Ayat 54 dari surah Al-A’raf seringkali menjadi perbincangan dalam kajian tafsir, terutama terkait makna Istawa ‘alal ‘Arsy,
اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ
Artinya : “Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ʻArsy.”
Ayat ini menimbulkan perbedaan pandangan ulama, apakah istawa harus dipahami sebagaimana adanya (tajsim)? Perlukah dita’wilkan? Atau cukup diserahkan hakikatnya kepada Allah (tafwidh)? Pembahasan ini merupakan ranah Antropomorfisme, yaitu kecenderungan menyerupakan Allah dengan bentuk fisik atau sifat makhluk.
Salah satu mufassir yang memberikan penjelasan cukup moderat atas isu antropomorfisme ini adalah Qadhi Muhammad bin Ali Asy-Syaukani melalui karya monumentalnya, Tafsir Fath al-Qadir. Kitab ini mendapat pujian dari para ahli tafsir, Husain Adz-Dzahabi mengakui sebagai salah satu rujukan penting, sementara A’jaj al-Khatib menilai bahwa Fath al-Qadir merupakan salah satu kitab tafsir terbaik karena berhasil memadukan metode riwayah dan dirayah secara harmonis.
Biografi Singkat dan Pemikiran Asy-Syaukani
Asy-Syaukani ( W. 1250 M) merupakan ulama besar asal Yaman penganut Syiah Zaidiyyah, mazhab yang secara metodologi cukup dekat dengan Sunni pada bidang fiqih dan Mu’tazilah pada bidang teologi. Mayoritas ulama Syiah Zaidiyyah yang menciptakan karya-karya tafsir cenderung kepada corak Mu’tazilah.
Karyanya yang masyhur yaitu Fath al-Qadir disusun secara analitis (tahlili) dengan memperhatikan I’rab dan struktur kebahasaan. Ia menggabungkan sumber riwayah berdasarkan tarjih atas penafsiran shahih dari Nabi, Sahabat atau ulama lain dengan sumber dirayah berdasarkan analisis linguistik.
Dalam muqaddimahnya, ia menegaskan bahwa penakwilan tanpa dasar syariat tidak dapat dijadikan pegangan. Dengan prinsip tersebut, ia mulai membahas perdebatan tentang makna istawa.
Penafsiran Istawa ‘alal ‘Arsy dalam Tafsir Fath al-Qadir Asy-Syaukani
Ketika menafsirkan “ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ” dalam QS al A’raf: 54, Asy-Syaukani menyebutkan terdapat empat belas pendapat ulama yang berbeda beda.
Dari empat belas pendapat tersebut, menurut Asy-Syaukani pendapat yang paling utama dan benar berasal dari madzhab Salaf Shalih, yaitu bahwa Allah benar-benar ber-istawa di atas ‘Arsy tanpa menanyakan “bagaimana” (bila kayf), tapi meyakini cara Allah ber-istawa sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk.
Kemudian, ia menyebutkan beragam makna istawa dalam bahasa Arab seperti tinggi (al-‘uluw), menetap (al-istiqrar), menguasai dan mengalahkan ( al-istaula) , naik (Sha’ida), tegak (intasaqa), lurus (I’tadala) juga menjelaskan ragam makna Arsy, mulai dari singgasana raja, atap rumah, empat bintang kecil, kerajaan, kesultanan dan kemuliaan, bahkan sudah dijelaskan secara shahih dalam hadis shahih sifat Arsy Tuhan, serta ditambahkan beberapa syair Arab sebagai contoh penggunaan kata tersebut.
Keragaman makna inilah menunjukkan mengapa para ulama bisa berbeda pendapat.
Asy-Syaukani tetap berpegang pada pendapat Salaf. Ia menerima lafaznya dan menyerahkan hakikat dan caranya kepada Allah (tafwidh al kaifiyyah). Baginya hakikat istawa tidak dapat dijangkau akal manusia, dan hanya diketahui oleh Allah.
Sikap ini membuat Asy-Syaukani menolak dua hal sekaligus:
- Antropomorfisme, ia menolak keras pemahaman yang menyerupakan Allah dengan makhluk, dengan cara mengembalikan hakikat cara ber-istawa kepada Allah.
- Ta’wil bebas, ia tidak mau memaksakan makna istawa ke makna lain, tanpa dalil.
Analisis Validitas Tafsir
Sebuah penafsiran dapat dikatakan valid jika memenuhi beberapa kriteria. Menurut Abdul Mustaqim, validitas penafsiran dapat dilihat melalui tiga aspek, yakni koherensi, korespondensi, dan pragmatisme.
1. Koherensi
Sikap anti-Antropomorfisme dan mempertahankan kesucian mutlak Allah sejalan dengan ayat muhkam seperti لَيۡسَ كَمِثْلِهِۦ شَيۡءٌ (QS. Al-Syura: 11) . Ia konsisten menolak ta’wil tanpa dasar dengan menetapkan istawa dengan bila kayf (tanpa menanyakan bagaimana caranya)
2. Korespondensi
Asy-Syaukani memprioritaskan riwayat yang sahih dari Nabi, Sahabat, Tabi’in, dan para ulama beasar lain. Meskipun berasal dari kalangan Zaidiyyah yang dekat dengan Mu’tazilah, ia tidak mengikuti tradisi Mu’tazilah yang cenderung menggunakan ta’wil, justru memilih pendapat Salaf. Penafsiran atas makna Istawa alal ‘Arsy berkorespondensi terhadap tradisi pemahaman generasi awal umat yang sering dianggap penafsiran paling aman dan mendekati makna asli.
3. Pragmatisme
Sikap anti-Antropomorfisme dengan menyandarkan hakikat kepada Allah (bila kayf) dapat menghentikan perdebatan yang tidak produktif mengenai “bagaimana” Allah bersemayam, sehingga mencegah perpecahan umat akibat masalah akidah.
Penafsiran Asy-Syaukani menunjukkan bahwa ia tidak terikat pada mazhab tempat ia dibesarkan. Ia memilih pendapat yang menurutnya paling kuat setelah melihat riwayat dan bahasa ayat.
Saat membahas ayat tentang istiwa, ia menolak antropomorfisme dan ta’wil bebas. Ia memakai tafwidh al-kaifiyyah, yakni menerima lafaz ayat apa adanya, dan tidak memikirkan “bagaimana”nya, karena itu di luar jangkauan manusia.
Cara ini dianggap lebih aman dan hati-hati, karena menjaga kesucian sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan makhluk dan tanpa membuat penafsiran yang tidak berdasar.
Daftar Pustaka
Asy-Syaukani. Tafsir Fath al-Qadir. Tahqiq dan Takhrij: Sayyid Ibrahim. Jilid 1 dan 4
Hasan, Farid Nu’man, Salaf dan Tafwidh, Publish 10 Desember 2022 dan diakses pada
22 November 2025 https://alfahmu.id/salaf-dan-tafwidh/#:~:text=Tafwidh
Muawwanah. Penafsiran Ayat-Ayat Mutasyâbihât Dalam Tafsir Fath Al-Qadîr Karya Imam Al-Syaukânî. Skripsi Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Syarif Hidayatullah . 2018
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS. 2010
Nurdiasyah. Syiah Zaidiyyah dan Ajarannya. Publish 26 September 2022 dan diakses pada 22 November 2025 https://annajahsidogiri.id/syiah-zaidiyah-dan-ajarannya/#:~:text=Dalam

