Esai

Agama, Kemanusiaan, dan Keberanian Membaharui Pemikiran

2 Mins read

Konflik, perang, dan kekerasan sering dibungkus dengan klaim agama. Setiap pihak merasa memiliki mandat suci untuk mempertahankan tanah, identitas, atau kelompoknya. Tetapi pertanyaan yang seharusnya menggema di hati kita adalah: benarkah Tuhan menurunkan agama hanya untuk membenarkan pertempuran tanpa akhir?

Al-Qur’an dengan tegas menyatakan:

وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ

(QS. Al-Ḥujurāt: 13)

“Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”

Rasulullah ﷺ pun mengingatkan:

المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده

(HR. al-Bukhari dan Muslim)

“Seorang Muslim sejati adalah orang yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya.”

Dua teks suci ini cukup untuk menjungkirbalikkan logika fanatisme. Perbedaan bukan alasan untuk berperang, melainkan ruang untuk saling mengenal. Keberagamaan sejati bukan soal jargon, melainkan kemampuan menjaga orang lain dari luka.

Kenyataannya, umat beragama masih sering terjebak pada pola lama: agama dijadikan pagar identitas, bukan jembatan kemanusiaan. Kita sibuk membela “kebenaran kelompok,” tetapi lupa membela kehidupan. Akibatnya, agama justru kehilangan daya menyembuhkan, berubah menjadi alat yang melukai.

Dalam bahasa akademik, pola ini bisa disebut sebagai konstruksi identitas eksklusif-agama dipakai bukan sebagai energi etika, melainkan simbol perbedaan. Akibatnya, narasi agama tidak lagi berfungsi sebagai perekat sosial, tetapi sebagai mekanisme legitimasi kekuasaan.

Konflik Israel-Palestina menjadi cermin paling gamblang. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat puluhan ribu warga Gaza meninggal dalam serangan, mayoritas perempuan dan anak-anak. Di sisi lain, ribuan warga Israel juga menjadi korban roket dan serangan Hamas. Dari perspektif kemanusiaan, kedua belah pihak adalah korban. Dari perspektif akademis, inilah contoh nyata bagaimana narasi religius diperalat untuk kepentingan politik dan melanggengkan kekerasan.

Baca...  Fitrah Manusia dalam Perspektif Islam : Urgensi dan Makna Hikakat Fitrah

Tiga Prinsip Pembaharuan

Pertama, korban sipil tidak boleh dinormalisasi. Manusia bukan sekadar angka statistik. Dalam analisis etika politik, membenarkan ribuan nyawa melayang sebagai “dampak sampingan” hanyalah bentuk dehumanisasi. Agama maupun teori moral modern sama-sama menolak logika ini.

Kedua, agama tidak bisa jadi pembenaran absolut. Klaim seperti “tanah ini milik kami karena Tuhan menjanjikannya” adalah contoh dari absolutisme teologis yang menutup pintu dialog. Dari perspektif manusia biasa, itu artinya perang tak ada habisnya. Dari perspektif akademisi, itu adalah kegagalan menghadirkan agama sebagai diskursus transformatif yang memupuk empati lintas identitas.

Ketiga, keadilan adalah syarat perdamaian. Perdamaian tanpa keadilan hanyalah jeda sebelum konflik berikutnya. Dalam teori resolusi konflik, keadilan distributif (distributive justice) adalah fondasi utama. Palestina tidak akan diam selama hak-haknya dirampas. Israel juga tidak akan aman selama dikelilingi kebencian. Jalan tengah hanya bisa dibangun di atas pengakuan hak bersama, bukan dominasi salah satunya.

Menafsir Ulang Demi Masa Depan

Pembaharuan dalam pemikiran keagamaan bukanlah proyek intelektual semata. Ia adalah kebutuhan eksistensial manusia sekaligus agenda akademis. Selama agama dibaca dengan kacamata konflik, maka konfliklah yang akan lahir. Tetapi jika agama ditafsir dengan kacamata kemanusiaan, maka perdamaian punya peluang.

Sejarah memberi bukti. Yerusalem pada masa tertentu menjadi ruang hidup bersama tiga agama. Andalusia pernah menjadi pusat peradaban dengan harmoni Yahudi, Kristen, dan Islam. Bagi manusia modern, itu contoh bahwa koeksistensi bukan utopia. Bagi akademisi, itu bukti bahwa struktur sosial-religius dapat dikelola untuk menciptakan pluralitas produktif.

Ayat suci tidak berubah, tetapi hermeneutikanya bisa berkembang. Nabi tidak datang untuk memonopoli tanah, tetapi untuk menebar rahmat. Maka, keberanian terbesar umat beragama hari ini adalah menolak tafsir kebencian dan menghidupkan tafsir kasih. Di titik inilah, teologi bertemu humanisme, dan iman bertemu etika universal.

Baca...  Gus Ulil: Agama dan Sains dalam Pandangan Al-Ghazali

Tuhan tidak pernah memerintahkan manusia untuk saling membunuh atas nama-Nya. Yang Dia kehendaki adalah takwa, kasih, dan saling menjaga. Jika kita gagal membaharui cara berpikir, maka agama hanya akan terus dipakai untuk melanggengkan luka.

Sudah saatnya agama dikembalikan ke posisinya yang sejati: bukan sebagai bendera perang, melainkan sebagai cahaya perdamaian. Manusia biasa menyebutnya kasih, akademisi menyebutnya etika universal. Keduanya menuju arah yang sama: kehidupan yang lebih adil, damai, dan bermartabat.

Jika pembaharuan tidak dilakukan hari ini, maka generasi mendatang hanya akan mewarisi kebencian yang sama, luka yang sama, dan pertanyaan yang sama: sampai kapan manusia rela menumpahkan darah atas nama Tuhan yang katanya penuh kasih?

 

8 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Malang dan Alumni PP Darurrahman, Pangarangan, Sumenep, Alumni PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Articles
Related posts
Esai

Antara Esensi dan Identitas: Membaca Ulang Wajah Islam

3 Mins read
Empat belas abad silam, sebuah revolusi sosial lahir di tengah gurun tandus Mekah. Rasulullah datang dengan pesan sederhana tapi mengguncang tatanan Tuhan…
EsaiPolitik

Menilik Politisi Islam di Lingkaran Prabowo Subianto

3 Mins read
KULIAHALISLAM.COM-Sebagai Presiden, Prabowo Subianto bukan sekadar tokoh nasionalis patriotik biasa. Beliau berusaha menampilkan “gigi kedaulatan dan kemajuan Indonesia” sebagai sebuah bangsa di…
EsaiFilsafatKeislaman

Obati Hatimu, Agar Sembuh Jalanmu

2 Mins read
KULIAHALISLAM.COM- Ketika kita berjalan di tengah hujan yang tak kunjung reda, tak jarang yang terasa bukan airnya, tapi beratnya rasa di dada….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Filsafat

Telaah Konsep Humanisme dalam Proses Penciptaan Adam

Verified by MonsterInsights