Keislaman

Sejarah Terciptanya Ilmu Nahu

3 Mins read

Kuliahalislam.com-Ilmu Nahwu merupakan salah satu cabang ilmu bahasa Arab yang mempelajari kaidah-kaidah yang berhubungan dengan susunan kata-kata dalam kalimat bahasa Arab. Cabang ilmu ini memfokuskan pengkajian pada keadaan baris huruf terakhir kata-kata bahasa Arab yang disebabkan oleh perubahan kedudukan kata dalam kalimat.

Nama lain dari ilmu Nahwu ialah ilmu Qawa’id ( ilmu tata bahasa Arab). Penyebutan ilmu Nahwu ini sering dikaitkan dengan Saraf (menjadi Nahu Saraf), suatu cabang ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan bentuk kata bahasa Arab.

Objek kajian ilmu Nahwu adalah baris akhir suatu kata dalam kalimat bahasa Arab dan perubahan-perubahan yang terjadi karena perubahan kedudukan dalam kalimat, dengan menggunakan tanda-tanda (‘alamat) tertentu. Dengan adanya perubahan-perubahan ini, dalam ilmu Nahwu dikenal berbagai istilah seperti marfu’ ( yang dibaca dengan bacaan-bacaan yang sama dengan bunyi vokal /u/), mansub ( yang dibaca dengan bacaan-bacaan yang sama dengan bunyi vokal /a/), majrur ( yang dibaca dengan bacaan yang sama dengan bunyi vokal /i/), dan majzum ( yang dibaca dengan bacaan-bacaan konsonan yang tidak diiringi bunyi-bunyi /a/, /u/, /i/) dengan tanda-tanda antara lain damah ( berbunyi /u/), fathah ( berbunyi /a/), kasrah ( berbunyi /i/) dan sukun ( tanda baca mati).

Istilah-istilah lain yang juga dikenal dalam ilmu Nahwu ini ialah mu’rab dan mabni. Istilah mu’rab digunakan untuk kata-kata yang selalu mengalami perubahan baris huruf akhirnya karena perubahan kedudukan dalam kalimat sedangkan istilah mabni digunakan untuk kata-kata yang keadaan baris huruf akhirnya tidak pernah berubah walaupun terjadi perubahan kedudukannya dalam kalimat.

Ada beberapa faedah yang dapat diambil dari mempelajari ilmu Nahwu : pertama, untuk memahami susunan kata-kata Arab yang terdapat di dalam Al-qur’an dan hadis, yang merupakan dua sumber utama hukum Islam; dengan ilmu Nahwu ini seseorang akan dapat memahami agama yang ditulis dalam bahasa Arab secara baik dan benar.

Kedua, untuk dapat menyusun kata-kata Arab dalam susunan yang benar dan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu Nahwu. Ketiga, untuk dapat menentukan kedudukan kedudukan kata dan memahami pengertian suatu kalimat dengan benar. Keempat, untuk dapat menyusun kalimat-kalimat bahasa Arab menurut susunan dan bentuk yang benar.

Terdapat perbedaan pendapat ulama Nahwu tentang orang yang pertama meletakkan dasar-dasar ilmu Nahwu. Ada yang mengatakan bahwa peletak pertama dasar ilmu-ilmu Nahwu adalah Abu al-Aswad ad-Du’ali, ada yang mengatakan Nasr bin Asim, dan ada yang mengatakan Abdurrahman bin Hurmuz.

Namun demikian kebanyakan ulama berpendapat bahwa peletak pertama dasar-dasar ilmu Nahwu ini ialah Abu al-Aswad Zalim bin Sufyan ad-Du’ali (wafat 69 H/688 M), seseorang ahli Qiraat Basra. Ada beberapa faktor yang mendorong ulama Basra untuk menyusun dasar-dasar ilmu ini.

Diantaranya adalah faktor agama, nasionalisme Arab dan faktor sosiologis. Faktor agama sangat berkaitan erat dengan keinginan yang kuat dari para ulama untuk menyampaikan nas-nas Al-qur’an itu dengan baik dan benar agar terlepas dari kesalahan-kesalahan yang dapat menimbulkan salah paham terhadap ayat-ayat Al-qur’an.

Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa ada beberapa ayat yang sudah dibaca secara salah oleh sebagian orang. Faktor ini berkaitan erat dengan keinginan orang-orang Arab untuk memperkuat kedudukan bahasa Arab di tengah-tengah pembaurannya dengan bahasa-bahasa lain yang non Arab dan adanya kekhawatiran akan kepunahan dan kehancuran bahasa Arab dalam bahasa-bahasa non Arab. Faktor ketiga, faktor sosiologis yang berkaitan dengan keadaan masyarakat yang sudah sangat membutuhkan pemahaman bahasa al-qur’an dan bahasa Arab baik dari segi i’rab ( perubahan harakat huruf terakhir) dan tasrif ( perubahan bentuk kata).

Ilmu Nahwu lahir, tumbuh dan berkembang di Basra yang pada periode-periode berikutnya tersebar ke beberapa negara Islam lainnya seperti Kufah, Baghdad, Andalusia dan Mesir. Kelahiran ilmu Nahwu ini tidak dapat dilepaskan dari peranan Abu al Aswad ad-Du’ali sebagai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar ilmu ini.

Dia bersama dua orang muridnya, Nasr bin Asim dan Abdurrahman bin Hurmuz, baru sampai pada usaha memberi harakat bagi huruf terakhir kata-kata yang terdapat di dalam Al-qur’an dan memberi titik bagi huruf-huruf Hija’iyah (abjad) yang harus memiliki titik (al-huruf al-mu’jamah) dalam mushaf (kitab) Al-Qur’an agar dapat dibedakan dari huruf-huruf Hija’iyah yang tidak memiliki titik (al-huruf al muhmalah).

Dasar-dasar ilmu Nahwu yang telah diletakkan itu kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya yang juga merupakan murid-murid mereka seperti Ibnu Abu Ishaq (wafat 117 H/735 M), ulama nahu pertama di Basra yang telah meletakkan kaidah-kaidah nahwu.

Lalu disusul oleh dua orang muridnya yaitu Isa Ibnu Umar as-saqafi dan al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi al-Basri (100 H/718 lakukan-175 H/791 M), yang telah Berusaha memperkuat kaidah-kaidah dasar sebelumnya. Al-Khalil bin Ahmad sendiri adalah ulama yang mengembangkan kaidah-kaidah dasar yang ada dengan mempertajam nahwu, memperkuat dasar-dasar dan pondasi-pondasinya, membuat kaidah-kaidah yang berhubungan dengan pembentukan (abniyah), pemecahan (isytiqaq), perubahan (i’lal) dan pergantian (ibdal) dalam nahwu, di samping telah memperbaiki teori ‘awamil ( kata-kata yang mengubah keadaan kata yang lain) dan ma’mulat ( berubah karena dipengaruhi oleh kata sebelumnya) dan menetapkan kaidah-kaidah sama’i ( berdasarkan kebiasaan dan sifat bahasa yang digunakan oleh pemakai bahasa ibu), ta’lil ( perubahan kata yang disebabkan oleh alasan-alasan tertentu), dan qias ( analogi bentuk kata).

Ilmu Nahwu ini dilakukan pula oleh murid-muridnya diantaranya adalah Abu Bisyr Amr bin Usman bin Qanbar yang dikenal dengan nama Imam sibawaih. Dia telah menyusun satu buku Nahwu dengan judul Alkitab yang oleh kebanyakan ulama dianggap sebagai kitab utama ilmu Nahwu (Qur’an an-Nahwi) yang belum ada taranya baik sebelum maupun sesudahnya.

Munculnya banyak ahli Nahwu di Basra tidak dapat dilepaskan dari peranan al-Madrasah al-Basriyyah ( Madrasah khusus yang dibentuk untuk membina kader nahwu di Basra) yang didirikan pada masa al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Dari Madrasah ini lahir beberapa ulama terkenal lainnya seperti al-Akhfasi al-Awsat, al-Mazini dan al-Kisa’i.

Di kufah ilmu Nahwu ini berkembang melalui Ja’far ar-Ruwaisi dan Mu’az al-Harra’. Ar-Ruwaisi belajar Nahwu di Basra dari Isa Ibnu Umar dan Abu Amr bin al-Alai. Untuk pegangan murid-muridnya Ar-Ruwaisi menulis sebuah buku Nahwu dengan judul Al Faisal.

83 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
KeislamanNgaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Tentang Iman dan Pengetahuan

2 Mins read
Meskipun ngaji kitab akidah atau ilmu kalam begitu sangat penting (terutama bagi peng-ikhtisar), akan tetapi tidak semua orang menganggapnya penting, hanya beberapa…
KeislamanTokoh

Sibawaih Pemimpin Ilmu Nahu

4 Mins read
Kuliahalislam.com-Sibawaih lahir di al-Baidha’, Ustukhar, Persia tahun 137-177 Hijriah. Nama lengkapnya adalah Abu Basyar Amr bin Usman bin Qanbar. Nama Sibawaih sendiri…
KeislamanNgaji Jawahirul Qur’an

Gus Ulil Ngaji Jawahirul Qur’an: Mengarungi Samudera Ketuhanan

2 Mins read
Salah satu ilmu yang terkandung di dalam al-Qur’an adalah ilmu lubab (ilmu bagian dalam). Di dalamnya, ilmu lubab ini menjelaskan bahwa ilmu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights