Opini

Jalan Sunyi Menuju Tuhan

3 Mins read

Di era ketika hampir segala hal ditundukkan pada logika angka, data statistik, dan kriteria verifikasi ilmiah, berbicara tentang Tuhan kerap dipandang usang. Tuhan dianggap terlalu jauh, terlalu asing, atau bahkan terlalu absurd untuk bisa diucapkan oleh bahasa manusia. Skeptisisme teologis modern meyakini bahwa bahasa manusia, yang lahir dari pengalaman indrawi, takkan pernah sanggup menyentuh realitas ilahi yang non-indrawi, tak terindra, dan transenden.

Karl Barth, seorang teolog besar abad ke-20, pernah menyatakan bahwa segala bahasa manusia tentang Tuhan pada dasarnya tidak layak bagi-Nya. Kata-kata kita, sebaik atau setinggi apa pun, selalu tertinggal jauh di belakang realitas yang ingin diungkapkannya. Lalu pertanyaannya: mungkinkah kita tetap berbicara tentang Tuhan tanpa sekadar bermain simbol atau menjebak diri dalam agnostisisme?

Di titik inilah filsafat agama, lewat pemikiran klasik Thomas Aquinas yang dihidupkan kembali oleh Norbertus Jegalus, menawarkan jalan keluar. Teori analogi menjadi sebuah keberanian epistemologis sekaligus kerendahan hati spiritual: manusia memang terbatas, tetapi kerohanian dan akalnya memungkinkannya tetap berbicara tentang yang Tak Terbatas, dengan bahasa yang sebagian sama, sebagian berbeda.

Masalah utama skeptisisme teologis adalah apa yang dalam filsafat disebut inaedequatio ketidakseimbangan antara kemampuan bahasa manusia dan objek yang dibahasakan. Bahasa manusia terbentuk dari pengalaman duniawi, berakar dari hal-hal indrawi yang bisa disentuh, dilihat, atau dirasakan. Sementara Tuhan adalah realitas adi-alami, yang tak bisa dijangkau oleh pancaindra atau konsep-konsep material.

Menggunakan istilah yang sama antara manusia dan Tuhan secara univok (makna yang sepenuhnya sama) akan menyeret kita ke jurang antropomorfisme: menyetarafkan Tuhan dengan manusia. Sebaliknya, jika kita menggunakan bahasa ekuivok (makna yang benar-benar berbeda), kita justru jatuh dalam agnostisisme: mustahil manusia tahu apapun tentang Tuhan.

Baca...  Kesalehan Digital, Sebuah Keniscayaan Zaman

Dilema ini membuat banyak pemikir modern memilih diam. Bagi sebagian orang, lebih aman membungkam diri ketimbang salah bicara. Namun, pilihan ini pun bukan tanpa masalah. Membungkam diri bisa berarti mengkhianati kerinduan manusia yang paling mendasar: kerinduan kepada Yang Tak Terbatas.

Aquinas, seperti diurai kembali oleh Norbertus Jegalus, mengusulkan jalan tengah yang brilian: analogi. Bahasa analog memungkinkan manusia berbicara tentang Tuhan dengan cara yang sebagian maknanya mirip dengan makna dalam dunia manusiawi, tapi tetap menyisakan perbedaan esensial yang menjaga keunikan dan keagungan Ilahi.

Misalnya, ketika kita menyebut “Allah baik”, kita memahami kebaikan-Nya tidak persis sama seperti kebaikan kepala sekolah atau seorang ibu. Tetapi kita tetap mengerti makna dasarnya, lalu memurnikannya dari segala keterbatasan. Analogi menjadi jembatan rapuh sekaligus mulia, yang memungkinkan manusia menyebut sesuatu tentang Tuhan tanpa jatuh ke dalam jebakan antropomorfisme maupun agnostisisme total.

Di era modern ini, metafisika memang mulai ditinggalkan, dianggap tidak ilmiah dan hanya spekulasi kosong. Dunia lebih suka bicara soal hal-hal yang bisa diukur, ditimbang, dan diuji laboratorium. Padahal tanpa metafisika, agama akan kehilangan fondasi ontologisnya. Ia hanya tinggal sebatas mitologi atau produk budaya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional.

Norbertus Jegalus dalam tulisannya justru menegaskan kembali bahwa metafisika tetap relevan sebagai jalan pikiran menuju realitas transenden. Filsafat agama perlu terus merawat keberanian ini, karena jika metafisika dilupakan, maka semua pembicaraan tentang Tuhan hanya akan menjadi permainan kata tanpa makna.

Antara Keheningan dan Doa

Berbicara tentang Tuhan, dalam perspektif Jegalus, bukan soal bisa atau tidak bisa, melainkan soal keberanian manusia untuk setia pada pengalaman spiritualnya. Manusia tetap perlu berbicara tentang Tuhan, bukan karena mampu memahami-Nya sepenuhnya, tapi karena manusia adalah makhluk pencari makna.

Baca...  Bagaimana Keadilan Tuhan ?

Teori analogi di sini menjadi senjata epistemologis sekaligus pernyataan eksistensial. Kita menyebut Tuhan bijaksana, bukan karena bijaksana-Nya sama persis seperti manusia, tapi karena segala kebijaksanaan berasal dari-Nya, meski cara-Nya melampaui kebijaksanaan manusia. Bahasa analog adalah bentuk kerendahan hati akal manusia yang menyadari keterbatasannya, tetapi tak ingin berhenti mencari.

Namun, ada kalanya keheningan menjadi bahasa paling jujur tentang Tuhan. Tapi bahkan dalam diam itu, manusia tetap menyatakan sesuatu. Keheningan bukan berarti tak bermakna. Justru di situ, manusia menyadari betapa terbatasnya kata-kata, dan betapa luasnya realitas Ilahi yang tak sanggup diucapkan.

Membungkam diri sama sekali atas nama skeptisisme pun sebuah kekeliruan. Jegalus mengingatkan, tidak berbicara tentang Tuhan justru mengkhianati pengalaman eksistensial terdalam manusia. Sebab kerinduan kepada Yang Tak Terbatas adalah bagian hakiki dari diri manusia, dan bahasa seberapapun terbatasnya tetap merupakan jembatan menuju kesadaran spiritual itu.

Puncak Pengetahuan adalah Kesadaran akan Ketidaktahuan

Pada akhirnya, keberanian untuk tetap berbicara tentang Tuhan adalah pernyataan bahwa manusia bukan sekadar materi yang bisa diukur. Ia adalah makhluk yang merindukan makna, yang tak puas dengan sekadar bilangan dan data statistik.

Seperti diungkap Aquinas, “Illud est ultimatum cognitionis humanae de Deo quod sciat se Deum nescire”puncak pengetahuan manusia tentang Tuhan adalah kesadarannya bahwa ia tidak mengenal Tuhan. Tapi justru di situlah letak keberanian manusia. Meski tak bisa memahami sepenuhnya, manusia terus berusaha menjangkau-Nya lewat bahasa, doa, dan keheningan.

Akhirnya, berbicara tentang Tuhan bukan hanya soal epistemologi, melainkan keberanian eksistensial. Manusia menyebut Tuhan bukan karena ia mampu menjelaskan-Nya, tetapi karena ia tak kuasa untuk diam. Dan mungkin, di tengah dunia yang sibuk mengejar trending topic dan followers, berani menyebut Tuhan meski dengan bahasa terbatas, meski hanya lewat analogi, meski dalam doa yang lirih adalah bentuk perlawanan paling sunyi sekaligus paling bermakna.

Baca...  Penerapan Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim dalam Studi Tafsir

Sebab, pada titik paling hening, manusia sadar bahwa bahasa bukanlah penguasa realitas, melainkan sekadar penunjuk arah. Yang abadi hanyalah Tuhan. Di luar itu, kita semua hanyalah pengembara yang gagap menyebut-Nya.

Maka, mungkin inilah ironi sekaligus harapan zaman ini: ketika dunia ramai dengan teriakan politik, pasar, dan algoritma, suara paling jernih justru lahir dari bisikan doa. Dan siapa tahu, justru dari keheningan itu sejarah menemukan arah barunya.

8 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Malang dan Alumni PP Darurrahman, Pangarangan, Sumenep, Alumni PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Articles
Related posts
Opini

Belajar dari Gus Dur: Islam yang Membumi

3 Mins read
Belajar dari Gus Dur, Islam yang membumi. Kadang saya heran, kenapa sebagian umat Islam di negeri ini begitu sibuk ribut soal simbol:…
Opini

Islam, Kebebasan, dan Fanatisme

2 Mins read
Terkadang saya duduk sendiri, menatap sejarah Islam, dan merasa campur aduk. Ada kagum, ada sedih. Bayangkan Baghdad abad ke-9. Perpustakaannya besar, ilmuwan…
Opini

Papua Tanah Perdamaian: Peran Pemuka Agama dalam Merawat Toleransi

3 Mins read
Pemilihan Kepala Daerah di Papua baru-baru ini menghasilkan pasangan calon nomor urut 2, Matius Fakhiri, S.I.K., dan Aryoko Alberto Ferdinand Rumaropen, S.P.,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Opini

Belajar dari Gus Dur: Islam yang Membumi

Verified by MonsterInsights