Belajar dari Gus Dur, Islam yang membumi. Kadang saya heran, kenapa sebagian umat Islam di negeri ini begitu sibuk ribut soal simbol: cara berpakaian, bentuk syariat formal, bahkan cara orang memberi salam. Sementara intoleransi tumbuh, kesenjangan sosial melebar, dan korupsi kian merajalela, justru sepi dari perhatian. Apa iya, agama memang hanya hadir untuk mengatur kulit luar? Atau sebenarnya kita memang bangsa yang lebih sibuk menjaga kemasan daripada menghayati isi?
Jangan salah paham. Simbol agama tetap penting. Tetapi mari kita jujur sebentar: seberapa besar dampak langsung simbol itu terhadap kehidupan rakyat kecil di pelosok? Bandingkan dengan substansi ajaran Islam keadilan, kasih sayang, penghormatan terhadap martabat manusia yang justru sering ditinggalkan. Bukankah banyak konflik kita justru lahir karena simbol dipertentangkan, sementara nilai substansi diabaikan?
Fenomena inilah yang sejak lama dikritik Gus Dur. Ia menawarkan konsep pribumisasi Islam, yaitu bagaimana ajaran Islam diterapkan dengan mempertimbangkan budaya lokal. Bukan berarti Islam diubah agar sesuai adat, melainkan spirit Islam hadir tanpa mematikan kearifan setempat. Islam Nusantara, menurut Gus Dur, adalah Islam yang ramah, penuh toleransi, cinta damai, dan jauh dari wajah radikal.
Sejarah Nusantara menunjukkan bahwa Islam tumbuh bukan dengan pedang, melainkan dengan budaya. Sunan Kalijaga menggunakan wayang, tembang, dan gamelan. Sunan Kudus menghormati tradisi Hindu dengan melarang penyembelihan sapi. Inilah wajah Islam yang merangkul.
Gus Dur melanjutkan warisan itu. Baginya, Islam di Aceh tentu tidak sama dengan Minangkabau, Jawa, atau Bugis. Semua berbeda, tetapi sah adanya. Pribumisasi Islam berarti menghadirkan Islam yang menyatu dengan tanah air kita, bukan Islam yang kaku. Di sini Islam Nusantara menemukan maknanya: agama yang tidak menakutkan, tetapi menenteramkan.
Agama sebagai Etika, Bukan Sekadar Formalitas
Gus Dur selalu menekankan maqasid syariah: menjaga jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta. Inilah inti syariat yang harus dijaga. Dengan kerangka itu, membela minoritas bukan sekadar sikap politik, melainkan kewajiban teologis.
Kita ingat bagaimana Gus Dur mencabut diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Ia juga dikenal berani membela Ahmadiyah atau kelompok adat yang sering terpinggirkan. Kritik datang dari berbagai arah, tetapi Gus Dur tetap tenang. Baginya, agama kehilangan makna jika gagal melindungi manusia.
Konsep ini sejalan dengan teori hukum responsif Philip Selznick: hukum seharusnya tidak hanya merawat prosedur, tetapi menjawab problem sosial nyata. Gus Dur melakukan hal serupa pada agama: jangan sibuk mengurus formalitas, tapi lupakan substansi.
Masalahnya, politik kita sering justru mengumbar simbol agama. Seruan moral hanya jadi jargon kampanye. Syariat dibawa ke panggung politik untuk meraih suara, bukan untuk menegakkan keadilan.
Gus Dur sejak awal menolak formalisasi agama yang kaku. Ia tidak anti syariat, tetapi menolak menjadikannya alat politik. Ia pernah menyindir, “Apa gunanya orang pakai peci, jubah, dan sorban kalau masih menindas orang kecil?” Kritik itu tepat sasaran: simbol keagamaan tak ada artinya jika perilaku jauh dari nilai kemanusiaan.
Relevansi untuk Indonesia Kini
Hari ini, intoleransi masih tinggi. Rumah ibadah minoritas kerap dipersoalkan. Media sosial menjadi ladang ujaran kebencian. Politik identitas terus dimainkan. Sementara itu, kemiskinan, korupsi, dan ketidakadilan tetap membelenggu.
Dalam situasi seperti ini, warisan Gus Dur sangat relevan. Pertama, ia menegaskan bahwa Islam dan nasionalisme bukanlah dua kutub yang berlawanan. Justru mencintai tanah air adalah bagian dari iman. Kedua, ia menawarkan wajah Islam yang ramah dan kosmopolitan, yang mampu menjadi penangkal radikalisme global. Ketiga, ia menunjukkan bahwa pluralisme adalah kekuatan, bukan ancaman.
Pertanyaannya: bagaimana Indonesia, dengan ribuan pulau, ratusan etnis, dan puluhan agama, bisa tetap bersatu? Jawabannya terletak pada tradisi Islam Nusantara yang ramah terhadap budaya.
Ketika Timur Tengah dilanda konflik sektarian, Indonesia justru dipuji sebagai teladan Islam demokratis. Islam Nusantara terbukti mampu berjalan bersama demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia. Dan Gus Dur adalah wajah Islam Indonesia yang dikenal dunia ikon moderasi yang membawa harapan baru.
Gus Dur pernah berkata, “Tidak penting apa agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Kalimat ini sederhana, tetapi sarat filosofi: agama menemukan maknanya ketika menjadi etika kemanusiaan.
Maka, kalau hari ini kita masih sibuk berdebat soal simbol agama, silakan saja. Tetapi jangan lupa: ada anak miskin yang kehilangan sekolah, ada petani yang tanahnya dirampas, ada rakyat yang dikhianati janji politik. Semua itu jauh lebih mendesak ketimbang persoalan seragam atau ucapan salam.
Islam Nusantara ala Gus Dur mengingatkan kita bahwa agama tidak berhenti di langit, tetapi harus menjejak di bumi. Ia bukan sekadar identitas, melainkan energi moral untuk merawat kemanusiaan. Dan selama bangsa ini masih sibuk pada simbol ketimbang substansi, suara Gus Dur akan terus terdengar sebagai teguran, sekaligus harapan.