Abstrak
KULIAHALISLAM.COM – Menurut metode yang diterapkannya, Hanafi membagi kajian teologinya menjadi tiga bagian, pertama, berbicara tentang sejarah perkembangan (lahirnya) teologi atau teologi Islam, kedua, khusus membahas aliran-aliran teologi, ketiga, membahas beberapa isu teologi.
Ruang lingkup kajian ini tidak lagi mengikuti sistem kitab-kitab teologi yang ada. Bukunya hanya menekankan masalah teologi, tanpa memberikan perhatian sama sekali pada sejarah. Materinya diusahakan semaksimal mungkin agar setiap persoalan dibahas seluas-luasnya tidak hanya terbatas pada aliran tertentu.
Pembahasan lebih bersifat komparatif, tidak hanya antar aliran teologi itu sendiri, tetapi juga terhadap filsafat Islam. Dalam menjelaskannya, Ahmad Hanafi menggunakan metode historis-komparatif. Penulis dalam artikel ini menjelaskan bahwa Ahmad Hanafi berusaha menyampaikan atau melemparkan wacana pembangunan teologi ke arah yang lebih maju lagi.
Bahkan, Hanafi membahas tentang filsafat (filsafat Islam), serta pergeseran paradigma kalam. Kemudian pergeseran paradigma ke teologi kalam diikuti oleh generasi berikutnya.
Keywords: Teologi, Ilmu Kalam, Wujud Tuhan, Al-Ash’ariyah dan Mu’tazilah
Pendahuluan
Teologi berasal dari bahasa Inggris, theos yang berarti Tuhan, dan logos yang berarti ilmu atau wacana. Dalam bahasa Yunani theologia, yang mempunyai beberapa pengertian, yakni ilmu tentang hubungan dunia ilahi dengan dunia fisik, tentang hakikat dan kehendak Tuhan, doktrin atau keyakinan tentang Tuhan, dan usaha yang sistematis untuk meyakinkan, menafsirkan dan membenarkan secara konsisten keyakinan tentang Tuhan.
Ahmad Hanafi menjelaskan dalam pengantarnya, bahwa teologi memiliki banyak dimensi pengertian, namun secara umum teologi ialah the science which treats of the facts and phenomena of religion, and the relations between God and man, atau ilmu yang membicarakan kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama dan membicarakan hubungan Tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan maupun pemikiran murni, atau dengan jalan wahyu.
Teologi merupakan ilmu tentang Ketuhanan, yaitu membicarakan zat Tuhan dari segala seginya dan hubungannya dengan alam. Teologi yang bercorak agama dipahami sebagai intellectual expression of religion, atau keterangan tentang kata-kata agama yang bersifat pikiran. Karena itu teologi biasanya diikuti dengan kualifikasi tertentu seperti teologi Yahudi, teologi Kristen dan juga teologi Islam (ilmu kalam).
Dalam buku ilmu kalam karya Ahmad Hanafi ini, merupakan gagasan untuk memperkenalkan ilmu kalam sebagai teologi Islam. Suatu istilah yang belum begitu banyak dikenal oleh pembaca di Indonesia, untuk ilmu kalam atau ilmu tauhid. Ahmad Hanafi menjelaskan, bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu kalam sama dengan ruang lingkup pembahasan teologi.
Sebagaimana ilmu kalam juga berbicara tentang sekitar Tuhan, ada-Nya, keesaan-Nya, sifat-sifat- Nya dari segala segi hubungan Tuhan dengan manusia dan alam, berupa keadilan dan kebijaksanaan, qadla dan qadar, pengutusan rasul-rasul sebagai penghubung antara Tuhan dan manusia dan soal-soal yang bertalian dengan kenabian, kemudian tentang keakhiratan. Dari kajian tersebut, sangat tampak bahwa Hanafi, banyak memfokuskan kajian pada perkembangan pemikiran akidah atau metafisika.
Ruang lingkup pembahasan ilmu kalam tentang keyakinan ber-Tuhan inilah yang juga dinamakan teologi. Hanya saja karena ruang lingkup pembahasannya berdasarkan prinsip dasar ajaran agama, maka dinamakan teologi agama. Untuk itu, ilmu kalam yang memiliki dimensi bahasan tentang Ketuhanan (keyakinan atau teologi), yang berdasarkan dan bersumber pada prinsip-prinsip ajaran agama Islam maka dinamakan sebagai teologi Islam.
Perubahan dari ilmu kalam ke teologi Islam ini menurut Prof Amin Abdullah, bahwasannya telah terjadi akulturasi dan inkulturasi (pergeseran pemikiran) keagamaan yang begitu jelas terutama di Indonesia.
Berangkat dari kegelisahan di atas, Ahmad Hanafi menghadirkan 3 pokok kajian pembahasan ilmu kalam atau teologi Islam, sebagaimana rumusan masalah berikut, yaitu: bagaimana perkembangan aliran-aliran ilmu kalam? Dan bagaimana aliran-aliran kalam dan falsafah berbicara dalam persoalan akidah?
Metode Teologi Islam Ahmad Hanafi
Berdasarkan kesungguhan dan kegelisahan akademik, Ahmad Hanafi ingin menghadirkan suasana baru dalam lapangan ilmu kalam. Dalam dua segi buku Theology Islam (Ilmu Kalam) ini dikatakan baru, yakni dari segi metode dan materi.
Dari segi metode, Hanafi membagi kajian teologinya menjadi 3 bagian;
Pertama, membicarakan sejarah pembinaan (lahirnya) ilmu kalam atau teologi Islam.
Kedua, khusus membicarakan aliran-aliran ilmu kalam.
Ketiga, membicarakan beberapa persoalan ilmu kalam.
Ruang lingkup kajian buku Theologi Islam Hanafi ini tidak lagi mengikuti sistem buku-buku ilmu kalam yang ada, yaitu yang hanya menekankan segi persoalan ilmu kalam, tanpa memberikan perhatiannya sama sekali terhadap sejarah pembinaaanya.
Dalam segi materi diusahakan sedapat-dapatnya agar tiap-tiap persoalan dibahasa seluas mungkin tidak hanya terbatas pada aliran tertentu. Pembicaraan lebih bersifat perbandingan, bukan saja antara aliran-aliran ilmu kalam sendiri, melainkan juga dengan filsafat Islam.
Melihat kegigihan dan semangat tulisan dalam karya ini dalam memperkenalkan istilah Theology Islam sebagai Ilmu Kalam. Ahmad Hanafi menggunakan metode historis-komparatif dalam menjelaskan dan menguraikan persoalan-persoalan yang dibicarakan dalam teologi Islam/ilmu kalam.
Struktur Teologi Islam Ahmad Hanafi
1. Bagian Pertama, Pengantar Ilmu Kalam
a. Definisi Ilmu Kalam
Ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud-wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya.
Menurut Ibn Khaldun, ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung argumentasi rasional yang digunakan untuk membela akidah-akidah Imaniyyah dan mengandung penolakan terhadap pandangan ahli bid’ah yang di dalam akidah-akidahnya menyimpang dari mazhab al-Salaf al-Shalih dan ahl sunnah, untuk kemudian masuk pada keyakinan hakiki yang menjadi rahasia dari tauhid.
Mengenai asal usul ilmu kalam, ilmu kalam juga disebut ilmu tauhid (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada sekutu-Nya). Secara lebih jelas, beberapa argumentasi mengapa keilmuan ini dinamakan ilmu kalam. Al Taftazani menerangkan, bahwa disebut ilmu kalam karena persoalan-persoalan pertama yang dibahas, dalam sejarahnya, adalah berkenaan dengan kalam Allah, yaitu apakah kalam Allah bersifat hadis atau qadim.
Hasbie Ash Shiddieqy menyebutkan beberapa alasan, problematika yang diperselisihkan sehingga menyebabkan umat Islam terpecah ke dalam beberapa golongan, materi-materi ilmu kalam tidak ada yang diwujudkan dalam kenyataan atau diamalkan, dalam menerangkan cara atau jalan ilmu kalam serupa dengan mantiq, dan terakhir ulama-ulama mutaakhirin membicarakan dalam ilmu ini hal-hal yang tidak dibicarakan oleh ulama salaf, seperti penakwilan ayat-ayat mutashabihat, pengertian qada, kalam, dan lain lain.
b. Sebab-sebab berdirinya Ilmu Kalam
Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW. maupun pada masa sahabat. Akan tetapi baru muncul atau dikenal pada masa berikutnya, setelah banyak orang yang membicarakan persoalan metafisik.
Ahmad Hanafi menerangkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya ilmu kalam terbagi menjadi dua, yakni faktor-faktor yang datang dari dalam Islam dan kaum muslimin dan faktor-faktor yang datang dari luar mereka, karena adanya kebudayaa-kebudayaan lain dan agama-agama yang bukan Islam.
Faktor-faktor dari dalam, pertama, Alquran sendiri mengajak kepada tauhid dan kenabian, dan juga golongan-golongan tentang kepercayaan tauhid.
Kedua, ketika kaum muslim selesai membuka negeri-negeri baru untuk masuk Islam, dan mulai muncul persoalan agama dan berusaha menjawabnya. Dan ketiga, persoalan-persoalan politik.
Sedangkan faktor-faktor dari luar Islam dan kaum muslimin, yaitu pertama, banyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragama Yahudi, Masehi, dan lain-lain, apalagi sudah menjadi ulama, kemudian masuk Islam.
Kedua, golongan Islam yang dulu, terutama golongan Mu’tazilah, memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi Islam. dan ketiga, para mutakallimin hendak mengimbangi lawan-lawannya yang menggunakan filsafat, maka mereka terpaksa mempelajari logika dan filsafat, terutama segi Ketuhanan.
c. Perbedaan Metode antara Ilmu Kalam dan Filsafat
Antara ilmu kalam dan filsafat terdapat banyak perbedaan, walaupun keduanya memiliki beberapa kesamaan seperti sama-sama menggunakan akal dalam eksplorasi kebenaran dan sama-sama mengambil argumen dari luar Islam seperti Yunani, Persia dan lain-lain.
Adapun di antara perbedaan-perbedaanya adalah:
1. Mutakallimin (penganut ilmu kalam) lebih dahulu percaya kepada pokok persoalan dan mempercayai kebenarannya, kemudian menerapkan dalil-dalil pikiran untuk membuktikannya.
Sedangkan filsafat lepas dari pengaruhpengaruh dan kepercayaan-kepercayaan, dan dalam melakukan penyelidikan menyusun dalil-dalil pikiran sampai mencapai suatu hasil, bagaimanapun juga adanya hasilnya ini mereka pegangi kuat-kuat.
2. Dari segi pembinaannya, ilmu kalam timbul berangsur-angsur dan mulamula hanya merupakan persoalan yang terpisah-pisah. Sedangkan filsafat, melalui fase pertumbuhan di Yunani sendiri maupun di negeri-negeri lainnya.
d. Perbedaan Metode antara al-Qur’an dan Ilmu Kalam
Ahmad Hanafi menerangkan, bahwa Alquran tidak menyusun dalil-dalilnya secara logika, yang terdiri dari premis minor (muqaddimah al-sughra, dan premismayor (al-muqaddimah al-kubra) dan konklusi (natijah).
Qur’an juga tidak menggunakan istilah filsafat, seperti jauhar, arad dan sebagainya dan tidak mengurai problem pemikiran dengan panjang lebar, karena agama tidak hanya untuk para filsuf dan orang-orang pandai saja. Kalau ilmu pengetahuan dan logika semata-mata yang digunakan Alqur’an, tentu hanya segolongan kecil manusia saja yang akan iman kepada agama.
e. Teologi Islam dengan Teologi Yahudi
Penegasan Hanafi tentang faktor timbulnya ilmu kalam, yakni adanya golongangolongan agama sebelum Islam, baik agama Aria seperti Brahma, Budha dan Persia ataupun agama Smit, yaitu agama Yahudi dan Masehi.
Antara Teologi Islam dan Yahudi terdapat tiga persoalan yang asama, yaitu:
1. Tashbih (assimilation)
2. Jabr dan ikhtiyar (determinism atau predestination dan interdeterminsmatau free will)
3. Rajah (second coming).
f. Teologi Masehi
Orang-orang Masehi mulai menafsiri kepercayaan-kepercayaan mereka dan mulai mempertemukan kata-kata injil yang kelihatannya saling bertentangan, sehingga muncullah apa yang dinamakan ajaran Masehi yang difilsafatkan.
Lingkungan Masehi dengan demikian mengenal dua golongan, yaitu golongan pemeluk Masehi pada umumnya dan gereja di satu pihak dan golongan-golongan ahli pikir atau rasionalis dipihak lain. Tokoh-tokoh yang terkenal ialah Origen (185-251 atau 254), Arius (256 – 336 M, Nesterius meninggal 450 M, Diskors, dan Yacob Baradaens (490 – 577M).
2. Bagian Kedua; Aliran-Aliran Ilmu Kalam
a. Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah adalah aliran pikiran Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan sangat penting orang yang hendak mengetahui filsafat Islam yang sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah pemikiran Islam.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijriah dikota Basrah, pusat ilmu dan peradaban Islam kala itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama.
b. Aliran Ash’ariyah
Dalam suasana ke-Mu’tazilahan yang keruh, muncullah Al Ash’ari, dibesarkan dan dididik, sampai mencapai umur lanjut. Ia telah membela aliran Mu’tazilah sebaik-baiknya, akan tetapi aliran tersebut kemudian ditinggalkannya, bahkan memberinya pukulan-pukulan hebat dan menganggapnya lawan yang berbahaya. Aliran ini didirikan oleh Abd Hasan Ali bin Ismail al-Ashari, keturunan Abu Musa al Ash ari.
Hanafi menguraikan lebih dalam lagi, bermula dari riwayat hidupnya, karyanya, madzhab dan corak pemikirannya, perkembangan aliran al Ashariyah, dan terakhir tokoh-tokoh aliran al Ashariyah al-Baqilani, al-Juwain, al-Ghazali dan al-Sanusi.
c. Aliran Maturidiyah
Aliran al-Maturidiyah, seperti aliran al-Ashariyah, masih tergolong Ahl alsunnah. Pendirinya ialah Muh}ammad bin Muh}ammad Abu Mansur. Ia dilahirkan di Maturid, sebuah kota keci di daerah Samarqand (termasuk daerah Usbekistan Soviet sekarang) kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijrah dan meninggal di Samarqand tahun 332 H.
Al-Maturidi mendasarkan pikiran-pikirannya dalam soal-soal kepercayaan kepada pikiran-pikiran Islam Imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya “al-fiqh al-akbar” dan “al-fiqh al-absat” dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab tersebut al-Maturidi meninggalkan karangan-karangan yang banyak dan sebagian besarnya dalam lapangan ilmu Tauhid. Lebih lanjut Ahmad Hanafi banyak berbicara, sistem pemikirannya.
d. Ibn Rushd
Ia adalah Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rushd. Ia dilahirkan di Cordova (Spanyol), dari satu keluarga yang terkenal. Ibn Rushd waktu kecil mempekajari ilm kalam, seperti yang difahamkan, diuraikan dan dibela oleh aliran al Ash’ariyah, pada ulama-ulama negerinya.
Kemudian mempelajari fikih menurut mazhab Maliki dan belajar hadis pada ayahnya sendiri. Kitabnya yang terkenal dalam fikih, Bidayatul Mujtahid. Lebih dalam Ahmad Hanafi berbicara tentang, Ibn Rushd dan filsafat, pertemuan agama dan filsafat.
3. Bagian Ketiga; Beberapa Persoalan Ilmu Kalam
a. Wujud Tuhan
Seseorang yang menghargai akal pikirannya dan ingin mempertemukannya dengan ajaran-ajaran agama. Hendaklah ia pertama-tama mencari bukti-bukti adanya Tuhan, yang menjadi pangkal soal-soal lainnya, mengutus rasul-rasul dan soal-soal keakhiratan.
Pembuktian adanya Tuhan benar-benar telah dibicarakan golongan-golongan Islam, baik aliran-aliran ilmu kalam maupun filsuf-filsuf Islam. Golongan-golongan yang telah mengambil bagian dalam soal “wujud Tuhan”, Ahmad Hanafi, menguraikan 4 aliran: Aliran Mu‟tazilah dan al Ashariyyah, aliran Maturidi, aliran Tasawuf, dan aliran Ibn Rushd.
b. Keesaan Tuhan
Dalil keesaan Tuhan, Ahmad Hanafi memberikan uraian dari 3 macam penjelasan, yakni dalil filsuf-filsuf Islam, dalil ulama kalam dan dalil Ibn Rushd.
c. Zat dan Sifat
Kaum muslimin abad pertama Hijrah kalau bertemu dengan ayat-ayat mutashabihat atau ayat-ayat yang membicarakan sifat-sifat Tuhan, seperti ayat-ayat yang berisi tangan tempat bagi Tuhan, tidak mau membicarakan isinya, juga tidak mau menakwilkan, meskipun mereka berpendirian seharusnya, karena Tuhan Maha Suci dan tidak bisa disamakan dengan makhluk.
Perdebatan itu kemudian beralih menjadi pembicaraan golongan-golongan Islam, sebagaimana golongan-golongan yang di uraikan Ahmad Hanafi, yakni Mushabbihah, Muktazilah, Filsuf-filsuf Islam, Al Ash‟ariyah, dan Ibn Rushd.
d. Sifat-sifat Aktif
Sifat-sifat aktif (sifat-sifat perbuatan), ulama kalam tidak sama pendapatnya tentang sifat Tuhan berupa perbuatan, baik definisinya maupun tentang hadis-hadisnya. Ahmad Hanafi menguraikan dari tiga aliran, yakin Muktazilah, al Ashariyah, dan Maturidiyah.
e. Sifat Ilmu
Dalam membicarakan sifat Ilmu, Ahmad Hanafi menguraikan dari 4 aliran, yaitu Muktazilah, al Ash‟ariyah, Maturidiyah, dan Ibn Rushd.
f. Sifat Kalam
Perkataan Tuhan (kalam) ialah apa yang diwahyukan kepada manusia melalui orang-orang pilihan-Nya, yaitu rasul dan nabi-nabi berisi peraturan-peraturan untuk kebahagiaan manusia, berupa kepercayaan Allah, syariat dan akhlak.
Seluruhnya ini dinamai perkataan Allah, baik dinyatakan dalam bahasa Ibrani atau bahasa Arab dan berbeda-beda caranya. Apakah firman Tuhan tersebut qadim seperti qadimnya Tuhan sendiri, sumber firman itu, ataukah sebaliknya, baru dan diadakan?
Ahmad Hanafi memetakan perdebatan kalam dari beberapa golongan, yakni aliran Muktazilah, Ibn Hanbal, Ashariyah, Maturidiyah, dan Ibn Rushd.
g. Kejisiman Tuhan
Dalam soal ke-Jisim-an, Ahmad Hanafi, menguraikan dari 3 aliran, yakni aliran Mushabbihah, ulama kalam, dan Ibn Rushd.
h. Arah
Perbedaan pendapat antara kaum muslimin dalam soal “arah” adalah perbedaan yang prinsipil, tidak seperti dalam soal-soal lain yang hingga kini hanya perbedaan lahir, karena salah memahami persoalan atau karena perbedaan cara memandangnya.
Dalam soal arah, Ahmad Hanafi membagi dua blok atau kubu pemahaman, yakni, pertama, blok yang menetapkan arah, yaitu golongan Mushabbihah, Karramiyah, al Ashariyyah dan Ibn Rushd. Kedua, blok yang mengingkari arah, yaitu aliran Muktazilah, Maturidiyah dan aliran al Ashariyah (pengikut-pengikutnya).
i. Rukyat
Soal Rukyat (melihat Tuhan dengan mata-kepala), bertalian erat dengan soal kejisim-an dan menjadi salah satu bahan perselisihan yang penting antara aliran-aliran Islam, meskipun masing-masing aliran tersebut mendasarkan pendapatnya kepada Quran.
Sebab utama dari perselisihan tersebut ialah perbedaan gambaran masing-masing terhadap zat Tuhan dan gambaran terhadap pertalian antara orang yang melihat dan yang dilihat. Dalam buku Theologi Islam, Ahmad Hanafi diperbincangkan 4 golongan, yakni Muktazilah, al Ash’ariyah, Maturidiyah, dan Ibn Rushd.
j. Keadilan Tuhan
Ulama muslimin tidak sama pemahamannya terhadap iradah Tuhan (kemauan/kehendak Tuhan). Apakah kehendak Tuhan mutlak, tidak tunduk kepada norma-norma baik dan buruk, adil dan dzalim dan kebijaksanaan, ataukah tunduk kepada hal-hal semua itu.
Berhubung dengan hal-hal tersebut, maka persoalan yang akan dibicarakan adalah kebijaksanaan Tuhan, baik dan buruk menurut pertimbangan akal, keburukan di dunia, dan qada dan qadr. Persoalan-persoalan tersebut diuraikan Ahmad Hanafi dari 4 golongan, yakni Muktazilah, al Ashariyyah, Maturidi, dan Ibn Rushd.
k. Qada dan Qadar
Persoalan qada dan qadr tidak habis-habisnya dibicarakan orang hingga sekarang tidak ada kesepakatan pendapat. Alqur’an sendiri, disatu pihak beberapa ayat menetapkan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya.
Di pihak lain beberapa ayat menyatakan bahwa Tuhan yang menjadikan segala sesatu. Ahmad Hanafi, menguraikannya dari golongan Jabariyyah, Muktazilah, Al Ash’ariyah, Maturidiyah, dan Ibn Rushd.
Sumbangan Dalam Keilmuan
Kajian kalam Ahmad Hanafi dalam bukunya Theologi Islam, memberikan khazanah dan sumbangsih yang sangat berarti bagi kekayaan keilmuan Islam.
Terlepas dari kajian teeologi yang berkembang, Ahmad Hanafi berusaha memperkenalkan ilmu kalam sebagai bagian dari khazanah pemikiran Islam.
Kemasan kajiannya menjadi sangat menarik ketika Hanafi menghadirkan kalam dari sisi historis-komparatif, sekaligus menghadirkan wacana falsafah keislaman.
Terlebih lagi wacana teologi sedang berkembang menuju era antroposentrisme. Proyek gagasan ini mengaruskan serta mengantarkan semua pengiat kajian kalam untuk berpikir ke depan, selalu terbuka, dan terus belajar, arus kehidupan manusia menuntut untuk bersentuhan dengan ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi dan juga psikologi.
Hal ini dilakukan dengan tujuan agar semua visi Keislaman salih li kulli zaman wa makan benar-benar terealisasi tidak hanya pada tataran teoritis-metodologis melainkan praksis-interpretatif.
Sebagaimana ditegaskan oleh Hasan Hanafi, bahwa orang-orang terdahulu telah bekerja sesuai dengan tingkat kemampuan mereka dan sesuai dengan kondisi sosial yang melingkarinya untuk menjadikan “kalam” sebagai objek kajian ilmu-ilmu klasik yang terkait dengan masalah bahasa.
Sedangkan kalam kini sudah saatnya menjadi objek kajian bagi ilmu-ilmu kemanusiaan modern. Dari sinilah kemudian berkembang gagasan, “dari teosentrime ke antroposentrisme”, dari nilai-nilai Ketuhanan menuju nilai-nilai kemanusiaan.
Kalam kontemporer dengan demikian, mesti berdialog dengan realitas yang berkembang dalam konteks kekinian sebagai wujud pengembalian nilai vital dan kebaruannya.
Hasan Hanafi menjelaskan bahwa falsafah Islam, termasuk kalam, perlu bergumul, bersentuhan dan berinteraksi dengan diskursus falsafah yang hidup dalam kesadaran dan kebudayaan Eropa, yang telah berhasil membedah persoalan-persoalan kemanusiaan (antropologi) dan menempatkannya sebagai persoalan yang lebih pokok untuk ditelaah dan dikaji, daripada hanya terjebak pada persoalan-persoalan ketuhanan klasik semata Pembaharuan kalam yang lebih membumi dan berdimensi sosiologis kemanusiaan merupakan keniscayaan sejarah.
Kalam “baru” mesti di orientasikan untuk menjawab problem-problem kemanusiaan kontemporer dan tidak perlu lagi bersusah-susah dalam membela dimensi “ketuhanan” yang bersifat transedenspekulatif.
Perkembangan dan perluasan pemikiran dari peradaban manusia. Pastinya menuntut adanya perubahan seiring dengan majunya kehidupan manusia. Akidah atau teologi sudah pasti terlibat secara langsung, untuk menjawab segala persoalan manusia, yang berdimensi sosiologis, antropologis, politis, dan budaya.
Kesimpulan
Perubahan, pergeseran dan perluasan makna “kalam” ke “teologi” berusaha diperkenalkan oleh Ahmad Hanafi melalui karyanya Theologi Islam (ilmu alam). Karya ini menarik, memberikan kajian yang segar dengan memperkenalkan istilah teologi Islam sebagai ilmu kalam.
Apalagi dalam bukunya menggunakan kajian historis-komparatif, serta melengkapi kajian dengan keilmuan falsafah Islam.
Kajian kalam terlebih lagi telah mengalami perkembangan dari berbagai sisi, pertama, kalam pernah berkembang dengan menghadirkan diskusi tentang Keesaan Tuhan, zat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan segala aspek tentang keyakinan.
Kedua, perdebatan kalam memasuki gelombang perdebatan antar aliran, yang mana masing-masing memiliki prinsip dan dasar pemikirannya yang unik dan menguatkan. Ketiga, perdebatan kalam tidak harus lagi melingkar hanya pada isuisu sekitar dimensi Ketuhanan, melainkan harus bersentuhan dengan dimensi kemanusiaan.
Ahmad Hanafi mencoba mengantarkan atau melemparkan wacana perkembangan ilmu kalam ke arah yang lebih maju lagi. Terbukti dalam karyanya ini, Hanafi banyak bicara juga tentang falsafah (filsafat Islam), serta pergeseran paradigma kalam.
Pergeseran paradigma kalam ke teologi ini kemudian banyak diamini oleh generasi berikutnya. Generasi selanjutnya kemudian telah banyak menghadirkan kajian kalam yang lebih banyak berbicara kepada nilai-nilai kemanusiaan, pembelaan terhadap kemanusiaan, bukan ketuhanan.
Daftar Pustaka
- Ash Shiddieqy, M. Hasby. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
- Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.
- Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
- Pengantar Teologi Islam. cet. 3. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989.
- Hanafi, Hasan. Dirasat Islamiyah. Kairo: Maktabah al-Misriyyah, t.t.
- Min al-Aqidah ila al-Tsawrah al-Muqaddimat al-Nadhariyat (Beirut: Dar al-Tanwir li al Thiba‟ah wa al-Nasyr, t.th.
- Hornby, AS. Oxford Advanced Learners Dectionary of Curretn English. New York: Oxford University Press, 1995.
- Inam Esha, Muhammad. Falsafah Kalam Sosial. Malang: UIN Maliki Press, 2010.
- Rethinking Kalam. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006.
- Khaldun, Ibn. al-Muqaddimah, juz II. Dar al-Baida: Bait al-Funun wa al-Ulum, 2006.
- Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 2000.
- Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam); Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
- Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
- Rozak, Abdul. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
- Shahrastani (al), Nihayah al-Iqdam fi Ilmi al-Kalam. Bahdad: Maktabah alMus‟anna, 1964.
- Taftazzani, Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Qahirah alHadisah, 1957.
- Zuhri, Pengantar Studi Tauhid. Yogyakarta: Suka Press, 2013.
Penulis: Gusti Alip Nursuhud (Mahasiswa Uinsa)
Editor: Adis Setiawan