Dalam memandang kehidupan, manusia sering kali terjebak dalam paradigma yang sempit. Kita cenderung menganggap kesulitan, musibah, dan segala bentuk ujian sebagai pertanda kemurkaan Tuhan.
Sebaliknya, kelapangan rezeki, kesehatan sempurna, dan jabatan tinggi dianggap sebagai bukti mutlak kasih sayang-Nya. Namun, jika kita menyelami lebih dalam lautan hikmah Islam, kita akan menemukan sebuah perspektif yang justru terbalik: bisa jadi, ujian-Nya adalah puncak nikmat, dan nikmat-Nya adalah ujian yang paling berat.
Paradigma ini didasarkan pada cara Allah memandang hamba-hamba yang dicintai-Nya. Cinta Allah tidak selalu diekspresikan melalui kemudahan duniawi. Justru, cinta-Nya sering kali hadir dalam bentuk tempaan dan ujian untuk memurnikan dan mengangkat derajat seorang hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ
Idzaa ahabbAllahu qauman ibtalaahum
Artinya: “Jika Allah mencintai suatu kaum, maka mereka akan diuji.” (HR. Ath-Thabrani)
Hadis ini adalah fondasi untuk memahami bahwa ujian bukanlah hukuman, melainkan sebuah undangan cinta dari Sang Pencipta. Melalui ujian, Allah ingin membersihkan dosa-dosa kita, menguatkan iman kita, dan mendengar rintihan doa kita yang paling tulus.
Hakikat Nikmat Dunia: Ujian dalam Kemasan Indah
Lalu, bagaimana dengan nikmat? Apakah harta yang melimpah, keluarga yang harmonis, dan karier yang cemerlang bukanlah tanda kasih sayang-Nya? Tentu saja itu semua adalah karunia dari Allah. Namun, di balik setiap karunia tersebut, tersembunyi sebuah ujian yang sangat halus. Ujian itu bernama kelalaian.
Ketika hidup terasa begitu mudah, ketika semua yang diinginkan dapat diraih tanpa susah payah, di situlah letak ujiannya. Sangat mudah bagi seorang hamba untuk terlena dalam kenyamanan, menganggap semua pencapaian adalah hasil jerih payahnya sendiri, dan perlahan-lahan melupakan Sang Pemberi Nikmat.
Hati yang tadinya bergantung pada Allah, kini mulai bergantung pada harta, jabatan, dan pujian manusia. Inilah ujian yang sesungguhnya, karena ia menyerang benteng iman secara perlahan tanpa disadari.
Ujian Mendekatkan, Nikmat Bisa Menjauhkan
Coba kita renungkan, kapan kita merasa paling dekat dengan Allah? Bagi banyak orang, momen terdekat itu adalah ketika mereka sedang dihimpit kesulitan. Saat sakit parah, saat terlilit utang, saat menghadapi masalah keluarga yang pelik; secara naluriah lisan kita akan basah oleh zikir, kening kita akan lebih sering bersujud, dan tangan kita akan terangkat lebih lama dalam doa.
Kesulitan memaksa kita untuk mengakui kelemahan diri dan mengakui kemahakuasaan Allah. Dalam kondisi inilah, seorang hamba menemukan manisnya iman dan kedekatan dengan Tuhannya.
Sebaliknya, perhatikan apa yang sering terjadi ketika seorang hamba dilimpahi nikmat. Ketika pundi-pundi terisi penuh dan semua urusan berjalan lancar, frekuensi ibadah bisa jadi menurun. Doa yang tadinya panjang dan penuh kerendahan hati, kini menjadi singkat dan sekadarnya. Rasa syukur di hati terkikis oleh rasa bangga diri. Inilah bahaya yang Allah ingatkan dalam firman-Nya:
فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
Artinya: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka telah bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)
Ayat ini menggambarkan istidraj, yaitu sebuah jebakan berupa nikmat yang terus menerus diberikan kepada hamba yang durhaka, yang justru akan menjerumuskannya lebih dalam hingga akhirnya dibinasakan secara tiba-tiba.
Dosa yang Menumbuhkan Taubat vs. Kesalehan yang Melahirkan Kesombongan
Dari perspektif ini pula kita bisa memahami mengapa Allah lebih menyukai seorang pendosa yang tidak pernah berhenti bertaubat daripada seorang ahli ibadah yang sombong. Ujian dan kesulitan sering kali menjaga seorang hamba dalam posisi rendah hati. Ia sadar betul akan dosa-dosanya dan selalu merasa butuh akan ampunan Allah.
Sementara itu, kenikmatan dan kemudahan, apalagi jika dibarengi dengan ibadah yang rutin, bisa menjadi pintu masuk bagi kesombongan. Seseorang bisa mulai memandang rendah orang lain, merasa dirinya paling suci, dan menganggap ibadahnya sebagai jaminan surga. Padahal, kesombongan adalah dosa yang menghapuskan segala amal.
Siapa Menanam, Dia Akan Menuai
Prinsip hidup seorang muslim adalah ikhtiar. Kita diajarkan untuk berusaha dan bekerja keras. Pepatah “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian” sangat selaras dengan ajaran Islam.
Kesusahan yang kita alami di dunia dalam rangka ketaatan kepada Allah adalah sebuah investasi untuk kebahagiaan di akhirat. Setiap tetes keringat dalam mencari rezeki halal, setiap kesabaran dalam menghadapi musibah, dan setiap keikhlasan dalam beribadah adalah benih yang kita tanam.
Sebagaimana kaidah dalam pepatah Arab:
مَنْ يَزْرَعْ يَحْصُدْ
Man yazra’u yahsud
Artinya: “Siapa yang menanam, dia akan menuai.”
Apa yang kita tanam di dunia inilah yang akan kita tuai hasilnya di akhirat kelak. Maka, kesulitan di dunia bukanlah akhir dari segalanya, melainkan proses menanam untuk panen abadi di surga.
Pahamilah Maksud-Nya, Jangan Salah Menilai
Sering kali, sebagai hamba, kita kalah dalam menilai takdir. Kita mengeluh saat diuji dan berbangga diri saat diberi nikmat. Kita lupa bahwa Allah jauh lebih tahu apa yang terbaik untuk kita.
Boleh jadi, Allah menahan sebuah nikmat dunia dari kita karena Dia tahu jika nikmat itu diberikan, kita akan lalai dan celaka. Dan boleh jadi, Allah memberi kita sebuah ujian karena Dia tahu hanya dengan ujian itulah kita akan kembali kepada-Nya.
Kesimpulan: Sebuah Undangan untuk Lebih Dekat
Pada hakikatnya, baik ujian maupun nikmat adalah dua bentuk komunikasi dari Allah kepada hamba-Nya. Keduanya memiliki satu tujuan mulia: mengundang kita untuk menjadi lebih dekat kepada-Nya. Ujian adalah undangan melalui pengakuan atas kelemahan kita, sedangkan nikmat adalah undangan melalui rasa syukur atas kemurahan-Nya.
Tugas kita adalah merespons kedua undangan ini dengan benar. Hadapi ujian dengan sabar dan shalat, dan sambut nikmat dengan syukur dan ketaatan. Dengan memahami bahwa segala sesuatu yang datang dari Allah adalah kebaikan, kita akan mampu melewati setiap episode kehidupan dengan hati yang tenang dan jiwa yang optimis, hingga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat.