan kebenaran tidak mengenal kompromi dengan kebatilan.
Namun di sinilah ujian umat modern: di tengah derasnya arus informasi, banyak yang lebih suka ikut-ikutan tanpa berpikir. Taklid buta terhadap tokoh, partai, atau ideologi apa pun berpotensi menyesatkan bila tak diimbangi nalar kritis. Islam justru mengajarkan keseimbangan antara iman dan akal, antara ketaatan dan tanggung jawab intelektual.
Sayangnya, sebagian kalangan yang gagal memahami keseimbangan ini justru tergelincir ke arah ekstrem lain: menilai sebagian ajaran Islam sudah “tidak relevan” dengan zaman. Dari sinilah benih sekularisme tumbuh—pemisahan antara agama dan kehidupan sosial. Padahal, justru di sinilah letak keunikan Islam: ia hadir untuk menyatukan, bukan memisahkan; untuk menuntun, bukan mengurung.
Sains: Antara Berkah dan Bencana
Sains, pada dasarnya, adalah anugerah Allah. Ia merupakan perpanjangan dari akal, alat yang diberikan Tuhan agar manusia memakmurkan bumi. Tetapi sebagaimana alat, nilai sains bergantung pada tangan siapa ia digunakan. Cangkul di tangan petani menumbuhkan kehidupan, tapi di tangan pembunuh bisa menjadi alat kejahatan.
Ayatullah Murtadha Muthahhari mengisahkan, ketika Einstein menemukan teori fisika yang kelak melahirkan energi nuklir, ia tidak pernah membayangkan penemuannya akan dipakai untuk membuat bom. Namun di tangan penguasa yang haus kekuasaan, ilmu itu berubah menjadi alat ancaman dan pembunuhan massal. Di sinilah letak problem sains modern: ia kehilangan kompas moral.
Islam hadir untuk menegakkan kembali keseimbangan itu. Ia tidak menolak sains, justru mendorongnya—“Iqra’,” bacalah, adalah wahyu pertama. Tapi Islam menuntut agar ilmu diarahkan pada kemaslahatan, bukan kehancuran. Islam memadukan ilmu dengan nilai, pengetahuan dengan kebijaksanaan.
Karena itu, kontribusi terbesar Islam terhadap sains bukan hanya dalam bentuk angka dan rumus, melainkan pada etika berilmu. Islam menanamkan kesadaran bahwa ilmu adalah amanah, bukan alat kesombongan. Bahwa teknologi harus memuliakan manusia, bukan memperbudaknya.
Kontribusi Islam bagi Sosial dan Peradaban Modern
Dalam sejarahnya, dorongan Islam terhadap penggunaan akal dan ilmu telah melahirkan peradaban besar: Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, dan banyak ilmuwan Muslim lain yang membuka jalan bagi lahirnya ilmu pengetahuan modern. Namun yang lebih penting dari nama-nama itu adalah semangat yang mereka warisi dari Al-Qur’an: semangat untuk berpikir, meneliti, dan mencari kebenaran dengan kesadaran moral.
Dalam bidang sosial, Islam juga memberi arah yang jelas: keadilan, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap sesama. Prinsip keadilan (‘adl) bukan hanya konsep hukum, tetapi landasan moral untuk setiap kebijakan publik. Konsep amanah menjadi dasar etika politik. Prinsip syura (musyawarah) menjadi cikal bakal demokrasi partisipatif. Dan di atas semua itu, Islam menuntun manusia agar tidak terjebak dalam cinta dunia berlebihan—penyakit yang oleh Rasulullah disebut wahn, cinta dunia dan takut mati.
Sains yang tidak diimbangi spiritualitas akan kehilangan arah. Begitu pula agama yang menolak sains akan kehilangan daya hidup. Islam menawarkan jalan tengah: integrasi ilmu dan iman. Dari sinilah lahir konsep khalifah fil ardh—manusia sebagai pengelola bumi yang bertanggung jawab. Ia bukan pemilik alam, melainkan penjaga yang wajib memakmurkan, bukan merusak.
Menjaga Hati, Menjaga Dunia
Akhirnya, semua kembali ke dalam diri. Rasulullah Saw. bersabda, “Dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik; jika ia rusak, seluruh tubuh rusak. Itulah hati.” Hati yang bersih melahirkan masyarakat yang bersih, dan masyarakat yang bersih melahirkan peradaban yang sehat.
Krisis sosial dan sains yang kita alami sekarang sesungguhnya adalah krisis hati: hati yang terlampau cinta dunia, silau oleh materi, dan kehilangan orientasi akhirat. Maka, jalan keluarnya bukan sekadar reformasi struktural atau revolusi teknologi, tetapi revolusi moral—revolusi hati.
Islam tidak pernah bertentangan dengan kemajuan. Ia justru menuntun manusia agar kemajuannya tetap manusiawi. Tugas kita hari ini bukan meniru masa lalu, melainkan menyalakan kembali semangat itu: semangat berpikir rasional tanpa kehilangan arah spiritual, semangat membangun dunia tanpa melupakan akhirat.
Di tengah dunia yang semakin canggih tapi kehilangan kedamaian, pesan Islam terdengar semakin relevan: bahwa kebahagiaan sejati tidak ada pada harta, kuasa, atau teknologi, melainkan pada hati yang tenang dan jiwa yang bersih. Sebab, sebagaimana sabda Nabi Saw., “Jika hati baik, maka baiklah seluruh tubuh.” Dan bila hati manusia baik, peradaban pun akan ikut baik.
Wallāhu a‘lam.