KULIAHALISLAM.COM-Sebagai Presiden, Prabowo Subianto bukan sekadar tokoh nasionalis patriotik biasa. Beliau berusaha menampilkan “gigi kedaulatan dan kemajuan Indonesia” sebagai sebuah bangsa di mata dunia. Dalam pergulatan politiknya tersebut yang menuntut konsistensi dan kekuatan, beliau membutuhkan partner politik yang tidak hanya sepadan secara ideologis, tetapi juga punya kekuatan nyata menggerakkan akar rumput di masyarakat, yang notabene mayoritas beragama Islam. Inilah fondasi penting agar program-program pembangunan kerakyatan yang dia usung bisa berakar kuat di masyarakat. Partner sejawatnya Sufmi Dasco, bahkan menyebut partner dari tokoh Islam yang tepat harus mampu mengkonsolidasikan basis suara di level bawah, membuka ruang partisipasi luas bagi masyarakat akar rumput — bukan hanya tampil sebagai simbol atau figur sentral semata.
Namun realitas politik saat ini menunjukkan sesuatu yang berbeda. Lingkungan Prabowo penuh dengan nama-nama besar Tokoh Islam: Cak Imin, Kiyai Abdul Mut’i, Dahnil Anzar Simanjuntak, Anis Matta, Yusril Ihza Mahendra hingga K.H Nasaruddin Umar. Namun dalam prespektif pribadi, mereka lebih berperan sebagai figur individual ketimbang bagian sistem solid dari sistem ideologi Islam. Para pengamat politik menegaskan pentingnya ideologi Islam yang tidak hanya terwakili oleh sosok individual, tetapi terbangun dalam struktur sistematis sebuah partai politik yang konsisten mengusung nilai-nilai Islam sebagai basis kebijakan strategis. Ini penting agar kiprah politik bertahan bukan episodik, tapi berkelanjutan dan terarah.
Presiden Prabowo Subianto dalam kerangka patriotismenya sangat membutuhkan partner yang mampu menggerakkan, bukan sekadar membawa modal atau sumber daya politik. Tren ketegangan regional dan dinamika geopolitik menunjukkan bahwa kekuatan agama dan tokoh agamawan yang solid menjadi pilar penting memperkokoh identitas nasional dan stabilitas sosial.
A.B. Solissa, pengamat geopolitik bahkan menyoroti bagaimana tokoh agama bisa menjadi modal penguatan patriotisme yang autentik di tengah turbulensi global dan lokal. “Dalam konteks politik modern, agama dan patriotisme berjalan beriringan untuk membangun kohesi sosial yang kokoh,” katanya. Pandangan ini sejalan dengan fenomena yang terjadi di Amerika Serikat, Uni Eropa, bahkan Rusia, di mana tokoh agama berperan agresif sebagai motor penguatan patriotisme. Prof. Dr. Ulrich Krotz dari Freie Universität Berlin, pakar hubungan internasional dan geopolitik, menambahkan bahwa dalam kondisi global yang kompleks, perpaduan nilai agama dan patriotisme menjadi elemen kunci menjaga kohesi sosial dan legitimasi kekuasaan yang berkelanjutan.
Beberapa nama muncul sebagai kandidat ideal dalam panggung politik Islam yang potensial menjadi partner strategis bagi Presiden Prabowo. Di antaranya adalah K.H. Husnan Bey Fananie, Gus Yasin, dan Gus Baha dari PPP; Habib Salim Aljufri serta Ahmad Heryawan dari PKS; dan Ridho Ramadi dari Partai Ummat. Masing-masing memiliki keunggulan, mulai dari jaringan massa kuat, pengalaman eksekutif, hingga kemampuan diplomasi dan legislatif.
K.H. Husnan Bey Fananie, misalnya, bukan hanya figur yang mengakar kuat di kalangan santri, menguasai lima bahasa, tetapi juga berpengalaman dalam legislasi dan diplomasi strategis luar negeri, yang bisa menjadi modal berharga dalam menjaga kedaulatan nasional sekaligus mendorong agenda pembangunan.
Bila berhasil mengakuisisi politisi Islam yang tepat, dapat dipastikan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto akan menjadi kekuatan yang disegani kawasan regional, bahkan internasional. Ini bukan omong kosong khayalan belaka. Fakta sejarah menampilkan bahwa kekuatan politik Islam, yang digagas oleh politisi Islam, memiliki nilai visioner dan komprehensif. Sebut saja Diplomasi Pengakuan Kedaulatan RI, Mosi Integral Natsir, Deklarasi Juanda, dan Perjanjian Roem-Royen yang seluruhnya bermuara pada kecemerlangan intelegensia politisi Islam yang memiliki latar belakang partai politik Islam dalam kerangka wawasan kebangsaan dan bernegara.
Namun di balik kebutuhan akan partner yang kuat, ada pula sisi waspada yang harus dipegang erat. Sebab politik adalah arena penuh intrik. Di sekitar Prabowo, rentan muncul figur-figur “Sengkuni” dengan niat menggerogoti kekuasaannya dan meninggalkan agenda untuk rakyat. Politisi Islam yang benar-benar memperjuangkan suara umat kadang dianggap sebagai “anak macan” oleh para “Sengkuni”. Padahal sejarah mencatat bahwa melalui progresivitas jaringan pergerakan para politisi Islam, propaganda perjuangan kedaulatan dan kemajuan berkembang di Indonesia. Maka Sang Jenderal 08 harus berhati-hati agar tak masuk perangkap. Ini wajib diresapi agar manuver politik di masa suksesi tidak melenceng dari tujuan utama: membela kedaulatan dan membangun kemajuan untuk rakyat banyak.
Maka daripada itu, yang dibutuhkan Presiden Prabowo dari politisi Islam bukan sekadar kemitraan politik biasa, yang cenderung transaksional. Ini adalah hubungan strategis dan suportif yang berwatak sistemik, autentik, dan berakar pada komitmen mendalam kepada rakyat, agama, dan negara sebagai sebuah jatidiro bangsa. Semoga Sang Jenderal 08 memahami bahwa kemitraan ini merupakan kunci penguatan bangsa menghadapi kompleksitas dan absurditas zaman.
Nasrun Minnalahi wafathun Qarib