Foto Kartosuwiryo sebelum dieksekusi |
KULIAHALISLAM.COM – Sekarmaji
Marijan Kartosuwiryo lahir di Sulang, Rembang 7 Februari 1905 dan wafat
September 1962. Ia merupakan Pemimpin Gerakan Darul Islam, Pendiri Tentara
Islam Indonesia (TII) dan Proklamator Negara Islam Indonesia (NII).
Dia seorang
organisator ulung yang mampu mengikat banyak pengikut dikalangan rakyat
pedesaan. Dia mempunyai banyak pengalaman dalam politik nasional dan telah
memainkan pernan penting dalam gerakan Islam pada masa perjuangan kemerdekaan.
Pada usia
enam tahun, Kartosuwiryo masuk Sekolah Bumi Putera Kelas Dua. Setelah tamat, ia
melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Dasar Kelas Satu yang memakai bahasa
Belanda.
Setelah
ayahnya pindah ke Bojonegoro, ia berhasil masuk Sekolah Dasar Eropa (ELS).
Kedua sekolah itu, bagi anak pribumi adalah sekolah elit. Dia dapat diterima di
sekolah itu karena dia dianggap sebagai anak yang mempunyai bakat.
Setelah
tamat dari ELS itu, dia melanjutkan studi ke Surabaya dan masuk Nederlandsch Indische
Artsen Scholl (NIAS), Sekolah Dokter Hindia Belanda. Sekolah ini terdiri dari
dua tingkat.
Tingkat
persiapan tiga tahun dan tingkat lanjutan enam tahun. Dia masuk tingkat
persiapan pada tahun 1923 dalam usia 18 tahun. Setelah tamat dari tingkat
persiapan ini, dia dapat diterima pada tingkat lanjutan.
Akan tetapi
karena alasan politik, dia dikeluarkan dari sekolah itu. Pada masa sekolah, dia
terdaftar sebagai anggota Jong Java dan bahkan terpilih menjadi ketua cabang
Surabaya.
Dia kemudian
keluar dari organisasi ini dan masuk Jong Islamieten Bond (JIB). Ketika menjadi
salah seorang pemimpin itulah dia dikeluarkan dari sekolah dengan tuduhan
mempunyai kecenderungan Komunis.
Sesudah itu,
Kartosuwiryo sempat pulang kampung dan mengajar. Kemudian, dia kembali ke
Surabaya dan mondok di rumah H. Oemar Said Tjokroaminoto yang kemudian menjadi
mentor politiknya.
Pada waktu
itu, ia resmi menjadi anggota Sarekat Islam yang ketika itu sudah berubah
menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Selama tinggal di rumah Tjokroaminoto dia menjadi sekretaris pribadi politikus terkemuka ini sampai tahun 1929.
Karena
pendidikan formal Kartosuwiryo bersifat sekuler dan dia tidak mendapat
pendidikan formal dalam bidang agama, maka pengetahuan agamanya banyak didapat
melalui bacaan dalam bahasa Belanda.
Sebagian
besar pengetahuan tentang Islam hanya bergantung pada perkenalan pribadinya
dengan para Ulama yang secara kebetulan berjumpa dengannya. Sebagian lagi
diperolehnya dari Tjokroaminoto dan para pemimpin Sarekat Islam lainnya.
Karena
alasan kesehatan, pada tahun 1929 ia pindah ke Malangbong, sebuah kota kecil
dekat Garut dan Tasikmalaya. Selama tinggal di sana, dia mempelajari Islam dari
sejumlah Kiyai setempat.
Kartosuwiryo
menjadi seorang Sufi. Meskipun dia berada di Malangbong, dia terpilih menjadi
Sekretaris PSII pada tahun 1931 dan pada tahun 1936 dia bahkan terpilih menjadi
wakil ketua PSII karena mendapat dukungan dari anggota atas politik hijrahnya.
Segera
setelah itu, dia mengeluarkan brosur yang
menjelaskan konsep politik hijrahnya itu. Pada tahun 1939, PSII memutar haluan
politiknya dan Kartosuwiryo bersama para pendukungnya dikeluarkan dari partai.
Akibatnya,
dia mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran PSII (KPK-PSII) yang kemudian
diubahnya menjadi PSII tandingan pada tanggal 24 April 1940. Organisasi ini
hanya berhasil di Jawa Barat. Pada kongres pertamanya hanya enam cabang yang
hadir : Cirebon, Cibadak, Sukabumi, Pasanggrahan, Wanaraja dan Malangbong.
Cabang-cabang ini kemudian menjadi cikal bakal pengikut DI/TII-nya.
Pada waktu
yang sama, Kartosuwiryo mendirikan semacam Pesantren di Malangbong yang bernama
Institut Suffah. Institut ini dimaksudkan sebagai tempat pelatihan kepemimpinan
dalam bidang politik-keagamaan. Pada masa pendudukan Jepang, institut ini
berubah dan akhirnya menjadi suatu pusat latihan untuk pasukan Griliya
Hizbullah dan Sabilillah.
Setelah
kemerdekaan, ketika MASYUMI mengubah dirinya menjadi partai politik pada
tanggal 7 November 1945, ia duduk sebagai anggota pengurus besar MASYUMI.
Anggaran Dasar
MASYUMI yang disahkan oleh KUII (Kongres Umat Islam Indonesia) pada tahun 1945,
menyebutkan bahwa Partai MASYUMI dibentuk dengan tujuan menegakan kedaulatan
negara RI dan agama Islam dan melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan
kenegaraan.
MASYUMI
menyatakan bahwa imperialisme apapun juga manifestasinya adalah salah satu
kezaliman oleh sebab itu wajib berjuang dengan jiwa dan raganya demi membela
kemerdekaan negara dan agama sebagai Jihad Fi Sabilillah.
Tokoh yang
mendirikan MASYUMI adalah H. Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul
Wahid Hasjim, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr.
Sukiman Wirjosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu
Hanifah.
Ketika
Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama pada tanggal 27 Juli 1947,
ia menyerukan Jihad melawan Belanda. Setelah persetujuan Renville pada bulan
Januari 1948, Kartosuwiryo mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII).
Salah satu
ketentuan Renville itu adalah bahwa pasukan Republik Indonesia harus ditarik
dari daerah yang dikuasai Belanda, termasuk hampir seluruh Jawa Barat dimana
Kartosuwiryo mendapat banyak pengikut.
Perjanjian
Renville yang ditandatangani Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dari Partai
Sosialis atas nama pihak Indonesia dengan pihak Belanda menyebabkan wilayah
Indonesia tinggal sebagian Pulau Jawa dan sebagian Pulau Sumatera. Belanda
menganggap Jawa Barat menjadi bagian negaranya.
MASYUMI menfatwakan
perjanjian Renville membawa kerusakan terhadap bangsa dan negara. MASYUMI
memutuskan keluar dari Kabinet.
Berdasarkan kesepakatan
yang tertuang dalam perjanjian Renville, Divisi Siliwangi harus melakukan
hijrah ke pusat pemerintahan RI di Yokyakarta. Sekitar 35.000 orang anggota
Divisi Sililiwangi terpaksa diangkut dengan kapal dari Cirebon ke Rembang, Jawa
Tengah. Melalui darat, pasukan dikumpulkan di Parujakan, Cirebon untuk
selanjutnya diangkut dengan Kereta Api ke Gombong terus ke Yokyakarta.
Akibatnya
Jawa Barat menjadi kosong oleh kekuatan pasukan Republik. Pasukan Hisbullah dan
Fisabillilah memanfatkan kekosongan itu dengan menyusun struktur pertahanan
yang merupakan cikal bakal sebuah negara.
Kartosuwiryo
bercita-cita mendirikan sebuah negara Islam yang terpisah dari RI. Gerakan yang
digerakan Kartosuwiryo bernaung dalam sebuah organisasi yang dinamakan Darul
Islam (DI).
Saya tidak tahu apakah saat itu gerakan itu tepat disebut gerakan
pembrontakan pada RI sebab Jawa Barat saat itu sedang mengalami kekosongan
kekuasaan apalagi gerakan Kartosuwiryo sebenarnya didasari kekecewaan politik
terhadap perjanjian Renville dan Kartosuwiryo dan kelompoknya diabaikan begitu saja oleh pemerintah saat itu.
DI mendapat
dukungan dari pasukan Hisbullah dan Fisabilillah yang marah akan perjanjian
Renville itu. Pada bulan Februari 1948, Kartosuwiryo menyelenggarakan Kongres
Islam di Cisayong, Jawa Barat. Isi kongres sebagai berikut :
- Kartosuwiryo
menjadi Imam (pemimpin tertinggi) dari Negara Islam Indonesia (NII), - Pembentukan
angkatan perang yang dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII) yang berintikan
pasukan Hisbullah dan Fisabilillah, - Penetapan
Undang-Undang NII yaitu Qanun Asasy Negara Islam Indonesia. Dr. Ruslan Abdulghani menyatakan bahwa sekalipun Kartosuwiryo menyebut bentuk Republik dan dasar hukumnya adalah Islam serta hukum yang tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadis Shahih tetapi dalam ketentuan pidananya menunjukan sifat yang tidak sesuai lagi dengan zaman.
Dalam Perturan Majelis Kehakiman NII pada tanggal 25 September 1948 dinyatakan bahwa “siapa yang membunuh orang maka diqisash (dibunuh lagi) atau dikenakan Diat dengan membayar 100 Unta atau uang 1333 1/3 Dinar jika dengan uang Perak 16.000 Dirham”.
Dr. Ruslan Abdul Ghani menyatakan sekalipun konstitusinya menunjukan moderen tetapi isinya tidak sesuai lagi zaman.
Kemudian, Pada 7
Agustus 1949 Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia
(NII) di Desa Malangbong, Kabupaten Tasikmalaya. Gerakannya dinamakan Darul
Islam (DI) sedangkan tentara yang mendukungnya disebut Tentara Islam Indonesia
(TII).
Gerakan
DII/TII kemudian merembet ke Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimatan
Selatan. Takala pasukan Divisi Siliwangi melakukan long march ke tempat asalnya
di Jawa Barat, mereka dihandang orang-orang DI/TII. Pertempuran antara pasukan DII/TII
tidak dapat dihindarkan.
Pihak
Republik sulit menumpas gerakan DI/TII disebabkan perhatian TNI harus
menghadapi Belanda, basis geriliya DII/TII di medan pegunungan, pada awal
pergerakan DII/TII mendapat bantuan dari rakyat yang dihasutnya, DII/TII mendapat
sokongan dana dari beberapa pemilik perkebunan Belanda dan tokoh-tokoh negara
Pasundan.
Untuk
menanggulangi aksi DII/TII di Jawa Barat, pemerintah RI berusaha melakukan
pendekatan pribadi terhadap Kartosuwiryo yang dilakukan oleh Mohammad Natsir (Perdana
Menteri RI dan Ketua Umum Partai MASYUMI) dan Ulama berpengaruh di dunia dengan
tujuan agar DI/TII kembali ke pangkuan RI.
Tokoh utama
MASYUMI yaitu Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawinegara, Zainal Abidin Ahmad, dan
Mohammad Roem berpendapat suatu negara akan bersifat Islami bukan karena secara
formal disebut Negara Islam atau pun berdasarkan Islam, tapi negara itu disusun
sesuai dengan ajaran Islam baik teori
maupun praktiknya.
Gerakan
separatis DI/TII digunakan kaum Komunis untuk memukul lawan politiknya yaitu
MASYUMI. MASYUMI dituding memperjuangkan negara teror ala Darul Islam
Kartosuwiryo. MASYUMI mereka tuding hendak mengganti Bendera Nasional
Indonesia, menggantikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan lagu Kasidah dari
negeri Arab.
Presiden
Soekarno pun terutama, pada masa pasca revolusi giat melakukan propaganda
menentang Negara Islam. Bagaiamanapun, tokoh MASYUMI sadar bahwa
tuduhan lawan-lawannya hanyalah suatu propaganda yang perlu dijawab dengan
propaganda pula. Padahal Tokoh MASYUMI yakni Dr. Sukiman adalah yang mensahkan
penggunaan simbol garuda.
Sejak tahun
1960, pengikut Kartosuwiryo mulai berkurang. Pada 4 Juni 1962, akhirnya
kesatuan Divisi Siliwangi dapat menangkap Kartosuwiryo di atas Gunung Geber
daerah Majalaya. Selanjutnya, ia dihukum mati oleh Mahkamah Agung Angkatan
Darat Jawa-Madura. Hukuman mati itu dilaksanakan bulan September 1962.
Kartosuwiryo bersama sang istri sebelum dieksekusi (Foto Koleksi Fadli Zon) |
Kartosuwiryo melaksanakan salat Taubat sebelum dieksekusi (foto koleksi Fadli Zon) |
Foto Kartosuwiryo setelah dieksekusi mati dan disalatkan, (koleksi Foto Fadli Zon) |