Penulis: Rayhan Ramadhan Ahmad*
Pendahuluan
Herakleitos adalah salah satu filsuf Yunani Kuno yang kontroversial sehingga acap kali ia dibicarakan secara khusus. Jalan pikirannya tidak selalu jelas hingga ia dijuluki sebagai ho skoteinos (Si Gelap). Ia memiliki kepribadian yang melankolis hingga kadang-kadang ia disebut ‘the weeping philosopher’ (filsuf yang menangis).
Meskipun demikian, ia diakui sebagai filsuf pertama dunia barat yang membangun sebuah sistem filsafat yang utuh. Selain itu, ia juga dipercaya sudah mempengaruhi sokrates, plato, bahkan aliran yang dikenal sebagai filsafat proses modern. (Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Kuno, Relevansi untuk Abad XXI (Yogyakarta: Jalasutra, 2013), 61.)
Jika kita melihat pada latar belakangnya, Herakleitos dari Ephesus lahir kira-kira pada tahun 535 SM dan wafat pada 475 SM. Ia adalah putra dari Bloson Kota Ephesus yang merupakan kota asalnya terletak di pantai barat dari negara yang sekarang adalah turki. Ia juga satu zaman dengan Phytagoras dan Xenophanes, namun Ia lebih muda dari usia mereka. Herakleitos sendiripun lebih tua dari Parmeines, sebab ia pernah dikritik oleh filsuf dari Elea itu. (K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales Ke Aristoteles (Yogyakarta, Indon.: Kanisius, 1975), 43.)
Pembahasan
Herakleitos telah menulis sebuah buku, namun buku itu hilang dan yang tersisa hanya 130 fragmen yang tidak lain hanyalah perumpamaan-perumpamaan pendek yang seringkali tidak jelas artinya. Bisa jadi bahwa seluruh bukunya berisi perumpamaan pendek seperti itu pula.
Jika kita membaca fragmen-fragmen itu dan mendengar kesaksian-kesaksian terhadapnya, timbullah kesan ia memiliki watak yang tinggi dan sombong. Ia memandang rendah rakyat yang bodoh dan menegaskan bahwa kebanyakan manusia adalah jahat.
Ia juga mengutuki penduduk Ephesus dan mencela para filsuf terkemuka yang dijunjung di negeri Yunani seperti Phytagoras, Homeros, Arkhiolos, Xenophanes, dll. Demikian juga ia seperti berbalik dari ajaran para filsuf sebelumnya walau tidak berarti ia tidak dipengaruhi oleh mereka. (Ibid.)
Inti pemikiran Herakleitos dapat ditunjukkan pada keyakinannya bahwa tiap-tiap benda terdiri dari hal-hal yang saling berlawanan akan tetapi hal-hal berlawanan itu tetap memiliki kesatuan, begitu pula dengan pikiran Anaximandros.
Anaximandros juga memiliki pemikiran yang sama bahwa semua terdiri dari hal-hal yang berlawanan, akan tetapi perlawanan tersebut dianggap sebagai ketidakadilan: musim panas mengalahkan musim dingin dan sebaliknya. Malam mengalahkan siang bergitu pula sebaliknya.
Herakleitos berpendapat bahwa musim panas memiliki artinya sendiri karena adanya musim dingin. Sehat dihargai karena adanya sakit. Adanya siang karena adanya malam. Oleh karena itu ia menyatakan bahwa “perang adalah bapak dari segala-galanya”. “perang” yang dimaksud disini adalah “pertentangan”.
Jika kita melihat pendapat Herakleitos dalam terminologi modern, kita dapat menilai bahwa semuanya adalah bentuk kesatuan dari hal-hal yang beroposisi dan berpasangan. Semua terdiri dari struktur yang berdasar atas perlawanan atau kontradiksi. (Ibid., 44.)
Hal ini juga berkaitan dengan apa yang telah Allah SWT sampaikan dalam surat Yasin ayat 36 yang berbunyi:
سُبْحٰنَ الَّذِيْ خَلَقَ الْاَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ وَمِنْ اَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ ٣٦
Yang artinya:“Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yasin ayat 36)
Dalam ayat ini, Allah SWT seakan-akan menyatakan mengenai Maha Suci-Nya dari segala kekurangan dan sifat buruk. Dialah Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik yang berfungsi sebagai pejantan atau betina, baik yang ditumbuhkan oleh bumi seperti anggur dan kurma.
Dan demikian dari manusia, dimana mereka terdiri dari lelaki dan perempuan, dan apa yang mereka tidak atau belum ketahui baik makhluk hidup ataupun benda yang tak bernyawa.” (M. Quraish Shihab and Muhammad Quraish Shihab, Surah Fâthir, Surah Yâsîn, Surah ash-Shâffât, Surah Shâd, Surah az-Zumar, Surah Ghâfir, Cetakan V, Tafsîr Al-Mishbâẖ : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qurʾan / M. Quraish Shihab 11 (Jakarta: Lentera Haiti, 2012), 538.)
Sementara itu ulama ada pula yang membatasi kata azwaj/pasangan hanya untuk makhluq hidup saja. Namun pendapat ini tidak sejalan dengan makna kebahasaan jika ditinjau dari sekian banyak ayat al-Qur’an dan kenyataan ilmiah yang telah ditemukan di masa ini.
Dari segi bahasa, kata azwajun (أزواج) adalah bentuk jamak dari kata zauj (زوج) yakni pasangan. Kata ini menurut ar-Raghib al-Asfahani, digunakan untuk masing -masing dari dua hal yang berdampingan, baik jantan atau betina, binatang (termasuk manusia yang merupakan hewan yang berakal) atau untuk menunjuk dua pasangan tersebut.
Selain itu, kata zauj juga digunakan untuk hal yang sama seperti alas kaki. Selanjutnya, ar-Raghib juga menegaskan bahwa keberpasangan itu bisa akibat dari kesamaan dan bisa juga perbedaan yang tolak belakang jika didasarkan pada segi kebahasaan.Sehingga ayat-ayat Al-Qur’an pun menggunakan kata tersebut untuk pengertian umum. (Ibid., 538–539.)
Allah SWT pun juga berfirman dalam surat adz-dzariyat mengenai keberpasangan ini yang berbunyi:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Yang artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat (kebesaran Allah)” (QS. Adz-Dzariyat 51:49)
Oleh sebab itu, jika manusia berpikir dan memperhatikan segala sesuatu disekelilingnya sebagaimana yang telah dikemukakan Herakleitos bahwa ada siang ada malam, ada senang ada susah, ada api ada air, dan demikian seterusnya. Semua makhluk telah Allah ciptakan memiliki pasangan.
Bahkan komponen terkecil penyusun suatu benda yaitu atom terdiri dari proton bermuatan positif yang berpasangan dengan elektron bermuatan negatif. Hanya Allah SWT lah Tuhan yang tidak memiliki pasangan-Nya dan yang serupa dengan-Nya. Dialah yang Maha Esa yang telah menciptakan seluruh makhluq-Nya dengan berpasang-pasangan. Wallahu a’lam
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Editor: Adis Setiawan
Referensi:
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales Ke Aristoteles. Yogyakarta, Indon.: Kanisius, 1975.
Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Yunani Klasik, Relevansi untuk Abad XXI. Yogyakarta: Jalasutra, 2013.
Shihab, M. Quraish, and Muhammad Quraish Shihab. Surah Fâthir, Surah Yâsîn, Surah ash-Shâffât, Surah Shâd, Surah az-Zumar,
Surah Ghâfir. Cetakan V. Tafsîr Al-Mishbâẖ : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qurʾan / M. Quraish Shihab 11. Jakarta: Lentera Haiti, 2012.