Di mata sebagian umat Muslim, Al-Farabi dikenal sebagai ulama, ilmuwan, sekaligus filsuf Islam yang banyak berkontribusi pada perkembangan ilmu dan usaha mengintegrasikan kebijaksanaan Yunani dengan wahyu ketuhanan.
Namun, di sisi lain, ia juga dianggap sebagai figur yang menodai kesucian agama dengan menjumbuhkan kebenaran wahyu dengan filsafat yang bersifat spekulatif. Bahkan, ia kerap mendapat tuduhan sesat—untuk tidak menyebut kafir—oleh sesama pemikir Islam, seperti yang Al-Ghazali tulis dalam otobiografinya al-Munqidz min ad-Dholal.
Al-Farabi, atau yang dikenal dalam bahasa Latin Al Pharabius, dikenal luas di Barat sebagai filsuf-ilmuwan karena kontribusinya dalam mengklasifikasi, menetapkan batas-batas dan ruang lingkup cabang-cabang ilmu (science), serta memfokuskan setiap cabang ilmu pada bingkai yang sistematis. Berdasarkan alasan yang sama, ia dijuluki Al-Mu‘allim Ats-Tsani (Guru Kedua) setelah Aristoteles oleh para sarjana Muslim setelahnya.
Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzalagh Al-Farabi lahir di Wazid, kawasan Farab (yang kelak menjadi nama masyhurnya), termasuk wilayah Khurasan, pada tahun 257 H (870 M). Ia lahir dalam situasi politik dan budaya intelektual yang stabil pada saat itu.
Baghdad, sebagai pusat aktivitas intelektual Islam pada saat itu dan sekaligus ibu kota Dinasti Abbasiyah, menjadi tempat pertama yang ia datangi dalam karier akademiknya untuk mempelajari logika dan filsafat (Yunani) kepada Matta bin Yunus.
Setelah dari Baghdad, ia melanjutkan pengembaraannya ke Harran untuk menjadi murid Yuhanna bin Hailan. Dengan kompetensi dan intelegensinya, tidak butuh waktu lama baginya untuk terkenal sebagai filsuf dan ilmuwan. Setelah rampung dari Harran, ia kembali lagi ke Baghdad. Di fase inilah ia bergaul dengan banyak pemikir dan filsuf, termasuk filsuf Kristen terkenal, Yahya bin ‘Adi.
Secara umum, Al-Farabi dikenal sebagai penerjemah sekaligus pemberi komentar (syarih) karya-karya Aristoteles, seperti Categories, Hermeneutics, Prior Analytics, dan lain-lain. Berkat tulisan-tulisannya atas karya-karya Aristoteles ini, banyak pemikir setelahnya, termasuk Ibn Sina, mampu memahami teori-teori Aristoteles—khususnya metafisika—dengan lebih mudah.
Namun, meskipun Al-Farabi terlihat sangat berminat pada uraian Aristoteles di bidang psikologi, logika, dan metafisika, ia tak semata-mata murni Aristotelian. Di sisi lain, ia juga melihat Plato (guru Aristoteles) sebagai ahli hikmah yang—sebagaimana Aristoteles—memiliki kebijaksanaan agung yang ia yakini bersumber dari Sang Maha Bijaksana dan tidak bertentangan dengan wahyu. Singkatnya, proyek utama Al-Farabi ialah mengintegrasikan dua kebijaksanaan ini menjadi satu kesatuan yang kohesif dengan wahyu sebagai pemandu manusia menuju keutamaan.
Berbeda dengan para pemikir kebanyakan, meskipun terlihat sangat kental dengan doktrin Aristotelian dan Neoplatonisme, ia juga memiliki minat dan bakat di bidang musik. Bahkan, ia menulis risalah khusus untuk bidang ini dengan judul Kitab al-Musiqa al-Kabir.
Berbeda jauh dengan Aristoteles yang, menurut berbagai sumber, tidak mahir di bidang ini, Al-Farabi bukan sekadar pemikir teoritis yang cerdas; ia sosok yang terampil dan kreatif. Ini bukti bahwa bukan hal yang aneh bila ia disebut sebagai Mu‘allim Ats-Tsani, yakni sosok yang menguasai hampir seluruh disiplin ilmu pada masanya—termasuk seni dan musik.
Merupakan hal yang salah bila kita menyimpulkan Al-Farabi sebagai sosok yang sangat rasional—sebagaimana dituduhkan para pengkritiknya. Meskipun banyak menggunakan analisis bayani dan silogisme deduktif, ia acap kali terlihat bergaya hidup layaknya seorang sufi (praktisi tasawuf).
Ini terbukti dari cara berpakaiannya yang terkadang menggunakan pakaian ala sufi, gaya hidupnya yang zuhud, dan kerap meninggalkan gemerlap kota untuk mencari kehidupan sederhana di desa. Bahkan, ketika ia sudah memiliki reputasi di mata istana kekhalifahan, ia menolak menggunakan pakaian ala pejabat istana.
Minat Al-Farabi terhadap tasawuf termanifestasikan dalam karyanya Fushush al-Hikam (Mutiara Kebijaksanaan). Karya ini merefleksikan dua dimensi yang berbeda. Dari luar, karya ini memperlihatkan corak metafisika Peripatetik. Tapi secara implisit, doktrin gnosis (‘irfan) sangat terasa.
Pada akhirnya, suka atau tidak, Al-Farabi adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam berkembangnya keilmuan Islam maupun Barat. Kontribusinya terhadap ilmu tidak bisa kita abaikan hanya karena ia mengadopsi dan mengembangkan teori metafisika ala Aristotelian dan Neoplatonisme, serta terkesan mengesampingkan wahyu sebagai sumber utama pencerahan.
Sekaliber Al-Ghazali pun, meskipun memberi label kafir kepada Al-Farabi, tetap mengakui bahwa Al-Farabi adalah salah satu pemikir Islam yang paling mengerti tentang filsafat—khususnya Peripatetik.
Label “kafir” dari Al-Ghazali ini cukup problematis dan kontroversial. Namun, banyak pengamat meyakini bahwa label ini muncul bukan murni sebuah penilaian mutlak atas iman seseorang, melainkan sebagai bagian dari dialektika intelektual. Wallahu a‘lam.