KULIAHALISLAM.COM – Imam Syafi’ lahir di Gaza, Palestina tahun 150 H/767 Masehi dan wafat di Fustat, Cairo tahun 204 H/20 Januari 820 M. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris Ay-Syafi’i.Ia sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah.
Setelah menjadi ulama besar, ia dikenal dengan nama Imam Syafi’I dan Mazhabnya disebut mazhab Syafi’i. Kata Syafi’I dinisbatkan kepada nama kakenya yang ketiga yaitu Syafi’i bin as-Sa’ib. Ayahnya bernama Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin as-Sa’ib bin Abid bin Abd Manaf, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah bin al-Hasan bin Husein bin Ali bin Abu Thalib.
Nasab Imam Syafi’i
Dari garis keturunan ayahnya ia bersambung nasab dengan Nabi Muhammad Shallallahu alahi wasallam melalui Abd Manaf (Kakek Nabi yang ketiga) sedangkan dari pihak ibunya, ia cicit dari Ali bin Abu Thalib. Kedua orangtua Imam Syafi’i dari keturunan suku Quarisy. Kedua orangtuanya meninggalkan Mekah menuju Gaza di Palestina, ketika ia masih dalam kandungan. Tidak beberapa lama setelah tiba di Gaza, ayahnya sakit dan meninggal dunia. Imam Syafi’i dilahirkan dalam keadaan yatim. Imam Syafi’i dilahirkan bertepatan dengan wafatnya Ulama besar Imam Abu Hanifah di Baghadad (Irak).
Imam Syafi’I dibesarkan dan diasuh oleh ibunya sendiri dalam kehiduphan yang sederhana bahkan banyak menderita kesulitan. Setelah Imam Syafi’I berusia dua tahun, ibunya membawanya pulang ke Mekah. Di Mekah, Imam Syafi’I tumbuh dan dibesarkan. Pendidikan Imam Syafi’I dimulai dari belajar membaca Al-Qur’an. Sejak kecil, ia memiki daya ingat dan hafalan yang luar biasa. Dalam usia 9 tahun, Imam Syafi’I telah menghafal isi Al-Qur’an dengan lancar. Setelah menghafal seluruh isi Al-Qur’an, ia pergi Dusun Badui, Banu Hudail untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih.
Di sana,selama bertahun-tahun Imam Syafi’I mendalami bahasa Arab yang asli, kesusasteraan dan adat istiadat bangsa Arab. Berkat ketekunan dan kesungguhanya, ia dikenal sangat ahli dalam bahasa Arab dan kesusateraan, mahir dalam membuat syair, serta mendalami adat istiadat Arab yang asli. Imam Syafi’i kembali ke Mekah dan belajar ilmu fiqih pada Imam Muslim bin Khalid Bin az-Zanni, seorang ulama besar dan Mufi kota Mekah sampai memperoleh ijazah berhak mengajar dan memberi fatwa. Selain itu, Imam Syafi’i juga mempelajari berbagai cabang ilmu agama lainnya seperti ilmu hadits dan ilmu Al-Qur’an. Untuk ilmu Hadis Qomariyah berguru pada ulama hadis terkenal di zaman itu yaitu Imam Sufyan bin Uyainah, Sedangkan untuk ilmu Alquran pada ulama besar Imam Isma’il bin Qostantin.
Di samping cerdas, Imam Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam belajar. Pada usia 10 tahun dia sudah membaca seluruh isi kitab hadis Al Muwatta kalangan Imam Malik dan pada usia 15 tahun telah menduduki kursi Mufti di Mekkah. Selama menuntut ilmu, Imam Syafi’i hidup sebagai kekurangan dan penuh penderitaan. Diriwayatkan bahwa karena kemiskinan dan ketidakmampuannya dia terpaksa mengumpulkan kertas-kertas bekas dari kantor-kantor pemerintahan atau tulang-tulang sebagai alat untuk mencatat pelajarannya.
Imam Syafi’i Berguru Kepada Imam Malik
Setelah menghafal isi kitab Al Muwatta, Imam Syafi’i sangat berkeinginan untuk menemui penulisnya yaitu Imam Malik sekaligus memperdalam ilmu fiqih yang amat diminatinya. Imam Syafi’i meminta izin kepada gurunya di Mekah, lalu Imam Syafi’i berangkat ke Madinah tempat Imam Malik berada. Diceritakan bahwa dalam perjalanan antara Mekah dan Madinah yang ditempuh selama 8 hari, Imam Syafi’i sempat menghatamkan Al-Qur’an sebanyak 16 kali. Setibanya di Madinah, dia lalu salat di Masjid Nabawi, menziarahi
makam Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam kemudian menemui Imam Malik.
Selama di Madinah, Imam Syafi’i tinggal di rumah gurunya yaitu Imam Malik. Imam Syafi’i sangat dikasihi oleh gurunya itu dan kepadanya diserahi tugas mendiktikan isi kitab Al Muwatta kepada murid-murid Imam Malik. Imam Syafi’i adalah profil ulama yang tidak pernah puas dalam menuntut ilmu. Semakin banyak ia menuntut ilmu semakin dirasanya banyak yang tidak diketahuinya.
Pengembaraan Imam Syafi’i Menuntut Ilmu
Imam Syafi’i kemudian meninggalkan Madinah menuju Irak untuk berguru pada ulama besar di sana, antara lain Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan. Keduanya merupakan sahabat Imam Abu Hanifah. Dari keduanya Imam Syafi’i memperoleh pengetahuan yang lebih luas mengenai cara Hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara memberikan fatwa, cara menjatuhkan hukuman dan berbagai metode yang diterapkan oleh para Mufti di sana yang tidak pernah dilihatnya di Hedzjaz.
Setelah 2 tahun di Irak, Imam Syafi’i melanjutkan perjalanannya ke Persia lalu ke Hirrah dan Ramlah (Palestina) dengan tujuan untuk menuntut ilmu pada ulama-ulama terkemuka dan mencari pengalaman. Dari Ramlah, dia kembali ke Madinah dan tinggal di sana bersama Imam Malik kurang lebih 4 tahun sampai wafatnya Imam Malik.
Sebagai pecinta ilmu, Imam Syafi’i mempunyai banyak guru. Begitu banyaknya guru Imam Syafi’i sehingga Imam Ibnu Hajar Asqalani menyusun suatu buku yang khusus bernama Tawali at Ta’sis yang didalamnya disebut nama-nama ulama yang pernah menjadi guru Imam Syafi’i antara lain Imam Muslim bin Khalid, Imam Ibrahim bin Sa’id, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Malik bin Anas, Imam Ibrahim bin Muhamad, Imam Yahya bin Hasa, Imam Waqi’, Imam Fudail bin Iyad dan Imam Muhammad bin Syafi’i.
Aktivitasnya dalam bidang pendidikan dimulai dengan mengajar di Madinah dan menjadi asisten Imam Malik. Waktu itu usianya sekitar 29 tahun. Sebagai ulama Fiqih namanya mulai dikenal, muridnya pun berdatangan dari berbagai wilayah Islam. Selain sebagai ulama ahli fikih dia pun dikenal sebagai ulama ahli hadits, tafsir, bahasa dan kesusastraan Arab, ilmu Falak, ilmu ushul fiqih, dan ilmu tarikh serta ilmu Kiraah. Ia sangat menguasai dalam melagukan ayat-ayat Al-Qur’an. Suaranya yang bagus dan bahasanya yang pasih membuat setiap orang mau yang mendengar bacaannya.
Imam Syafi’i kemudian pindah Ke Yaman atas undangan Abdullah Bin Hasan, Wali negeri Yaman. Di sana dia diangkat sebagai penasihat khusus dalam bidang hukum, di samping tetap melanjutkan karirnya sebagai guru. Oleh Wali negeri Yaman, Imam Syafi’i dinikahkan dengan seorang putri bangsawan bernama Siti Hamidah binti Nafi’ (Cicit Usman bin Affan). Pernikahannya ini dianugerahi tiga anak yaitu Abdullah, Fatimah dan Zainab. Pada waktu itu orang-orang syiah di Yaman sedang melangsungkan kegiatannya dengan gencarnya.
Syiah dianggap sebagai kelompok oposisi yang akan menjatuhkan pemerintahan resmi di Baghdad. Imam Syafi’i diturun terlibat dalam aktivitas Syiah dan atas tuduhan itu dia ditangkap dan dibawa ke Baghdad menghadap ke khalifah Harun ar-Rasyid. Setelah diketahui tidak ada bukti ia bersalah,dia dibebaskan bahkan khalifah merasa kagum terhadapnya. Selama di Baghdad, Imam Syafi’i diminta mengajar dan orang-orang Baghdad pun banyak yang belajar kepada Imam Syafi’i.
Pada tahun 181 Hijriyah atau 797 masehi, Imam Syafi’i kembali mengajar ke Mekah. Selama 17 tahun di Mekkah Imam Syafi’i mengajarkan berbagai macam ilmu agama terutama kepada para jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia Islam. Di samping mengajar, dia pun banyak menulis terutama mengenai masalah fiqih. Selanjutnya pada tahun 198 H/813 M, Imam Syafi’i pergi ke Baghdad yaitu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M).
Sesampainya di sana Imam Syafi’i disambut oleh ulama dan pemuka Baghdad yang telah lama merindukan kedatangannya. Imam Syafi’i diberi tempat mengajar di dalam Masjid Baghdad. Mulanya disitu ada 20 halaqah (kelompok belajar), tetapi setelah Imam Syafi’i datang hanya tinggal 3 halaqah, yang lainnya menggabungkan diri ke dalam halaqah Imam Syafi’i.
Belum cukup setahun mengajar di Baghdad, Imam Syafi’i diminta oleh Wali negeri Mesir yaitu Abbas bin Musa untuk pindah ke Mesir. Dengan rasa berat Imam Syafi’i meninggalkan murid-muridnya di kota Baghdad menuju Mesir. Di Mesir, Imam Syafi’i memberi pengajaran di Masjid Amar bin Ash. Imam Syafi’i biasa mengajar mulai pagi hingga sampai Zuhur. Setelah salat zuhur barulah ia pulang. Pada malam hari Imam Syafi’i memberikan pelajaran di rumahnya.
Di Mesir Imam Syafi’i menyelesaikan beberapa buah buku. Pikiran-pikiran dan hasil ijtihadnya Selamat tinggal di Mesir inilah yang kemudian dikenal sebagai pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang baru (Al-Qaul al-Jadid) sedangkan pikiran-pikiran dan hasil ijtihad sebelumnya dikenal dengan sebutan Al Qaul al-Qadim, pendapat Imam Syafi’i yang lama. Imam Syafi’i adalah sosok ulama yang Zuhud. Pakaian dan tempat tinggalnya sederhana.
Dia tidak suka makan banyak dan menurut pengakuannya sejak kecil dia sudah terbiasa tidak makan sampai kenyang karena kekenyangan membuat tubuh menjadi malas, membuat hati menjadi beku dan membuat pikiran jadi tumpul. Orang kenyang enggan beribadah kepada Allah. Walaupun dalam sebuah kekurangan, Imam Syafi’i sangat dermawan. Setiap kali menerima hadiah berupa uang dan harta lainnya dia tidak pernah menyimpannya di rumahnya melainkan segala dibagikan kepada fakir miskin dan orang-orang membutuhkan.
Imam Syafi’i juga terkenal dalam ketaatannya dan ketakwaannya kepada Allah. Ada banyak pengakuan ulama mengenai dirinya antara lain dari Imam ar-Rabi’bin Sulaiman al-Marawi yang mengatakan bahwa “Imam Syafi’i menggunakan sebagian besar waktunya di malam hari untuk salat dan menghatamkan Al-Qur’an terutama di bulan Ramadan dia bisa menghatamkan bacaan Al-Qur’an sampai 60 kali“. Pengakuan yang sama disampaikan oleh Imam Husein Al Karabisi yang menyatakan bahwa “Saya sering bermalam di rumah Imam Syafi’i dan menyaksikannya setiap malam menghabiskan sepertiga waktunya di akhir malam untuk salat dan menghatamkan Al-Qur’an”.
Imam Syafi’i Pembela Sunnah Nabi
Imam Syafi’i digelari Nasir as-Sunnah hatinya pembela sunnah atau hadits karena sangat menjunjung tinggi sunnah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sebagaimana dia sangat memuliakan para ahli hadits. Ulama besar Abdul Halim Al Jundi menulis buku berjudul Al-Imam asy-Syafi’i, Nasir as-Sunnah wa Wadi al-Usul (Imam Syafi’i, Pembela Sunah dan Pelatak Dasar Ilmu Ushul Fikih). Di dalamnya diuraikan secara rinci bagaimana sikap dan pembelaan Imam Syafi’i terhadap sunnah. Intinya adalah bahwa Imam Syafi’i sangat mengutamakan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dalam melandasi pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya.
Karena sangat mengutamakan Sunnah, Imam Syafi’i menjadi sangat berhati-hati dalam menggunakan qiyas. Menurutnya Qias hanya dapat digunakan dalam keadaan terpaksa itu dalam masalah mu’amalah (kemasyarakatan) yang tidak didapati teksnya (nas) secara pasti dan jelas di dalam Al-Qur’an atau hadis sahih atau tidak dijumpainya Ijmak Sahabat. Qias sama sekali tidak dikenalkan dalam urusan ibadah karena segala yang menyangkut ibadah sudah ada nasinya dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Dalam penggunaan qiyas, Imam Syafi’i menegaskan bahwa diperhatikan atas Al-Qur’an dan Sunnah yang telah ada.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa bidah ada dua macam yaitu bidah yang terpuji dan bidah sesat. Dikatakan terpuji jika bidah itu selaras dengan prinsip-prinsip sunnah sebaliknya jika bertentangan dengannya dikatakan bidah sesat. Mengenai Taklid, Imam Syafi’i selalu memberikan perhatian kepada murid-muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. Dia tidak senang melihat murid-muridnya bertaklid buta kepada perkataan-perkataannya. Sebaliknya Dia menyuruh murid-muridnya untuk bersikap kritis dan berhati-hati dalam menerima suatu pendapat.
Dalam mengistinbatkan (mengambil dan menetapkan suatu hukum), Imam Syafi’i dalam bukunya Ar-Risalah menjelaskan bahwa ia memakai lima dasar yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak, Qias dan Istidlal (penalaran). Kelima dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai dasar-dasar mazhab Imam Syafi’i. Dasar pertama dan utama dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur’an.
Imam Syafi’i terlebih dahulu melihat makna Lafzi (perkataan) Al-Qur’an. Kalau satu masalah tidak menghendaki makna Lafzi barulah mengambil makna Majazi (kiasan). Kalau dalam Al-Qur’an tidak ditemukan hukum-hukumnya, dia beralih kepada sunnah Nabi. Dalam hal Sunnah, Imam Syafi’i juga memakai hadis ahad (perawinya satu orang) di samping Mutawattir (perawinya banyak orang), selama hadis ahad itu mencukupi syarat-syaratnya.
Jika di dalam sunnah pun belum dijumpai nasnya, dia mengambil ijmak sahabat. Setelah mencari dalam ijmak sahabat dan tidak juga ditemukan ketentuan hukumnya bahwa Ia melakukan qiyas. Apabila dia tidak menjumpai dalil dari ijma‘ dan qiyas, dia memilih Jalan Istidlal yaitu menetapkan hukum berdasarkan kaidah-kaidah umum agama Islam.
Sebagai ulama yang tempat mengajarnya berpindah-pindah, Imam Syafi’i mempunyai ribuan murid yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam diantaranya adalah Imam Ahmad bin Hanba, ar-Rabi’bin Sulaiman al-Marawi, Yusuf bin Yahya al-Buwaiti.
Imam Syafi’i adalah ulama yang tekun dalam menulis. Tulisan yang sampai kepada kita antara lain adalah kitab Ar-Risalah yang merupakan kitab khusus membahas tentang ushul fiqih dan merupakan buku pertama yang ditulis ulama dalam bidang ushul fiqih. Kemudian kitab Al-Umm, yang merupakan kitab fiqih yang komprehensif.
Kitab ini terdiri atas 7 jilid dan mencakup isi beberapa kitab Imam Syafi’i yang lain seperti Syiar al-Ausa’i, Jima’ al-Ilm, Ibtal al-Istihsan, Ar-Radd ‘Ala Muhammad bin Hasan. Kemudian, Imam Syafi’i juga menulis Kitab Musnad yang berisi hadis-hadis Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang dihimpun dari kitab Al-Umm. Selanjutnya, Imam Syafi’i juga menulis Kitab Ikhtilaf al-Hadis yang merupakan suatu Kitab Hadis yang menguraikan pendapat imam Syafi’i mengenai perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam hadis. Terdapat pula buku-buku yang memuat ide-ide dan pemikiran Imam Syafi’i tetapi ditulis oleh murid-muridnya.
Sumber : Ensiklopedia Islam
1 Comment