Umat sudah tahu bahwa, sepeninggal Nabi Muhammad SAW sahabat Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’adah untuk membicarakan tampuk pimpinan, sebagai pengganti beliau. Abu Bakar yang memimpin rapat ketika itu berkata: “Kami dari keturunan Quraisy. Para pimpinan juga dari golongan kami.”
Saat perdebatan antara dua kubu tersebut memuncak, Abu Bakar melanjutkan perkataannya: “Orang Arab tidak bakal mampu menyelesaikan persoalan tanpa orang Quraisy. Rasulullah pernah bersabda: setelah aku, persoalan (kepemimpinan) ini ada di tangan orang-orang Quraisy.” Kemudian ia berbicara kepada seorang sahabat dari Anshar, Basyir bin Saad, “Apakah kamu mendengar rasul bersabda bahwa para pimpinan adalah dari orang Quraisy?” Basyir menjawab: “Demi Allah, ya.”
Menurut Al-Baladziri, ketika Rasulullah wafat, Umar bin Khattab mendatangi Abu Ubaidah bin Jarrah: “Aku membaiatmu,” kata Umar. Seperti diketahui bahwa Umar bin Khattab adalah seorang tokoh Quraisy, demikian juga Abu Ubaidah Bin Jarrah. Pembaiat dan yang dibaiat adalah orang Quraisy.
Sekilas masa Abu Bakar
Tatkala pembaiatan jatuh di tangan Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib merasa tidak puas. Abu Ubaidah menemuinya, lalu berkata: “Hai putra pamaku, engkau masih muda, sedangkan mereka adalah sesepuh kaummu (sesepuh Quraisy), pengetahuan dan pengalamanmu belum cukup jika dibandingkan dengan mereka. Dalam hal ini Abu Bakar lebih unggul dan cakap dari kamu. Terimalah dia. Sesungguhnya jika engkau diberi umur panjang, kelak engkau akan mendudukinya.” Namun, Ali bin Abi Thalib tetap merasa tidak rela, meskipun telah mendapat pengertian dari Abu Ubaidah.
Tanpa disadari, dengan hati berontak, Ali berteriak: “Wahai sahabat Muhajirin, jangan biarkan kekuasaan Nabi Muhammad SAW jatuh ke tangan kelompok lain, ambillah bagian (peran) dan kokohkanlah rumahmu (barisanmu), jagalah kewibawaan keluarga beliau dan hak-haknya! Demi Allah, kita lebih berhak mewarisi kepemimpinan itu karena kita masih keluarganya (Ahl al-Bait).” Demikianlah, bagi Ali bin Abi Thalib, yang paling hak menggantikan kepemimpinan setelah Rasulullah adalah Ahl al-Bait-nya.
Demikianlah, Umar bin Khattab bergegas membaiat Abu Ubaidah bin Jarrah, begitu mendengar berita Rasulullah SAW meninggal. Sedangkan Abu Bakar menunjuk dua orang Quraisy, sebagaimana ajakan beliau: “Jika kalian taat kepadaku, pilihlah satu di antara dua orang ini. Abu Ubaidah di kananku atau Umar bin Khattab di kiriku.” Yang pasti, bahwa satu-satunya ahli waris yang sah dalam hal ini adalah orang Quraisy. Sahabat Anshar mengklaim bahwa merekalah yang berhak menduduki tampuk kepemimpinan, dengan membawa sabda rasul: “Kami dari keturunan Quraisy, para pimpinan juga dari golongan kami.”
Begitu juga dengan pertemuan Abu Ubaidah dengan Ali bin Abi Thalib. Mendengar Ali merasa tidak puas atas kepemimpinannya, Abu Ubaidah segera memberikan pengertian kepadanya dengan alasan bahwa, Ali belum pantas karena lebih muda jika dibandingkan dengan Abu Bakar. Selain itu, Abu Ubaidah juga yakin kalau tampuk kepemimpinan akan tetap jatuh ke tangan orang Quraisy, tidak akan jatuh ke tangan suku lain.
Wasiat Kematian Umar dan Pencalonan Enam Suku Quraisy
Siapa sih yang tidak kenal dengan yang namanya Umar bin Khattab. Ia adalah sosok pemberani dan jenderal Islam di masanya. Khalifah Umar telah memberikan teladani dengan menunjukkan keadilan kekuasaannya. Dia menciptakan ketentraman bagi rakyatnya berdasarkan keadilan, persamaan dan solidaritas persaudaraan, memberikan kebebasan berkeyakinan, kebebasan berfikir, dan memperhatikan hak-hak kemanusiaan.
Ia adalah seorang khalifah yang adil. Hal ini karena ia mempunyai kepribadian baik, atau jika boleh dikatakan karena lingkungan yang membentuk dan diwarisinya. Sosok dua sahabat. Umar dan Utsman, tidak jauh berbeda dalam hal keadilannya, namun ini tidak menjadi fokus bahasan kami.
Suatu ketika, pada saat Khalifah Umar menjelang ajalnya, karena ditusuk oleh Abu Lu’lu’ah al-Majusi, ia mempengaruhi orang: “Aku tidak menemukan orang yang berhak atas urusan ini (kepemimpinan) dibanding dengan kelompok (suku) yang ditinggal Rasul. Beliau meridhai mereka.” Kemudian Umar menyebut nama Ali, Utsman, Thalhah, Saad, Abdurrahman, dan Zubair. “Abdullah bin Umar menjadi saksinya, tetapi ia tidak berhak untuk dipilih.”
Umar pernah berkata kepada Abi Thalhah al-Anshari: “Wahai Abi Thalhah, sejak dahulu Allah menyelamatkan Islam adalah karena kamu semua, pilihlah 50 sahabat Anshar, bujuklah mereka supaya memilih satu orang dari golongannya (Quraisy).” Umar juga berkata kepada Suhaib: “Shalatlah bersama mereka selama tiga hari; saya berwasiat, barang siapa yang berani mengingkari enam orang itu sebagaimana telah disepakati oleh yang lain (Umar sambil meletakkan pedang dikepalanya). Jika tiga orang di antara mereka setuju dengan salah satu nama, sedangkan tiga orang yang lain setuju dengan nama lainnya, maka mintalah putusan Abdullah bin Umar. Tetapi jika mereka tidak rela terhadap putusannya, cukuplah pilihan kelompok yang didukung oleh Abdurrahman bin Auf.”
Akhirnya, kursi khalifah jatuh ke tangan Utsman. Dalam proses pemilihan ini kita melihat Khalifah Umar telah membatasi percalonan dengan 6 orang, semuanya berasal dari suku Quraisy, dengan tujuan supaya salah satunya dapat memegang tampuk kekhalifahan sepeninggalnya. Ia juga memasang anaknya, Abdullah bin Umar, yang berketurunan Quraisy, dalam proses pemilihan tersebut, sebagai hakim jika nantinya suara berimbang.
Khalifah Umar sudah mengabaikan sahabat-sahabat Rasul dari kalangan suku lain, termasuk sahabat-sahabat Anshar, suku Aus, dan Khazraj. Setidaknya, Umar telah memberlakukan beberapa persyaratan yang memberatkan suku-suku tersebut. Karena itu kita patut bertanya, mengapa hanya suku Quraisy yang dilibatkan dalam proses pemilihan khalifah, tanpa melibatkan kaum muslimin secara menyeluruh?
Kalau memang sudah merupakan restu Nabi atau, menurut beberapa sejarawan, Nabi terlanjur marah terhadap Thalhah, mengapa Khalifah Umar tidak memasukkan orang-orang lain, yang mendapat restu dari Rasul, baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin? Dalam Alqur’an tidak ditemukan sebuah nash dan bahkan hadits sekalipun, yang memperbolehkan Umar melakukan ancaman dengan pedang di atas kepala setiap orang yang tidak sepakat dengan pendapat mayoritas. Barangkali tindakan Umar inilah yang mengakar dan menjadi tradisi hukum bunuh diri bagi orang-orang yang menentang, yang telah dipraktikkan sepanjang sejarah Islam dan sampai sekarang masih berlaku.
Apakah Alqur’an memperbolehkan memenggal leher orang Islam, hanya karena ia berijtihad dengan pikirannya dan berseberangan dengan pendapat golongan di mana Abdurrahman bin Auf berpihak kepada golongan ini? Bagaimana tokoh-tokoh Islam itu sendiri dengan kesaksian Umar? Perhatikanlah, meskipun Umar mengikutsertakan suku di luar Quraisy dalam proses pemilihan khalifah penggantinya, tetapi peran suku di luar Quraisy tersebut disingkirkan tanpa alasan.
Tak satu pun mereka yang didudukkan menjadi amirul mu’minin. Ia memerintahkan kepada Suhaib, dia adalah salah seorang sahabat baik rasul, untuk melaksanakan shalat bersama-sama dengan mereka, shalat tersebut dinamakan al-Imamah ash-Shughra. Umar juga mengajak Abi Thalhah dalam persoalan ini. Kedua tokoh ini merupakan sahabat paling saleh dan terkenal di kalangannya. Apalagi Abi Thalhah yang mempunyai andil besar dalam menolong Islam dan Rasulullah.
Memang, sekilas Umar berkata kepada Abi Thalhah al-Anshari: “Sejak dahulu Allah menyelamatkan Islam adalah karena kamu semua.” Lalu mengapa Umar tidak memberikan hak pencalonan dan pemilihan kepada sahabat-sahabat Anshar, terutama dari kalangan mereka banyak yang memenuhi persyaratan untuk menjadi khalifah? Usaha Umar ini merupakan putusan yang menjabarkan ide dan asas yang mulia, tetapi hanya untuk sebagian rakyat dalam Islam.
Persoalan khilafah bukan miliki segelintir rakyat atau 6 orang saja. Adalah lebih baik, pertumpahan (darah) terjadi sebab musyawarah ketimbang kesepakatan menggembirakan yang didorong oleh rasa ketidakpuasan. Jika risalah (ajaran Islam) adalah terjaga (mashum) maka persoalan khilafah adalah bersifat manusiawi, tidak ada unsur kesuciannya (mashum).
Hemat penulis, hal yang menjadikan kemoderatan Umar dalam meletakkan keadilan sebagai prinsip musyawarah, dan bersandar pada mayoritas masyarakat muslim adalah pengakuan keharusan khalifah dari suku Quraisy, bukan suku-suku lainnya. Hanya saja (dengan masih menghargai usahanya), itu memberikan dampak munculnya bencana dalam tubuh Islam sampai sekarang, setelah 14 abad, masih menjadi pemicu perpecahan. Jadi, dengan perimbangan kekuasaan dan kemaslahatan (dalam suku Quraisy) saya mendukung naiknya Usman sebagai khalifah.
Dialah orang-orang yang pernah disebut oleh Ummul Mu’minin, Sayyidah Aisyah, “Inilah pakaian Rasulullah yang belum usang, tetapi Usman telah melusuhkan sunnahnya.” Usaha Khalifah Umar tersebut adalah pembuka terjadinya pertikaian besar (al-Fitnah al-Kubra) dalam lembaran sejarah Islam yang ditemui umat Islam hingga sekarang, yang selalu hidup dan akan berlanjut sampai Tuhan mewariskan kepada bumi dan seluruh penghuninya. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.