Oleh: Muhammad Khairul Anwar
KULIAHALISLAM.COM – Di Indonesia, terdapat komunitas Syiah yang dikenal sebagai Syiah moderat atau Syiah Ahlul Bait Indonesia (SABI). Mereka adalah sekelompok muslim Syiah yang mengikuti ajaran-ajaran Islam dari sudut pandang Syiah, namun juga menganut paham toleransi, kerukunan, dan moderat dalam beragama.
SABI memegang prinsip-prinsip kebersamaan, inklusivitas, dan kerukunan antarumat beragama. Mereka berkomitmen untuk hidup berdampingan dengan umat Muslim Sunni dan pemeluk agama lain di Indonesia tanpa mengganggu stabilitas dan harmoni sosial. Mereka aktif dalam kegiatan keagamaan, sosial, dan kemanusiaan di masyarakat.
Meskipun ada pandangan dan praktik keagamaan yang berbeda dengan mayoritas Muslim Sunni di Indonesia, Syiah moderat tetap menghormati perbedaan dan berusaha menjaga dialog yang konstruktif. Mereka memperjuangkan hak-hak dan kebebasan beragama, serta menentang segala bentuk diskriminasi atau penindasan terhadap minoritas agama.
Pemerintah Indonesia juga telah mengakui keberadaan Syiah moderat sebagai bagian dari keberagaman agama di negara ini. Meskipun ada beberapa kelompok yang menganggap Syiah sebagai aliran sesat, Syiah moderat tetap berupaya menjalin hubungan baik dengan pihak berwenang dan masyarakat luas untuk mempromosikan pemahaman yang benar tentang ajaran mereka.
Pandangan terhadap Syiah di Indonesia dapat bervariasi di antara individu dan kelompok masyarakat. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi pandangan tersebut antara lain sejarah, perbedaan doktrin agama, politik, dan faktor sosial budaya. Berikut adalah beberapa alasan yang mungkin menjelaskan mengapa beberapa orang di Indonesia melihat Syiah dengan pandangan yang negatif atau sebelah mata:
1. Mayoritas Muslim Sunni: Indonesia memiliki mayoritas Muslim Sunni, yang mengikuti mazhab-mazhab Sunni dalam Islam. Syiah memiliki perbedaan teologis dengan Sunni, terutama dalam hal pewarisan kepemimpinan Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad. Perbedaan ini telah menyebabkan ketegangan dan ketidakpercayaan antara kedua komunitas dalam sejarah.
2. Pengaruh sejarah dan geopolitik: Beberapa pandangan negatif terhadap Syiah di Indonesia mungkin dipengaruhi oleh konflik politik dan geopolitik yang melibatkan Syiah di negara-negara seperti Iran, Irak, dan Lebanon. Berita dan persepsi yang berkembang mengenai konflik tersebut dapat mempengaruhi cara orang melihat Syiah secara umum.
3. Kurangnya pemahaman dan informasi: Terkadang, pandangan negatif terhadap Syiah di Indonesia juga disebabkan oleh kurangnya pemahaman yang mendalam tentang ajaran dan praktik Syiah. Sebagai akibatnya, stereotype dan prasangka negatif dapat muncul.
4. Kelompok ekstremis: Kelompok-kelompok ekstremis di Indonesia yang memiliki pandangan sempit terhadap agama seringkali menganggap Syiah sebagai aliran sesat atau bahkan menuduhnya sebagai ajaran yang bertentangan dengan Islam. Pandangan ekstremis semacam ini dapat memengaruhi persepsi masyarakat secara umum.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua orang di Indonesia memiliki pandangan negatif terhadap Syiah. Ada juga kelompok-kelompok dan individu yang mempromosikan toleransi, dialog antaragama, dan penghormatan terhadap kebebasan beragama. Pemerintah Indonesia juga telah berupaya untuk memastikan perlindungan hak-hak minoritas agama, termasuk Syiah, sesuai dengan konstitusi yang menjamin kebebasan beragama bagi semua warga negara.
Pandangan negatif terhadap Syiah di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa situasi atau kejadian. Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua orang atau pemerintah di Indonesia memiliki pandangan negatif terhadap Syiah. Berikut ini adalah beberapa contoh yang mungkin menjadi bukti adanya pandangan negatif terhadap Syiah di Indonesia:
Larangan aktivitas Syiah: Beberapa daerah di Indonesia, seperti Madura dan Lombok, melarang kegiatan keagamaan Syiah. Contohnya, pada tahun 2012, pemerintah Kabupaten Sampang, Madura, melarang kegiatan ibadah Syiah setelah terjadinya konflik antara kelompok Sunni dan Syiah di wilayah tersebut.
Intoleransi dan persekusi: Terdapat laporan tentang adanya intimidasi, kekerasan, dan penganiayaan terhadap komunitas Syiah di Indonesia. Misalnya, pada tahun 2016, sebuah masjid Syiah di Sampang, Madura, diserang dan dihancurkan oleh kelompok yang menentang keberadaan Syiah.
Diskriminasi dan pembatasan: Beberapa lembaga pendidikan atau pemerintahan mungkin memberlakukan pembatasan atau diskriminasi terhadap pemeluk Syiah. Misalnya, dalam beberapa kasus, pemeluk Syiah dilarang mengajar di lembaga pendidikan resmi.
Stigmatisasi media: Terkadang, media massa di Indonesia dapat memberitakan Syiah dengan cenderung negatif atau memunculkan stereotype yang tidak akurat. Pemberitaan yang tidak seimbang ini dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap Syiah.
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua pemerintah daerah atau lembaga di Indonesia memiliki kebijakan atau sikap negatif terhadap Syiah. Ada juga upaya dari pemerintah pusat untuk mempromosikan toleransi dan dialog antaragama di negara ini. Beberapa organisasi masyarakat sipil dan aktivis juga berjuang untuk melawan diskriminasi dan memperjuangkan hak-hak minoritas agama, termasuk Syiah.
Jadi SABI adalah sebuah komunitas Syiah moderat di Indonesia yang berkomitmen pada prinsip toleransi, kerukunan, dan moderat dalam beragama.Mereka menganut ajaran-ajaran Islam dari sudut pandang Syiah, namun juga menjunjung tinggi kerukunan antarumat beragama dan menghormati perbedaan.SABI aktif dalam kegiatan keagamaan, sosial, dan kemanusiaan di masyarakat Indonesia.
Kesimpulan meskipun ada beberapa pandangan negatif dan ketegangan terhadap Syiah di Indonesia, SABI berupaya menjalin hubungan baik dengan pihak berwenang dan masyarakat luas untuk mempromosikan pemahaman yang benar tentang ajaran mereka.
Pemerintah Indonesia telah mengakui keberadaan Syiah moderat sebagai bagian dari keberagaman agama di negara ini dan berupaya melindungi hak-hak minoritas agama.Tidak semua masyarakat Indonesia atau pemerintah daerah memiliki pandangan negatif terhadap Syiah. Terdapat juga individu, kelompok, dan lembaga yang mempromosikan toleransi, menghormati perbedaan, dan memperjuangkan hak-hak minoritas agama.
Editor: Adis Setiawan