Esai

Menjaga Asa di Zaman Abnormal: Saat Normalitas Tak Lagi Bisa Dipercaya

6 Mins read

Menjaga asa di zaman abnormal: saat normalitas tak lagi bisa dipercaya. Zaman ini tidak lagi normal. Segala yang tampak masuk akal kini terasa ganjil. Yang salah bisa tampil suci, yang benar mudah dituduh sesat. Kita hidup di masa ketika kebohongan menjadi bahan bakar politik, dan kejujuran sering dianggap terlalu polos untuk bertahan. Dunia berjalan cepat, tapi arah lajunya entah menuju ke mana.

Inilah yang disebut sebagai zaman abnormal. Sebuah masa ketika ukuran moral dan logika tak lagi berjalan seiring. Nilai-nilai lama yang dulu dijunjung tinggi kini dianggap kuno, sementara yang baru sering kali hanyalah kemasan yang dibungkus rapi untuk menipu mata. Normalitas yang dulu kita kenal seolah kehilangan relevansinya.

Dalam situasi seperti ini, kita perlu memutar cara pandang. Zaman abnormal tidak bisa disikapi dengan nalar yang datar. Ia menuntut kewaspadaan, ketajaman membaca tanda, dan keberanian untuk berpikir melawan arus. Karena kalau kita terus berpikir dengan logika normal di tengah dunia yang terbalik, maka kita akan ikut terseret dalam absurditasnya.

Dunia yang Penuh Tipu Muslihat

Kita tengah berada di dunia yang penuh tipu muslihat. Kebenaran dan kepalsuan bercampur seperti kabut yang sulit dipisahkan. Kita tak bisa lagi menilai sesuatu hanya dari yang tampak di permukaan. Di media sosial, kebaikan bisa dijual dengan caption sedih dan filter estetis, sementara kebohongan bisa disulap jadi kebenaran hanya dengan narasi yang terencana.

Tipu muslihat hari ini bukan lagi sekadar kebohongan individual. Ia telah menjelma menjadi sistem yang kompleks. Ia mengatur cara kita berpikir, merasa, bahkan bereaksi terhadap dunia. Algoritma menentukan apa yang kita lihat, siapa yang kita percayai, dan apa yang kita anggap penting. Kita berpikir sedang membuat pilihan, padahal pilihan itu telah diatur jauh sebelum kita menyadarinya.

Inilah wajah baru penipuan: tidak lagi terang-terangan, tapi halus dan sistematis. Kita bisa saja merasa merdeka, padahal dikendalikan oleh data dan ilusi kebebasan yang diciptakan oleh teknologi. Maka jangan sekadar membaca dari apa yang terlihat. Di balik setiap visual yang viral, di balik setiap wacana yang mendominasi, selalu ada tangan-tangan yang mengatur narasi.

Jaga Asa, Meski Tak Leluasa

Namun di tengah kepalsuan yang begitu rapi, kita tidak boleh kehilangan asa. “Jaga asa, meski tidak leluasa,” begitu kata bijak yang terasa tepat menggambarkan keadaan hari ini. Hidup memang semakin sempit. Banyak orang merasa tidak leluasa untuk berpikir jujur, berbicara bebas, atau bahkan menjadi diri sendiri. Kita dikurung oleh ekspektasi sosial, tekanan ekonomi, dan tuntutan untuk selalu tampil sesuai selera publik.

Baca...  Telaah Kritis Gerakan Feminisme Era Kontemporer

Meski begitu, asa tetap harus dijaga. Karena harapan adalah bahan bakar terakhir manusia ketika segalanya tampak mustahil. Tanpa harapan, kita akan tergelincir menjadi masyarakat yang sinis dan apatis. Kita akan kehilangan kepekaan terhadap penderitaan orang lain, merasa lelah dengan kebenaran, dan lebih memilih ikut arus daripada memperbaiki arah.

Padahal, bangsa ini pernah berdiri karena harapan. Para pendiri republik berjuang bukan karena mereka yakin akan menang, tapi karena mereka percaya perjuangan itu sendiri adalah bentuk kemenangan. Begitu pula hari ini. Di tengah ketidakpastian, harapan adalah bentuk perlawanan paling tenang namun paling kuat. Ia membuat kita tetap berani menanam pohon, meski tahu mungkin kita takkan sempat berteduh di bawahnya.

Berpikir di Luar Kebiasaan

Zaman abnormal menuntut keberanian baru: keberanian untuk berpikir di luar kebiasaan. Kalau dulu kejujuran sudah cukup untuk dipercaya, kini kejujuran harus dibuktikan dengan konsistensi yang panjang. Kalau dulu kerja keras membawa hasil, kini kerja keras sering kalah oleh kecerdikan bermain citra. Maka, kita tidak bisa terus memakai rumus lama untuk menjawab tantangan baru.

Berpikir “normal” di zaman abnormal hanya akan membuat kita frustrasi.Kita akan terus bertanya mengapa yang culas dipuja, yang jujur dicaci, yang berilmu diabaikan, dan yang berisik justru didengar. Dunia memang tidak lagi berjalan dengan logika lama. Karena itu, diperlukan cara baru untuk memahami, bukan dengan menolak kenyataan, tapi dengan membaca lapisan-lapisan di baliknya.

Sikap skeptis kini bukan tanda pesimis, tapi bentuk kewarasan. Kritis bukan berarti membenci, tapi ingin memahami lebih dalam. Dalam situasi yang penuh kepalsuan, menjaga jarak dengan euforia publik adalah bentuk kehati-hatian moral. Di tengah kegaduhan, kemampuan untuk menenangkan diri dan berpikir jernih justru menjadi kekuatan langka.

Hidup Sekali, Bermakna Beribu Kali

Namun di tengah semua itu, ada satu hal yang tetap: kehidupan. Hidup hanya sekali, kata orang. Tapi itu tidak berarti kita hanya punya satu kesempatan untuk bermakna. Hidup bisa sekali, tapi maknanya bisa beribu kali, jika kita tahu untuk apa kita hidup.

Makna tidak selalu datang dari hal besar. Ia bisa lahir dari hal-hal kecil yang dilakukan dengan niat tulus: membantu tanpa kamera, berkata benar tanpa takut, menulis dengan hati tanpa berharap viral. Dalam dunia yang serba pamer, ketulusan adalah bentuk perlawanan paling revolusioner.

Banyak orang hidup lama tapi tak pernah benar-benar hidup. Mereka sibuk memenuhi standar dunia luar—ingin terlihat sukses, ingin dianggap keren, ingin disukai banyak orang. Tapi di dalam dirinya, kosong. Mereka lupa bahwa kebermaknaan tidak bergantung pada seberapa banyak orang mengenal kita, tapi seberapa dalam kebaikan kita meninggalkan jejak pada kehidupan orang lain.

Baca...  Urgensi Peran Pemuda Dalam Kontekstualisasi Makna Al Quran di Era Digital

Hidup bermakna tidak selalu berarti hidup besar. Kadang justru di kesunyian seseorang yang menolak untuk ikut menipu, di tangan seorang guru yang tulus mengajar tanpa pamrih, di hati seorang anak muda yang menolak untuk korup, di sanalah makna hidup tumbuh tanpa suara.

Krisis Nalar, Krisis Nurani

Krisis zaman ini bukan hanya krisis moral, tapi juga krisis nalar. Masyarakat kita kehilangan kemampuan untuk membedakan antara informasi dan manipulasi. Media sosial mempercepat semuanya, tapi tidak memperdalam apa pun. Orang berlomba menjadi yang paling cepat menyimpulkan, bukan yang paling dalam memahami.

Dalam politik, keadaan ini menjadi ladang subur bagi kepura-puraan. Kampanye dibungkus dengan slogan moral, tapi di baliknya hanya ada kepentingan pragmatis. Media yang dulu menjadi penjaga kebenaran kini banyak yang menjadi alat legitimasi kekuasaan. Narasi tidak lagi soal fakta, tapi soal siapa yang punya dana lebih besar untuk membuatnya viral.

Krisis nalar ini berbahaya karena menciptakan generasi yang terbiasa dengan kepalsuan. Ketika masyarakat lebih percaya pada citra ketimbang substansi, demokrasi akan kehilangan rohnya. Ia menjadi ritual lima tahunan tanpa makna, karena rakyat tak lagi memiliki kesadaran kritis untuk menilai.

Maka melawan zaman abnormal berarti membangun kembali kesadaran.Kesadaran bahwa kebenaran tidak selalu datang dari yang populer, bahwa kejujuran tidak selalu disukai, dan bahwa berpikir sendiri adalah bentuk keberanian yang paling mahal.

Melawan dengan Ketulusan

Perlawanan di zaman ini tidak lagi dengan senjata, tapi dengan ketulusan dan konsistensi. Melawan bukan berarti memusuhi, tapi menolak untuk menyerah pada kebohongan. Ketika dunia menuntut kepura-puraan, melawan berarti tetap menjadi diri sendiri tanpa topeng. Ketika semua orang mengejar viralitas, melawan berarti menulis kebenaran walau tak ada yang membaca.

Dalam dunia yang serba pura-pura, keaslian adalah kemewahan. Kita pura-pura bahagia di depan kamera, pura-pura peduli di media sosial, pura-pura saleh di depan publik. Semua pura-pura itu membuat kita lupa bagaimana rasanya jujur. Kita kehilangan hubungan dengan diri sendiri karena terus memerankan karakter yang bukan kita.

Padahal, ketulusan adalah pondasi kehidupan. Ia tidak butuh sorotan, tidak memerlukan pujian. Ia bekerja diam-diam seperti akar yang menopang pohon besar dari bawah tanah. Bila akar itu patah, sehebat apa pun batangnya, pohon itu akan tumbang. Begitu pula manusia: tanpa ketulusan, sehebat apa pun citranya, ia rapuh.

Baca...  Gelombang Hidup Manusia

Menciptakan Normalitas Baru

Kita tidak perlu lagi mencari “normalitas” yang lama. Normal yang dulu mungkin sudah tidak sesuai dengan realitas hari ini. Dunia telah berubah, dan kita perlu menciptakan normal baru—normal yang berpihak pada nilai, bukan pada kebiasaan massal. Normal baru berarti tetap berpikir kritis di tengah ketergesaan, tetap jujur di tengah kepalsuan, tetap berempati di tengah individualisme.

Normal baru juga berarti berani lambat ketika semua orang berlomba cepat.Berani diam ketika dunia penuh teriakan. Berani menepi ketika semua orang ingin tampil. Dalam diam, kita bisa kembali mendengar suara hati; dalam lambat, kita bisa kembali menemukan makna.

Hidup tidak harus spektakuler untuk berarti. Yang penting bukan seberapa tinggi kita berdiri, tapi seberapa kuat kita tetap tegak ketika angin menekan dari segala arah. Di zaman yang penuh tipu muslihat, manusia yang tetap waras, tetap jujur, dan tetap berharap adalah bentuk keberanian paling murni.

Asa yang Tak Boleh Mati

Pada akhirnya, zaman boleh berubah, tapi nilai-nilai dasar kemanusiaan tidak boleh goyah. Kita boleh hidup di dunia yang penuh kepalsuan, tapi kita tak harus menjadi bagian darinya. Kita boleh dikelilingi kebohongan, tapi kita tak harus berbohong. Kita boleh tidak leluasa, tapi kita tak boleh kehilangan asa.

Hidup memang hanya sekali, tapi ia bisa bermakna berkali-kali jika dijalani dengan kesadaran. Setiap kali kita menolak ikut arus kebohongan, setiap kali kita menegakkan kebenaran meski sendirian, setiap kali kita memilih jalan yang sulit tapi benar—di sanalah makna hidup bertambah satu lagi.

Mungkin kita tak akan pernah mampu mengubah dunia sepenuhnya. Tapi yang pasti, kita bisa memastikan dunia tidak mengubah kita menjadi makhluk tanpa nurani. Karena meski zaman ini abnormal, manusia yang berpegang pada kebenaran tetap akan menjadi tanda bahwa kemanusiaan belum punah.

Mereka mungkin kecil, sunyi, dan tak dikenali banyak orang. Namun merekalah api kecil di tengah malam gelap—tak cukup untuk menerangi seluruh dunia, tapi cukup untuk menunjukkan arah bagi yang masih ingin pulang.

Dan di sanalah, dari catatan yang telah dituliskan diatas dapat ditarik sebuaah kesimpulan tentang sebuah pesan yang bermakna: “Ini zaman abnormal, jangan dipikir dengan cara normal. Ini zaman penuh tipu muslihat, jangan sekadar dibaca dari hanya yang terlihat. Tetap jaga asa, meski tidak leluasa. Hidup hanya sekali, bermaknalah beribu kali.”

1 posts

About author
Alumnus Pesantren Nurul Jadid Paiton, Pelayan Kader, Putra Giligenting Sumenep.
Articles
Related posts
EsaiFilsafat

Mengapa Mantiq (Logika) Harus Bangkit di Pesantren? Ini Jawaban Imam Al-Ghazali

4 Mins read
Perlu diketahui bahwa mantiq (Logika) merupakan disiplin yang akrab dan bagian integral dalam khasanah keilmuan Islam. Sejak awal kemunculannya pada masa Dinasti Abbasiyah,…
Esai

Agama, Kemanusiaan, dan Keberanian Membaharui Pemikiran

2 Mins read
Konflik, perang, dan kekerasan sering dibungkus dengan klaim agama. Setiap pihak merasa memiliki mandat suci untuk mempertahankan tanah, identitas, atau kelompoknya. Tetapi…
Esai

Antara Esensi dan Identitas: Membaca Ulang Wajah Islam

3 Mins read
Empat belas abad silam, sebuah revolusi sosial lahir di tengah gurun tandus Mekah. Rasulullah datang dengan pesan sederhana tapi mengguncang tatanan Tuhan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
KeislamanSejarah

Perkembangan Mazhab Dalam Islam

Verified by MonsterInsights