Empat belas abad silam, sebuah revolusi sosial lahir di tengah gurun tandus Mekah. Rasulullah datang dengan pesan sederhana tapi mengguncang tatanan Tuhan itu satu, manusia setara, dan keadilan harus ditegakkan. Islam awal tampil jernih, lugas, dan membebaskan. Ia tidak hadir sebagai beban simbolik, melainkan sebagai gerakan moral yang menyalakan akal sehat dan hati nurani.
Generasi pertama Muslim memahami pesan ini secara praktis. Kesalehan mereka bukan diukur dari panjang jubah atau kerasnya perdebatan, melainkan dari kebermanfaatan nyata. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR. Ahmad, Thabrani, Daruquthni-hasan). Hadis ini menjadi kompas moral. Ia menegaskan bahwa iman sejati tercermin dalam kontribusi sosial, bukan semata ritual individual.
Dalam masyarakat jahiliyah yang terpecah oleh kesukuan, Islam datang membawa makna baru persaudaraan universal. Piagam Madinah adalah contohnya. Dokumen itu menyatukan Muslim, Yahudi, dan komunitas lain dalam satu kontrak sosial. Sebuah langkah progresif yang menegaskan bahwa esensi Islam adalah keadilan dan kebersamaan, bukan klaim eksklusif.
Filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, menulis: “He who has a why to live can bear almost any how.” Generasi awal Muslim memiliki why yang jelas: tauhid. Karena itu, mereka mampu menanggung kesulitan, boikot, bahkan peperangan. Kejelasan tujuan inilah yang membuat Islam awal kokoh membangun peradaban.
Namun, wajah Islam hari ini tampak lebih kompleks. Dari Kairo hingga Jakarta, dari Istanbul hingga New York, Islam hadir dalam beragam ekspresi. Globalisasi memang memperlihatkan elastisitas Islam, tapi juga melahirkan fragmentasi.
Pemikir kontemporer Fazlur Rahman menyebut Al-Qur’an sebagai living document. Menurutnya, teks suci hanya akan hidup bila dibaca secara kontekstual. Sayangnya, sebagian umat justru terjebak dalam formalisme sempit. Identitas-dari pakaian hingga jargon-lebih sering ditonjolkan ketimbang akhlak. Simbol mengambil alih esensi.
Al-Ghazali, ulama besar abad ke-11, sudah memberi peringatan jauh sebelumnya. Dalam Ihya Ulumuddin ia menulis: “Kerusakan manusia berawal dari kerusakan ulama, dan kerusakan ulama berawal dari kecintaan pada dunia dan kedudukan.” Kalimat itu seolah menohok realitas hari ini, ketika sebagian tokoh agama lebih sibuk mencari panggung ketimbang menegakkan akhlak.
Esensi vs. Eksistensi
Pertentangan antara esensi dan identitas dapat dibaca dalam kaca mata filsafat modern. Jean-Paul Sartre mengatakan, “Existence precedes essence.” Eksistensi mendahului esensi. Tapi dalam Islam, justru sebaliknya: esensi mendahului eksistensi. Tauhid, keadilan, dan akhlak adalah fondasi yang membentuk eksistensi sosial.
Masalahnya, umat kini lebih sibuk pada eksistensi bagaimana tampil, bagaimana berbeda ketimbang menggali esensi. Ident9itas menjadi panggung, esensi kian samar. Padahal Nabi Muhammad menegaskan misinya dengan jelas: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad, Malik, Hakim – sahih). Bila akhlak adalah inti, maka simbol hanyalah kulit.
Fenomena ini diperkuat oleh dunia digital. Media sosial memang memudahkan dakwah, tetapi juga melahirkan “ustaz instan” yang lebih fasih bermain algoritma ketimbang mendalami teks. Agama kerap direduksi menjadi video satu menit, slogan viral, atau potongan ayat tanpa konteks. Debat agama pun berpindah ke kolom komentar, kehilangan kedalaman refleksi.
Sementara itu, politisasi agama memperkeruh situasi. Islam yang diturunkan sebagai rahmat bagi semesta sering dijadikan alat untuk mempertebal sekat politik. Identitas diperdagangkan, esensi terpinggirkan.
Al-Qur’an sejatinya sudah mengingatkan: “Dan demikianlah Kami jadikan kamu (umat Islam) sebagai umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi atas manusia…” (QS. Al-Baqarah: 143). Umat Islam dituntut moderat, bukan ekstrem, dan bukan pula terjebak pada formalitas kosong.
Bagaimana membaca perubahan ini? Hegel menawarkan kerangka dialektika: tesis, antitesis, sintesis. Islam awal dapat kita pahami sebagai tesis: sederhana, berorientasi pada esensi. Islam modern, dengan segala fragmentasi dan riuh identitasnya, adalah antitesis. Maka tugas umat kini adalah merumuskan sintesis: Islam yang modern, adaptif, tapi tetap berpijak pada nilai universalnya.
Sejarawan peradaban, Arnold Toynbee, menyebut bahwa peradaban tak runtuh karena serangan luar, melainkan karena penyakit dalam. Perpecahan, simbolisme berlebihan, dan reduksi makna adalah penyakit dalam yang kini menggerogoti umat. Namun, sejarah bukan kutukan. Setiap peradaban memiliki peluang untuk memperbarui dirinya.
Menghidupkan Kembali Ruh Islam
Dalam tradisi sufi, Rumi menulis: “Don’t get lost in your pain, know that one day your pain will become your cure.” Fragmentasi yang kita saksikan hari ini memang menyakitkan. Tapi justru di situlah peluang penyembuhan. Riuh identitas bisa menjadi jalan untuk menemukan kembali ruh Islam asal kita mau kembali menekankan akhlak di atas simbol.
Islam dulu dan sekarang pada dasarnya tetap memancarkan cahaya yang sama. Bedanya ada pada cermin sejarah dan budaya yang memantulkannya. Cahaya itu bisa tampak terang atau redup tergantung pada bagaimana kita merawatnya.
Maka, tugas generasi ini bukanlah meratapi nostalgia masa lalu. Tugas kita adalah menghidupkan kembali Islam dalam esensinya: sederhana, membebaskan, rahmatan lil-‘alamin. Bukan sekadar identitas yang kaku, melainkan nilai yang hidup dalam praktik keadilan, kasih sayang, dan akhlak mulia.