Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Surat Al-Ankabuut ayat 2 dan 3
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Arab-Latin: A ḥasiban-nāsu ay yutrakū ay yaqụlū āmannā wa hum lā yuftanụn
Artinya: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi ?.
وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَٰذِبِينَ
Arab-Latin: Wa laqad fatannallażīna ming qablihim fa laya’lamannallāhullażīna ṣadaqụ walaya’lamannal-kāżibīn
Artinya: Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Sayyid Quthub di dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an menyatakan bahwa keimanan bukanlah sekedar kata-kata yang diucapkan. Namun, dia adalah hakikat yang mempunyai beban-beban; amanah yang mempunyai konsekuensi; jihad yang memerlukan kesabaran; dan usaha yang memerlukan daya tahan.
Sehingga tidak cukup seseorang berkata ” saya beriman”, mereka tak dibiarkan cukup mengatakan seperti itu saja sehingga mereka mengalami cobaan dan mereka bertahan menghadapi cobaan itu, untuk kemudian keluar dari cobaan tersebut dalam keadaan bersih unsur-unsur diri mereka dan murni hati mereka.
Seperti api membakar emas sehingga terpisalah antara emas itu dengan unsur-unsur murah yang tercampur dengannya ( Dan inilah asal kata ini secara bahasa dan dia memiliki makna, nuansa dan sugesti tersendiri) demikian juga halnya yang dilakukan oleh cobaan itu terhadap hati manusia.
Cobaan terhadap keimanan ini merupakan asal yang tetap dan Sunnah yang selalu berlangsung dalam timbangan Allah. Allah berfirman : ” Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Allah mengetahui mana yang dusta”, (Q.S Al-Ankabuut ayat 3).
Allah mengetahui hakikat hati manusia sebelum memberikan cobaan itu. Namun, cobaan itu menyingkapkan hakikat hati mereka di dunia, realita seperti yang tersingkap dalam ilmu Allah tapi tertutup dari ilmu manusia.
Dengan demikian, manusia dihisab sesuai dengan apa yang terjadi dari amal mereka bukan sekedar apa yang diketahui oleh Allah tentang perkara mereka. Ini merupakan anugerah dari Allah dari satu segi dan keadilan dari segi lain, serta pendidikan bagi manusia dari segi lain pula. Sehingga, mereka tak menilai seseorang kecuali dari perkara yang tampak dan dari hasil perbuatannya. Karena mereka tak lebih tahu dari Allah tentang hakikat hatinya !.
Kita kembali kepada sunah Allah dalam memberikan cobaan kepada orang-orang yang beriman dan menimpakan fitnah kepada mereka. Sehingga diketahui siapa yang benar di antara mereka dan siapa yang berdusta. Karena, keimanan adalah amanah Allah di muka bumi yang tak dapat diemban kecuali oleh mereka memang berhak dan mampu mengembannya, serta mempunyai keikhlasan dan kesungguhan dalam hatinya.
Sedangkan, orang-orang yang memilih santai dan kesenangan diri keamanan dan keselamatan diri, catatan benda dunia dan godaan maka mereka bukanlah orang yang berhak dan mampu mengemban amanah itu. Pasalnya, dia adalah amanah kekhalifahan di muka bumi, memimpin manusia ke jalan Allah dan mewujudkan kalimat Allah di dunia kehidupan.
Dia adalah amanah yang mulia. Dia berasal dari Allah yang dengannya manusia berjuang. Oleh karena itu pemahaman ini membutuhkan satu tipe manusia tertentu yang sabar menanggung cobaan. Di antara bentuk fitnah tersebut adalah bahwa seorang beriman mendapatkan aniaya dari para pembela kebatilan.
Kemudian dia tak menemukan pihak membela dan menolongnya. Juga tak memiliki kemampuan untuk membela dan menjaga dirinya, serta tak memiliki kekuatan yang dapat digunakan untuk menghadapi kezaliman. Ini adalah bentuk fitnah yang jelas komunikasi dalam otak ketika fitnah itu disebut.
Namun, dia bukan bentuk fitnah yang paling keras. Karena ada banyak fitnah dalam berbagai bentuk yang barangkali lebih pahit dan lebih cerdik. Ada fitnah keluarga dan orang-orang yang dia kasihi, yang dia khawatirkan mereka mengalami aniaya karena dirinya sementara ia tak memiliki kekuatan untuk membela mereka.
Dan, mereka pun bisa pula menghimbaunya untuk mundur dan menyerah. Kemudian memanggilnya atas nama cinta dan kekerabatan serta ketakwaan kepada Allah dalam kerabat yang mengalami aniaya dan kebinasaan karena dirinya. Dalam surah ini disinggung sedikit satu bentuk dalam fitnah ini yaitu fitnah bersama kedua orang tua dan itu adalah fitnah yang sulit.
Ada fitnah atau bukannya dunia bagi orang-orang yang berbuat kebatilan dan mereka dilihat manusia sebagai orang-orang yang berhasil dan terhormat. Dunia mengelilingi mereka, masyarakat bertepuk tangan kepada mereka, segala rintangan tersingkirkan bagi mereka, segala kemuliaan dunia disematkan kepada mereka dan kehidupan yang indah dan mewah datang menghampiri mereka.
Sementara itu dia orang yang beriman adalah orang yang tercampakkan yang keberadaannya tak dirasakan orang lain tak dibela, oleh seorang pun, dan tak ada seorangpun yang merasakan nilai kebenaran yang ada bersamanya kecuali sedikit saja dari orang-orang seperti dirinya yang tak memiliki kekuasaan dalam kehidupan ini sedikitpun.
Ada fitnah keasingan di lingkungan dan kegeresangan aqidah, ketika seorang beriman melihat segala apa yang di sekitarnya dan semua orang sekitarnya tenggelam dalam gelombang kesesatan. Sementara itu dia hanya seorang diri asing dan menjadi buruan.
Ada fitnah dalam bentuk lain yang kita lihat tampak jelas pada saat ini. Yaitu fitnah ketika seorang beriman melihat berbagai bangsa dan negara tenggelam dalam kemaksiatan sementara pada waktu yang sama masyarakat tersebut meraih kejayaan dan kemajuan dalam kehidupannya. Di dalam masyarakat tersebut seseorang mendapatkan penjagaan dan pemeliharaan sesuai dengan nilai-nilai manusia. Dia mendapati negara-negara tersebut sebagai negara kaya pada negara tersebut adalah negara dan bangsa yang menentang Allah !.
Ada fitnah yang paling besar. Lebih besar dari ini semua dan lebih kejam. Yaitu fitnah nafsu dan syahwat. Daya tarik bumi beratnya daging dan darah, keinginan untuk mendapatkan kenikmatan dan kekuasaan atau untuk hidup enak dan tenang. Sementara itu dia mendapati kesulitan untuk istiqomah di jalan keimanan dan bersikap lulus dalam pendakiannya.
Juga ada rintangan dan semangat kedalaman diri, dalam pernak-pernik kehidupan, di logika masyarakat sekitar dan dalam pola pandangan manusia zamannya. Jika masanya panjang, demikian juga ketika pertolongan Allah tak kunjung datang maka fitnah itu makin berat dan makin keras. Dan cobaan itu makin keras dan kejam.
Sehingga tak ada yang dapat bertahan kecuali orang dijaga Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang mewujudkan hakikat iman dalam diri mereka dan orang-orang yang diberi amanah untuk mengemban amanah yang besar itu. Yaitu amanah langit di bumi dan amanah dalam hati manusia.
Allah sama sekali tidak hendak mengazab orang-orang beriman dengan cobaan dan fitnah itu. Namun Karena Allah berkehendak untuk melakukan persiapan yang hakiki bagi mereka yang mengemban amanah. Karena amanah itu memerlukan kesiapan tersendiri yang tak dapat terbentuk kecuali dengan kesulitan-kesulitan yang langsung dirasakan.
Atau, juga dengan meninggikan diri secara hakiki dari syahwat, dengan secara hakiki dalam menanggung kepedihan, dengan menanamkan keyakinan yang hakiki akan datangnya pertolongan Allah dan mendapatkan pahala-Nya, meskipun fitnah tersebut berlangsung lama dan cobaan yang diterima dirasa berat.
Pasalnya, jiwa manusia dibentuk oleh kesulitan-kesulitan sehingga dengannya menjadi lenyaplah keburukannya, dan terpancarlah kekuatan-kekuatan yang terpendam dalam dirinya. Kesulitan itu menimpanya dengan kejam dan keras sehingga menjadi kuat punggungnya dan menjadi terasa lah dirinya.
Demikian juga halnya pengaruh kesulitan-kesulitan terhadap masyarakat. Hanya masyarakat yang paling kukuhlah yang mampu bertahan menghadapi kesulitan. Demikian juga masyarakat yang paling kuat tabiatnya, paling kuat hubungannya dengan Allah dan paling teguh keyakinannya terhadap dua kebaikan yang ada pada-Nya ya itu kemenangan atau pahala.
Mereka itulah orang-orang yang pada akhirnya menerima bendera kepemimpinan. Bendera yang diberikan kepada mereka setelah mereka siap dan mendapatkan cobaan. Mereka menerima amanah itu dengan melihatnya sebagai sesuatu yang amat berharga bagi mereka.
Karena mereka telah mengeluarkan biaya yang mahal untuk itu, mereka telah bersabar dengan berat untuk menghadapi berbagai ujian itu dan mereka merasakan berbagai derita dan pengorbanan dalam memperjuangkannya.
Orang yang telah mencurahkan darah dan sarafnya mengorbankan ketenangan dan kesenangannya dan keinginan serta kelezatan dunia, setelah itu ia bersahabat dalam menanggung aniyaya dan kesulitan, tentunya orang yang seperti ini akan merasakan nilai amanah yang telah diperjuangkan dengan segalanya itu.
Dia tak mungkin akan mencampakkannya dengan murah setelah dia melakukan pengorbanan dan menanggung berbagai derita tadi. Sedangkan kemenangan iman dan kebenaran di akhirnya adalah perkara yang telah ditanggung oleh janji Allah.
Tak ada seorang mukmin pun yang melakukan janji Allah. Jika hal itu datangnya lama maka itu semata untuk suatu hikmah yang telah ditetapkan Allah dan padanya terdapat kebaikan bagi keimanan dan orang yang beriman. Karena tak ada seorangpun yang lebih cemburu terhadap kebenaran dan para pembela kebenaran melebihi Allah.
Dan cukuplah bagi orang-orang yang beriman mendapatkan fitnah dan merasakan berbagai cobaan, mereka itu menjadi orang-orang yang terpilih di sisi Allah dan menjadi para pemegang amanah kebenaran Allah. Kemudian Allah menyaksikan mereka sebagai orang-orang yang teguh dalam membela agama Islam dan Allah memilih mereka untuk mendapatkan cobaan itu.
Dalam Hadis Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda : ” Orang yang paling banyak mendapatkan cobaan adalah para nabi, kemudian orang saleh dan selanjutnya orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi di dalam agama Islam. Karena seseorang diberikan cobaan sesuai dengan kualitas agamanya. Jika agamanya teguh maka dia mendapatkan tambahan cobaan”.
Sedangkan orang yang memfitnah orang beriman dan mengerjakan keburukan maka mereka itu tidak akan luput dari azab Allah dan tak mungkin selamat. Meskipun kebatilan mereka sudah sedemikian besar yang sudah demikian tersebarnya dan padanya tampak kemenangan dan keberuntungan. Karena seperti itulah janji Allah dan Sunnah-Nya di akhir perjalanan. Allah berfirman di dalam AlQuran surat al-Ankabuut ayat 4 : ” Ataukah apakah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari azab Kami (Allah)?. Amat buruklah yang mereka tetapkan itu.