Penulis: Nahel Azizi Santosa*
Alqur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW sebagai rasul terakhir melalui perantara malaikat Jibril, yang tepercaya dijadikan sebagai pedoman hidup bagi umat manusia.
Serta siapapun yang membacanya adalah ibadah. Selain berisi petunjuk tentang hubungan manusia dan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.
Namun, Alqur’an tidak hanya menjadi sumber hukum utama umat Islam, tetapi juga membuat segala sesuatu yang bersanding dengan Alqur’an menjadi utama.
Nabi Muhammad SAW menjadi nabi utama karena Alqur’an diwahyukan kepadanya. Malaikat Jibril menjadi malaikat utama karena bertugas menurunkan Alqur’an kepada Nabi Muhammad SAW.
Bulan Ramadan menjadi bulan utama karena waktu diturunkannya Alqur’an pertama kali. Maka, jika kita ingin menjadi manusia yang terpuji satu-satunya cara ialah selalu sibuk bersanding dengan Alqur’an. Jika tak bisa mengamalkannya dalam sehari-hari, paling tidak memahaminya terlebih dahulu.
Untuk dapat memahami kandungan ayat Alqur’an dengan sebaik-baiknya, bahkan hanya untuk sekadar menerjemahkannya, diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan yang disebut dengan istilah ‘ulum Alqur’an. Sebagaimana yang diketahui, Alqur’an diturunkan oleh Allah dengan bahasa Arab.
Namun, bukan berarti bahwa semua orang Arab atau orang yang fasih dalam Bahasa Arab bisa memahami Alqur’an beserta maknanya.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ‘ulum Alqur’an ini dimulai sejak masa Rasulullah masih hidup, di mana umat Islam yang hidup pada masa itu sudah mengenal dasar-dasar ‘ulum Alqur’an.
Namun, pada saat itu masih belum dibukukan. Menurut Ahmad Amin (1975) para sahabat tidak mampu memahami atau menafsirkan ayat Alqur’an hanya dengan mendengarkannya langsung dari Nabi Muhammad SAW.
Pada masa Nabi Muhammad, para sahabat ketika kebingungan menafsirkan kandungan isi Alqur’an mereka dapat langsung bertanya pada nabi yang sangat memahami isi kandungan Alqur’an.
Pada masa itulah benih-benih ‘ulum Alqur’an muncul pada generasi awal. Kemudian dikembangkan dan diperluas oleh para ulama sesudahnya.
Perkembangan ‘ulum Alqur’an berlanjut hingga kini seiring dengan kebutuhan umat Islam pada setiap zaman. Kesungguhan para ulama dalam mengkaji berbagai kandungan ayat Alqur’an mempermudah dalam menafsirkan Alqur’an.
Saat ini ‘ulum Alqur’an sudah diperluas hingga memiliki berbagai cabang keilmuan sendiri. Dengan demikian ‘Ulum Alqur’an memiliki hubungan yang sangat erat dengan tafsir.
Sebab tanpa adanya penguasaan ‘ulum Alqur’an yang baik maka seseorang tidak dapat memberi suatu penafsiran terhadap ayat Alqur’an. ‘ulum Alqur’an sangat penting bagi seseorang yang ingin membuat syarah atau menafsirkan secara tepat dan bisa dipertanggung jawabkan.
Sebab, jika hanya mengandalkan terjemahan, bukan tafsir, risikonya bukan hanya tak paham, tetapi salah paham. Misal, dalam surah at-Taubah ayat 5 Allah berfirman: “bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka. Kepunglah mereka dan intailahdi tempat pengintaian.”
Jika hanya melihat teks terjemahan ketika bertemu orang-orang non-Muslim, kita langsung menganggap mereka halal untuk dibunuh. Padahal sebab turun (asbabun nuzul) ayat itu adalah tentang pelanggaran perjanjian damai yang dilakukan oleh kaum musyrikin di Madinah pada saat bulan Muharam (bulan umat Islam dilarang berperang).
Setelah bulan Muharam lewat turunlah ayat ini mengizinkan umat Islam untuk berperang jika mereka dikhianati. Menurut Muhammad Sayyid Thantawi dalam Tafsir Al Wasith, yang dimaksud musyrikin dalam ayat itu adalah kelompok yang melanggar perjanjian damai.
Sedangkan yang tidak melanggar perjanjian damai tetap tidak boleh diganggu. Begitu juga kalimat faqtuluhu (maka bunuhlah) dalam ayat itu, menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah bukanlah perintah yang wajib dilakukan melainkan hanya izin untuk membunuh.
Perintah ayat tersebut tidak lain hanyalah untuk membebaskan wilayah Makkah dan sekitarnya dari pengaruh kemusyrikan.
Lalu contoh lain ketika Alqur’an memerintahkan kita salat, Alqur’an tak membahas bagaimana kita salat. Tidak akan pernah tahu cara salat jika kita tidak melihat Hadis Nabi. Nabi bersabda, “Salatlah kalian sebagaimana aku (Nabi) salat.”
Alqur’an begitu mulia, sehingga tak akan bisa dipahami kecuali oleh orang yang juga mulia. Karenanya, Alqur’an bisa dipahami melalui orang yang menerimanya, yaitu Nabi Muhammad SAW yang paling tahu tentang Alqur’an itu sendiri.
Nabi Muhammad SAW adalah Alqur’an yang berjalan. Jika kita ingin memahami dan menerapkan Alqur’an, maka kita harus dekat dengan Nabi Muhammad SAW dengan sering bersalawat kepadanya, harus menyandingkan diri dengan Alqur’an dan Sunah.
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.