Sampai saat ini pernikahan beda agama tak pernah selesai dibahas. Beberapa ada yang dengan tegas melarangnya, sementara sebagian kecil ulama mempersilakan. Ini tentu saja dipicu karena perbedaan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an menjadi penyebab timbulnya perbedaan pandangan.
Al-Qur’an surah al-Baqarah [2]: 221 menyebutkan bahwa, laki-laki Muslim tak boleh menikah dengan perempuan musyrik. Begitu juga sebaliknya, perempuan Muslim tak boleh menikah dengan laki-laki musyrik. Di ayat lain disebutkan bahwa, salah satu yang diperbolehkan untuk dinikahi oleh laki-laki Muslim itu adalah perempuan-perempuan ahli kitab.
Yang jelas, ahli kitab tidak hanya terbatas pada ahli kitab yang ada pada masa Nabi. Namun, sebagian ulama masih menganggap beberapa orang Nasrani dan Yahudi sebagai ahli kitab. Di sanalah letak perbedaan pendapatnya. Akan tetapi, disini, yang menjadi fokus penulis adalah bagaimana sebenarnya al-Qur’an menjelaskan hak-hak individu mereka dalam berkeyakinan?
Syahdan, kita tahu bahwa menciptakan kebebasan berkeyakinan saja tidak dapat memungkinkan adanya keberagaman. Harus ada tolak ukur untuk mendukung kebebasan berkeyakinan, salah satunya adalah argumen hak individu, yang sebagian besar kebebasan sering dianggap sebagai nilai pribadi.
Hak individu adalah martabat manusia yang merupakan salah satu dasar universal pluralitas umat agama. Di dalam al-Qur’an telah menjamin status martabat manusia yang diberikan kepada manusia oleh Allah. Salah satu identifikasi martabat manusia adalah makhluk yang memiliki intelektual, bahkan kebijaksanaan dan kehendak bebas.
Pun, al-Qur’an sudah menjelaskan mengenai asal-usul manusia dan statusnya di antara makhluk-makhluk lain. Al-Qur’an menyatakan, bahwa manusia telah diciptakan dalam bentuk terbaik sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an surah at-Tin, Allah SWT berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْۤ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ
Artinya: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin [95]: 4).
Dengan demikian, manusia telah diciptakan dalam bentuk fisik, spiritual, dan intelektual terbaik. Kemudian, perihal proses penciptaan manusia dilakukan secara langsung oleh Allah di dalam al-Qur’an surah al-Kahfi, Allah SWT berfirman:
اِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْاَرْضِ زِيْنَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ اَيُّهُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahf [18]: 7).
Dan yang terpenting, Allah menghembuskan roh-Nya kepada manusia, dan Dia memberi pendengaran, penglihatan dan perasaan sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an surah al-Sajdah, Allah SWT berfirman:
ثُمَّ سَوّٰٮهُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِهٖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْــئِدَةَ ۗ قَلِيْلًا مَّاتَشْكُرُوْنَ
Artinya: “Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. As-Sajdah [32]: 9).
Al-Qur’an juga tidak membeda-bedakan martabat manusia berdasarkan afiliasi dan identitas mereka yang berbeda. Sebagaimana dijelaskam di dalam surah al-Isra’, Allah SWT berfirman:
وَلَـقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْۤ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak-cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS. Al-Isra’ [17]:70).
Ini bentuk status yang dihormati secara universal bagi seluruh manusia tanpa membeda-bedakan primordial. Tak hanya itu, ini juga kata pengantar baik bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan perhatian khusus. Perhatian Tuhan atas penciptaan manusia menunjukkan universalitas serta inklusivitas cinta dan kasih sayang Tuhan kepada semua orang.
Tidak ditemukan penciptaan Allah kepada manusia yang berbeda-beda tentunya memiliki kesamaan. Hanya saja, perbedaan fisik itu hal yang biasa tetapi tidak untuk intelektual, karena ini merupakan pembeda dengan makhluk-makhluk yang lain.
Ini yang kemudian dijelaskan oleh Jaudat Sa’id perihal perbedaan manusia dengan makhluk lain. Menurutnya, potensi intelektuallah yang membuat martabat manusia naik. Kata ism (benda) di dalam al-Qur’an yang kemudian diperintahkan kepada Nabi Adam untuk menjelasakan menjadi poin penting dalam mempercayai manusia untuk menjadi khalifah di bumi.
Dalam kaitannya dengan martabat manusia, perlu ada tendensi untuk saling menghargai. Berkaca dengan kisah di dalam al-Qur’an, bahwa Allah pada awalnya memberi tahu kepada para malaikat bahwa, Dia akan menciptakan makhluk baru yang disebut manusia. Tentunya, kabar ini hal yang aneh bagi malaikat dan tampaknya tidak menyukai proyek tersebut dengan alasan, bahwa manusia kemungkinan akan menyebabkan kekerasan dan pertumpahan darah di bumi.
Namun, dengan skeptis para malaikat berubah begitu saja setelah menyaksikan kekuatan intelektual manusia. Menurut Jaudat al-Sa’id, cerita ini terekam di dalam surah al-Baqarah [2]: 30-34. Substansi dalam surah al-Baqarah ini memiliki maksud simbolis bahwa, manusia dapat menghalau tuduhan miring dari para malaikat. Dengan cara begini, manusia bisa mempertahankan martabatnya dengan menggunakan kekuatan intelektualnya.
Artinya, hemat penulis, manusia mempunyai potensi berbahaya untuk melakukan kekerasan dan menumpahkan darah ketika kekuatan intelektualnya diabaikan dan martabatnya dilanggar. Hubungan antara kekuatan intelektual manusia dan martabat ini sangat koherensi, agar ada ekuilibrium (keseimbangan) dan diharmonisasikan, maka harus diselesaikan dengan cara tarbiyyah (pendidikan).
Hubungan keduanya menunjukkan bahwa kedua fitur ini saling terkait satu sama lain. Ini membuktikan bahwa, martabat manusia terkait dengan ideologi, kepercayaan, dan cara berpikir manusia sesuai dengan primordial masing-masing. Karena itu, menghormati martabat manusia berarti menghargai juga perbedaan ideologis mereka.
Alih-alih perbedaan ideologis, dimensi ini bertujuan untuk membuktikan bahwa martabat manusia tidak dapat diganggu gugat yang berdiri di atas argumen ideologi Islam yaitu al-Qur’an, tentunya argumen-argumen dibangun secara utuh. Salah satu bentuk hak individu adalah hak memilih dalam menentukan status kepercayaan.
Misalnya, salah satu ulama yang memberikan penjelasan adanya ikhtiar adalah ulama ahlu sunnah wa al-Jama’ah. Wahbah al-Zuhaili dalam menafsirkan QS. Yusuf [10]: 99, menurutnya Mu’tazilah menyakini tidak ada campur tangan Allah SWT dalam memberikan kebebeasan, karena hanya manusia yang menentukan.
Berbeda dengan penjelasan ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang diikuti oleh kelompok al-Asy’ari, bahwa Allah bisa melakukan itu, namun Dia tidak menginginkan biarkan manusia yang menentukan sesuai dengan pilihan masing-masing.
Masih tentang kepercayaan. Tentu saja, menentukan pilihan status kepercayaan sesuai dengan pilihan masing-masing memiliki konsekuensi. Bahwa, pilihan itu menjadi tanggung jawab pribadi. Ini sebagaimana yang dijelaskan dalam surah al-Najm [53]: 38 “Yaitu bahwa tidak ada penanggung bebban yang dapat memikul beban orang lain.”
Pernyataan ini memberikan informasi bahwa seseorang tidak dapat menanggung akibat dari perbuatan orang lain, sebagai upaya untuk tidak meniadakan gagasan tentang tanggung jawab pribadi.
Tentang surah al-Najm ini. Al-Bagawi mengatakan, ayat ini menjadi legislasi bahwa dosa seseorang tidak ditanggung oleh pihak lain. Begitupun sebaliknya, sebagaimana Walid bin Mughirah tidak menanggung beban dosa ayahnya.
Ia menambahkan riwayat Ikrimah dari Ibnu Abbas, “Nabi Ibrahim menyatakan kepada seorang laki bahwa ia menanggung dosa lain karena ulahnya membunuh ayah, anak, saudara perempuan, dan hambanya. Kemudian ayat ini turun sebagai bentuk larangan bahwa dosa hanya bisa ditanggung oleh diri sendiri.”
Rupanya, Wahbah al-Zuhaili juga demikian. Menurutnya, ayat ini merupakan urusan pribadi dan menjadi prinsip parsial. Tak terkecuali semua orang pernah melakukan dosa, dan kesalahan yang dilakukannya akan ditanggung oleh dirinya sendiri.
Berbeda dengan Syaikh Nawawi al-Bantani. Menurutnya, ayat ini memberikan informasi terkait dosa yang ditanggung oleh diri sendiri, karena ajaran sebelum Nabi Muhammad dalam kitab terdahulu belum ada informasi tentang pertanggung jawaban dosa diri sendiri.
Dari sudah jelas, bahwa salah satu menjaga martabat manusia adalah kebebasan beragama. Dan, salah satu bentuk kebebasan beragama adalah memberikan hal masing-masing. Di dunia, kita bisa saling memberikan peringatan, namun di akhirat pertanggung jawaban adalah hak pribadi masing-masing.
Dengan demikian, hal individu adalah media untuk mewujudkan kebebasan dalam berakidah. Sangatlah masuk akal, ketika seorang yang murtad tidak boleh dibunuh. Sebab, ini merupakan tanggung jawab dirinya sendiri kepada Tuhan atas kepercayaan dan pilihan mereka masing-masing. Wallahu a’lam bisshawab.