Opini

Sekolah Full Day: Antara Ambisi Pendidikan dan Tubuh Anak yang Kelelahan

2 Mins read

Perdebatan soal full day school dalam beberapa tahun terakhir terasa seperti gema yang tak pernah benar-benar hilang dari ruang publik Indonesia. Setiap kali isu pendidikan mencuat, sistem sekolah seharian penuh ini kembali ditarik ke meja diskusi: dipuji sebagai terobosan, dikritik sebagai beban.

Perubahan zaman yang bergerak cepat membuat sekolah berlomba menyesuaikan diri dengan tuntutan baru-tentang kompetensi masa depan, pembentukan karakter, hingga perlunya ruang belajar yang lebih terstruktur. Di atas kertas, memperpanjang jam sekolah tampak seperti jawaban. Tapi realitas, seperti biasa, selalu punya cerita lain.

Secara teoretis, full day school adalah mimpi yang rapi. Siswa tidak hanya diberi materi akademik, tetapi juga dirangkul lewat kegiatan tambahan: pembiasaan karakter, pengembangan kreativitas, hingga aktivitas sosial atau keagamaan. Pemerintah dan sebagian ahli pendidikan menilai, semakin lama siswa berada dalam lingkungan yang terkontrol, semakin besar peluang mereka menumbuhkan kedisiplinan dan kebiasaan belajar yang baik.

Bagi banyak orang tua pekerja, sistem ini bahkan terasa seperti angin penolong. Di tengah jam kerja yang panjang, mereka merasa lebih tenang ketika anak menghabiskan hari di sekolah ketimbang menunggu di rumah tanpa pengawasan. Dalam era ketika pergaulan negatif begitu mudah menembus ruang-ruang kecil kehidupan anak-dari layar ponsel hingga gang belakang rumah-full day school dianggap sebagai pagar yang paling aman.

Namun, keamanan kadang menuntut harga. Dan harga itu harus dibayar oleh tubuh-tubuh muda yang belum tentu siap.

Bagi siswa, narasi ideal full day school sering kali berubah menjadi rutinitas yang melelahkan. Banyak dari mereka memulai hari saat langit masih biru gelap, berlari mengejar waktu, lalu duduk berjam-jam mengikuti pelajaran yang datang tanpa jeda. Pulang ketika matahari nyaris tenggelam, mereka masih harus menuntaskan pekerjaan rumah, belajar untuk ulangan, atau mengerjakan proyek kelompok.

Baca...  Umat, Ulil Amri, dan Demonstrasi: Mencari Jalan Tengah yang Bijak

Di titik tertentu, tubuh mereka menyerah. Energi habis, fokus menipis. Mereka hadir di kelas, tetapi sekadar menjadi tubuh yang duduk. Pikiran terbang, mata berusaha bertahan, sementara materi pelajaran lewat begitu saja.

Secara biologis, remaja masih membutuhkan jam tidur panjang untuk tumbuh optimal. Tetapi jadwal padat menekan kebutuhan itu. Akhirnya, kualitas belajar justru menurun. Jam diperpanjang, tetapi daya tangkap tidak ikut panjang.

Yang lebih disayangkan, anak kehilangan waktu penting: bermain, mengeksplorasi hobi, menemukan bakat, belajar menjadi dirinya sendiri. Ruang-ruang ekspresi-melukis, berolahraga, bermain musik, menari, menulis-kian terhimpit oleh tugas dan jadwal akademik yang mendominasi.

Padahal, sering kali justru di wilayah itu jati diri tumbuh. Di momen yang tidak diburu target akademik, seorang anak menemukan dunia yang ingin ia tekuni.

Waktu keluarga pun ikut terpangkas. Orang tua dan anak pulang dengan tubuh yang sama-sama letih. Ketika malam datang, yang tersisa hanyalah sisa-sisa energi. Alhasil, waktu yang mestinya menjadi ruang paling intim-bercerita, bercanda, mendengar keluh kesah-perlahan menyusut.

Ini bukan sekadar soal jadwal. Ini soal kualitas kedekatan. Tentang bagaimana sebuah sistem pendidikan tanpa sadar menipiskan ruang kehangatan di rumah.

Bukan Soal Setuju atau Menolak, Tapi Bagaimana Mengelola

Meski demikian, full day school bukanlah kebijakan yang sepenuhnya keliru. Sistem ini tetap punya potensi besar jika dikelola dengan tepat. Sekolah yang mampu menyeimbangkan antara pelajaran akademik, seni, olahraga, pembinaan karakter, dan waktu istirahat yang manusiawi justru dapat menciptakan ruang belajar yang lebih sehat.

Guru juga memegang peran kunci. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi penjaga suasana. Cara mengajar yang empatik, jam istirahat yang cukup, tugas yang tidak berlebihan-semua itu dapat menurunkan tingkat stres siswa secara signifikan. Sebaliknya, full day school tanpa pengelolaan yang sensitif hanyalah pabrik jam panjang yang mudah menggerus kesehatan mental.

Baca...  Penanaman Nilai Karakter Dilingkungan Sekolah

Pada akhirnya, full day school adalah cermin kecil tentang bagaimana kita melihat pendidikan. Apakah kita memandangnya sebagai ruang pengembangan manusia seutuhnya, atau sekadar ruang produksi prestasi?

Anak tidak lahir untuk menjalani jadwal seperti orang dewasa yang kejar target. Mereka tumbuh, bereksplorasi, belajar perlahan-dan membutuhkan istirahat, ruang bermain, serta waktu bersama keluarga.

Sistem pendidikan, seideal apa pun tujuannya, tidak boleh melupakan hal paling mendasar: bahwa anak adalah manusia muda yang sedang tumbuh, bukan mesin belajar yang bisa menyala dari pagi sampai senja.

Kebijakan pendidikan baru hanya bisa disebut berhasil jika mampu menciptakan ruang belajar yang bukan hanya cerdas, tetapi juga sehat, ramah, dan membuat anak pulang dengan hati gembira-bukan hanya dengan buku penuh catatan tugas.

Related posts
KATA KITAOpini

KATA KITA: Refleksi Hari Guru

1 Mins read
Hari Guru adalah kesempatan untuk berpikir bersama, menilai sistem pendidikan, dan memperkuat posisi guru sebagai pendidik. Menurut perspektif Islam, pendidikan bukan hanya…
Opini

Generasi Yang Lelah Sebelum Bertanding: Mengapa Anak Muda Makin Takut Gagal?

2 Mins read
Generasi yang lelah sebelum bertanding: mengapa anak muda makin takut gagal? Tidak ada yang lebih ironis daripada hidup di era yang serba…
Opini

Sudut Pandang Tentang Feminisme

2 Mins read
Sudut pandang tentang feminisme. Banyak orang yang mengecam feminisme yang katanya mendorong perempuan untuk berkarir, sehingga meninggalkan kodratnya sebagai ibu. Ujung-ujungnya menyebut…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
KeislamanNgaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I'tiqad : Sesat Pikir Karena Asosiasi

Verified by MonsterInsights