KULIAHALISLAM.COM – Kejayaan peradaban Islam yang telah tercatatkan dengan tinta emas diera kenabian, Khulafaur Rosyidin, tabi’in serta atbauttabi’in merupakan sebuah rekam jejak sejarah kerinduan yang amat mendalam bagi kaum Muslimin yang hidup di era kejumudan serta kemunduran peradaban Muslimin dibawah penderitaan perpecahan internal kaum Muslimin serta penderitaan eksteranal akibat penjajahan dalam segala bidang yang menimpa kaum Muslimin itu sendiri.
Baik penjajahan di bidang gaya hidup, busana, makanan politik, sosial, ekonomi bahkan kebudayaan sekalipun. Kemuliaan kaum Muslimin harus tergadaikan dengan penghinaan imperialisme modern sehingga kalimat fasyhadu binannana Muslimun (saksikanlah bahwa kami adalah umat Muslimin) kelu untuk kita ucapkan akibat kemunduran yang dirasakan oleh seluruh kaum Muslimin diseluruh seantreo alam pada masa kini.
Bagaimana mungkin kita dapat membantah hal tersebut selama penjajahan di Bumi Palestina tercinta, wilayah Baitul Maqdis sebagai tanah suci kaum Muslimin harus merasakan kebiadaban dan kedzaliman tanpa akhir yang dilancarkan oleh Zionis Israel.
Kita merindukan lahirnya sosok-sosok herois yang senantiasa takut akan kebesaran Allah SWT layaknya Sultan Imaduddin Zanki, kita merindukan pemimpin umat yang adil layaknya Umar bin Abdul Aziz, kita merindukan sosok pemimpin bangsa yang mampu merekatkan perbedaan dalam bingkai persatuan atas nama persaudaraan Islam layaknya Sultan Nuruddin Zanki.
Dan kita sangat merindukan pemimpin umat yang pemberani untuk menumpas segala macam bentuk kedzaliman hingga mengantarkan umat kepada puncak kegemilangan serta kemenangan untuk mengibarkan panji-panji Tauhid keseluruh seantreo alam semesta layaknya Sultan Sholahuddin Al Ayubi.
Dimana sosok pemimpin layaknya kepemimpinan mereka di era ini. Apakah pemimpin era ini sudah larut dalam gelimang harta, sudah nyenyak dalam mimpi-mimpi kemegahan, sudah tidak lagi memikirkan kemashlahatan, sudah tidak lagi memprioritaskan kesejahteraan dan kemakmuran umat dalam bingkai persatuan atas dasar kalimat Laa ilaaha illallah.
Oleh karenanya betulah kalam agung dari Baginda Rasulullah SAW yang amat mengkhawatirkan umatnya untuk terbuai atas bujuk rayu dunia dalam hadisnya:
فَوَاللهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلٰكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
Artinya: “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan terhadap diri kalian, akan tetapi yang aku khawatirkan terhadap diri kalian adalah dibentangkannya kemewahan dunia pada diri kalian sebagaimana dibentangkannya kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian saling berlomba untuk mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba, sehingga harta dunia tersebut akan membinasakan kalian sebagaimana keluasan dunia membinasakan mereka.” (HR. Ibnu Majah)
Oleh karenanya ketika loyalitas bergeser kepada materi, kondisi masyarakat Muslim semakin terpuruk karena semakin sakit dan lemah akibat orientasi dunia yang dikejar ditengah kemunduran umat akibat penyakit wahn (cinta dunia) yang menimpa seluruh lapisan kehidupan sosial masyarakat Muslim, sedangkan jaringan interaksi sosial hancur sampai dilingkungan internal keluarga, madzhab dan daerah sendiri.
Simbol-simbol pemikiran berubah menjadi bagian dari komoditibisnis dan sarana mencapai kepentingan hawa nafsu. Semua ini mengantarakan masyarakat Muslim menuju gerbang kematian dan mengundang kehadiran imperialisme modern yang telah mengubur peradaban gemilang Islam selama berabad-abad lamanya.
Oleh karena penyakit yang begitu akut menimpa umat ini, diperlukan langkah-langkah Taubat Nasuha untuk bermunajat penuh kepada Allah SWT dan menyadari kekhilafan serta dosa yang menimpa umat ini serta mengakibatkan peradaban yang gemilang terkubur bersama syahwat dunia.
Taubat sungguh-sungguh yang berani dan pebuh kesadaran ini merupakan kebutuhan urgen dan mendesak yang harus dilakukan oleh setiap pengusung gerakan ishlah dari seluruh belahan dunia Islam.
Terutama setelah melihat kerja keras dan pengorbanan mereka hanya menuai kemunduran dan rentetan kegagalan, walaupun pada awal pergerakannya, mereka disebut sebagai kesadaran (shahwah), kemelekan (yaqhzah) dan kebangkitan (intifadhoh).
Pada kasus Afganistan, orang-orang komunis tidak mungkin berhasil mengendalikan roda pemerintahan negara tersebut, melainkan karena adanya mata rantai perilaku yang berkambang sebelumnya, baik pemikiran maupun mental, yang melahirkan budaya fanatisme kesukuan, budaya feudal dan ketidakadilan sosial.
Kondisi ini mendorong kalangan muda dari golongan masyarakat miskin untuk menerima gagasan-gagasan ekstrem yang menentang pemahaman yang salah terhadap agama dan nilai-nilai kultur local berkedok agama.
Analogy yang sama dapat diterapkan untuk seluruh krisis dan problematika lain yang mecabik-cabik umat Islam dan mengantarkannya pada gerbang kematian. Semua krisis itu memiliki banyak akar permasalahan, baik pendidikan, budaya, maupun sosial yang bersumber dari dalam tubuh umat Islam sendiri sejak generasi-generasi terdahulu yang tidak begitu jeli untuk menjaga fitrah yang besar yang harus ditanggung oleh generasi-generasi berikutnya yang sama sekali tidak ikut terlibat dalam kedzaliman dan penyimpangan yang dilakukan oleh mereka.
Krisis-krisis ini terus berkembang dan memberi pengaruh tanpa tersentuh oleh upaya-upaya evaluasi, diagnosa, serta terapi dari aspek pendidikan, pemikiran, budaya, dan sosial. Oleh sebab itu, input manusia Muslim tidak mengalami perubahan sedikitpun, demikian pula dampak yang timbul darinya yaitu krisis multidimensional yang menimpa internal maupun eksternal umat.
Sebenarnya, realisasi “taubat” yang disebutkan sebelum ini menuntut adanya pertimbangan dan pengamatan yang lebih dalam, usaha sungguh-sungguh yang bersifat holistik yang didukung oleh kajian-kajian optimal, diagnosa teliti terhadap pokok-pokok pemikiran, nilai, strategi dan implementasinya sebagai aktualisasi usaha Ishlah, mulai dari titik awal pertumbuhannya kemudian perjalanan historis sampai realita masa kini.
Kajian-kajian ini akan semakin lengkap jika digabungkan dengan kajian lain tentang faktor-faktor kontemporer yang bersinergi dengan usaha-usaha Ishlah. Karena hasil akumulasi faktor vertikal atau historis dan faktor horizontal atau kontemporer adalah seluruh konsep pemikiran, nilai, sistem dan strategi yang gagal itu.
Evaluasi atau taubat dalam terminologi Islam akan menghasilkan konsep pemikiran dan strategi alternatif yang diharapkan, yaitu apa yang disebut dalam kajian ini dengan prinsip al-insihab wa al-‘awdah (mundur untuk kembali maju) yang telah dipraktikkan oleh Al Ghazali dan orang-orang yang terpengaruh olehnya.
Sebenarnya prestasi-prestasi monumental dalam sejarah Islam yang berhasil dicapai oleh generasi Shalahuddin tidak akan terjadi jika tidak diiringi oleh taubat yang sungguh-sungguh (taubat nashuhah) dalam pemikiran, nilai, dan perilaku yang dilakukan oleh para pelopor dan pencetus Ishlah seperti Al Ghazali, Syaikh Abdul Qadir, Adi bin Musafir, Hayat bin Qais Al Harrani, Abu Al Bayan, Syaikh Ruslan, dan orang-orang yang turut berperan dalam perjuangan atau mengikuti langkah-langkah mereka.
Di sisi lain, tidak mungkin pula terjadi perubahan arah begitu kontras pada masyarakat pasca generasi Shalahuddin, di mana anak dan cucu generasi ini kembali menerapkan feodalisme politik dan fenomena darwisy dalam bertasawwuf jika bukan karena adanya sisa-sisa pemikiran dan nilai primodial kesukuan fanatik baik dalam masalah kepemimpinan, manajemen politik maupun pemikiran.
Maksiat dan dosa yang dilakukan umat Muslim di era ini memiliki berbagai dampak buruk, tercela serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Maksiat dan dosa menyebabkan umat menjadi hina di hadapan Allah dan rendah dalam pandangan-Nya.
Jika umat telah hina di hadapan Allah SWT, maka tidak akan ada seorang pun yang akan memuliakannya. dalam surat al Hajj ayat 18 dinyatakan:
وَمَنْ يُّهِنِ اللّٰهُ فَمَا لَهٗ مِنْ مُّكْرِمٍۗ اِنَّ اللّٰهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاۤءُ
Artinya: “Barangsiapa dihinakan Allah, tidak seorang pun yang akan memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki.”
Dampak maksiat dan dosa yang dilakukan oleh umat Muslim di era ini adalah menyebabkan Allah mengabaikan dan meninggalkan uamt Muslim, serta menyerahkan pelakunya kepada diri sendiri dan kepada setan.
Inilah puncak kehinaan yang tidak bisa diharapkan lagi keselamatannya. Allah memerintahkan Umat Muslim agar bertakwa kepada-Nya. Dia melarang umat Muslim menyerupai umat yang melupakan-Nya dengan meninggalkan takwa kepada-Nya.
Penulis: Miftahul Huda, S.H. (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Riau)
Editor: Adis Setiawan