KULIAHALISLAM.COM – Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata Al-Ghaffar terambil
dari kata “Ghafara” yang berarti “menutup”. Ada juga yang berpendapat
dari kata “Alghafaru” yakni sejenis tumbuhan yang digunakan mengobati
luka”. Jika pendapat pertama yang dipilih, maka Allah Ghaffar berarti
antara lain, Dia menutupi dosa hamba-hamba-Nya karena kemurahan dan
anugerah-Nya. Sedang bila yang kedua, maka ini bermakna Allah menganugerahi
hamba-Nya penyesalan atas dosa-dosa, sehingga penyelasan ini berakibat
kesembuhan dalam hal ini terhapusnya dosa. Kalimat “Allahummagfir liy”
juga dipahami dalam arti “Ya Allah perbaikilah keadaanku”. Demikian
pendapat Ibnul A’raby.
Dalam Al-Qur’an kata Ghaffar
terulang sebanyak lima kali, ada yang berdiri sendiri seperti dalam Q.S Nuh
kepada kaumnya, “ Beristigfarlah kepada Tuhan-Mu, sesungguhnya Dia
senantiasa Ghaffara” dan Q.S Thaha 20;83 : “ Sesungguhnya Aku Ghaffar
bagi yang bertaubat, percaya dan beramal shaleh, lalu memperoleh hidayah”.
Tiga lainnya dirangkaikan dengan sifat “Aziz” yang mendahuluinya. Yang
dirangkaikan ini, dikemukakan bukan dalam konteks pengampunan dosa. Ini memberi
kesan bahwa Allah sebagai “Ghaffar” bukan menutupi kesalahan dan
dosa-dosa hamba-Nya, tetapi yang ditutupinya itu mencakup banyak hal selain
dari dosa.
Allah berfirman : “ Sesungguhnya
Tuhanmu sangat luas Magfirah-Nya” (Q.S At-Taubah 10;117).Keluasan ini tidak
hanya mengantar kepada berulang-ulangnya Yang Maha Pengampun itu mengampuni
dosa, tetapi juga mengisyaratkan banyak cakupan dari Maghfirah-Nya.
Allah tidak hanya mengampuni dosa besar atau kecil yang berkaitan dengan
pelanggaran perintah dan larangan-Nya atau yang dinamai hukum syariat tetapi
juga yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hukum moral yang boleh jadi
tidak dinilai dari segi syariat sebagai dosa bahkan mencakup pula
persoalan-persoalan yang dianggap tidak wajar dari segi cinta dan emosi.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam bermohon kiranya Allah mengampuni beliau menyangkut “ketidakadilan
hati beliau dalam cinta terhadap istri-istri beliau”, “Inilah hasil upaya
(dalam cinta) menyangkut hal yang kumampui maka jangan tuntut aku menyangkut
yang diluar kemampuanku”. Dalam hal-hal yang semacam inilah hendaknya
dipahami Maghfirah Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya, setelah mereka pada
hakikatnya terbebaskan dari aneka dosa dari segi pandangan syariat.
Imam Ghazali bahkan mengarah kepada
yang lebih jauh dari apa yang dikemukakan di atas. Hujattul lslam ini
menjelaskan bahwa Ghaffar adalah yang menampakan keindahan dan menutupi
keburukan”. Dosa-dosa tulisnya adalah bagian dari sejumlah keburukan yang
ditutupi-Nya dengan jalan tidak menampakannya di dunia serta mengesampingkan
siksa-Nya di akhirat. Pertama yang ditutupi oleh Allah dari hamba-hamba-Nya
adalah sisi dalam jasmani manusia yang tidak sedap dipandang mata. Ini
ditutupi-Nya dengan keindahan lahiriah.
Alangkah jauh perbedaan antara sisi
dalam dan sisi lahir manusia dari segi kebersihan dan kekotoran, keburukan dan
keindahan. Perhatikanlah apa yang nampak dan apa pula yang tertutupi dari
jasmani Anda. Hal kedua yang ditutupi Allah adalah bisikan hati serta
kehendak-kehendak manusia yang buruk. Tidak seorangpun mengetahui isi hati
manusia kecuali Allah dan dirinya sendiri. Seandainya terungkap apa yang
terlintas dalam pikiran atau terkuak apa yang terbetik dalam hati menyangkut
kejahatan atau penipuan, buruk sangka, dengki maka sungguh manusia akan
mengalami kesulitan dalam hidupnya. Begitulah kata Imam Al-Ghazali.
Allah tidak hanya menutupi apa yang
dirahasiakan manusia terhadap orang lain tetapi juga menutupi sekian banyak
pengalaman-pengalaman masa lalunya, kesedihan atau keinginannya, yang dipendam
dan ditutupi oleh Allah di bawah sadar manusia sendiri, yang kalau dinampakan
kepada orang atau dimunculkan kepermukaan hati yang bersangkutan sendiri maka
pasti akan mengakibatkan gangguan kecil.
Hal ketiga yang ditutupi Allah
selaku Ghaffar adalah dosa dan pelanggaran-pelanggaran manusia yang
seharusnya dapat diketahui umum. Sedemikian, besar anugerah-Nya sampai-sampai
Dia menjanjikan menukar kesalahan dan dosa-dosa itu dengan kebaikan jika yang
bersangkutan berupaya untuk kembali kepada-Nya. Ketika berbicara tentang mereka
yang bergelimang dalam dosa dan yang dilpatgandakan siksa baginya di hari
kemudian, Allah mengecualikan “ Orang yang bertaubat, beriman dan beramal
shaleh. Mereka itu yang digantikan Allah, kejahatan mereka dengan kebaikan”
(Q.S Al-Furqan ayat 70).
Jika demikian itu cakupan Maghfirah
Allah, maka ia tidak hanya tertuju kepada orang-orang beriman, tetapi juga
tertuju dalam kehidupan dunia ini kepada orang-orang kafir yang tidak percaya
adanya hari kebangkitan. Al-Qur’an surah Al-Ra’ad ayat 6 mengisyaratkan hal
itu. Firaman-Nya : “ Mereka meminta kepada-Mu. Supaya disegerakan bagi
mereka siksa sebelum mereka meminta kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam
contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhnya Tuhanmu memiliki Maghfirah bagi
manusia atas kezaliman mereka dan sesungguhnya Tuhanmu amat pedih siksa-Nya”.
Allah menyambut permohonan tulus
hamba-hamba-Nya yang berdosa, betapapun besar dan banyaknya dosanya. Allah
berfirman : “ Sampaikanlah kepada hamba-hambaku yang melampaui batas
terhadap diri mereka sendiri ‘ Janganlah berputus asa dari rahmat Allah’.
Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa.Sesungguhnya Allah mengampuni semua
dosa, Dialah Al-Gafur ar-Rahim” (Q.S Az-Zumar ayat 53). Bahkan terbuka
kemungkinan bagi yang tidak bermohon selama dosanya bukan mempersekutukan
Allah, untuk diampuni-Nya. Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak
mengampuni dosa yang mempersekutukan-Nya dengan sesuatu dan mengampuni dosa
selain dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (Q.S An-Nisa’ ayat 48 dan
116).
Sahabat Nabi, Anas bin Malik
radiallahu anhu’ berkata : “ Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam bersabda, Allah berfirman : “ Wahai putra (putri) Adam, selama
engkau berdoa kepada-Ku dan mengharapkan ampunan-Ku, aku ampuni untukmu, apa
yang engkau telah lakukan di masa lampau
dan Aku tidak perduli betapapun banyaknya dosamu. Wahai putra putri Nabi Adam,
seandainya dosa-dosamu telah mencapai ketinggian langit, kemudian engkau
memohon ampunan kepada-Ku, Aku ampuni untukmu. Seandainya engkau datang
menemuiku membawa seluas wadah bumi ini dosa-dosa dan engkau datang menemuiku
membawa seluas wadah bumi ini dosa-dosa dan engkau datang menjumpaiku dengan
tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu, niscaya Aku datang kepadamu dengan
seluas wadah itu pengampunan” (H.R Tirmizy dan Ahmad).
Allah memerintahkan kepada manusia
agar meneladani-Nya dalam memeberi Magfirah : “Katakanlah kepada orang-orang
yang beriman agar yaghfiru, memberi Maghfirah/menutupi aib/memafkan orang-orang
yang tidak mengharapkan hari-hari Allah” (Q.S Al-Jastiyah ayat 14).
Ditempat lain dinyatakan-Nya bahwa : “ Siapa yang bersabar dan menutupi
kesalahan orang lain/memafkan, maka sungguh hal yang demikian termasuk hal yang
diutamakan” (Q.S Asy-Syura ayat 43).
Seseorang yang memenuhi tuntutan ini
atau meneladani sifat Allah yakni Al-Ghaffar, akan menutupi keburukan
orang lain, tidak membeberkannya dan akan menampakan kelebihan sesamanya, tidak
menampilkan kekurangannya. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : “ Siapa
yang menutupi aib seorang Muslim, Allah menutupi aibnya di dunia dan akhirat”.
Dalam riwayat lain : “ Tidak seorang manusiapun menutupi aib orang lain di dunia
kecuali Allah menutupi aibnya di hari kemudian” (H.R Muslim). Karena itu
mengumpat, pendendam, pembalas kejahatan, pembeber kesalahan pada hakikatnya
tidak menyandang sedikitpun dari sifat ini.
Sumber : Prof.Dr. Muhammad Quraish
Shihab, “ Menyingkap Tabir Illahi; Asma al Husna dalam Prespektif Al-Qur’an”,
Lentera Hati.