Para pakar berpendapat bahwa bangsa
Ibrani berasal dari keluarga Nabi Ibrahim namun dari mana bangsa Ibrani muncul
masih terjadi perbedaan pendapat ahli. Dr. Israel Willvinson berpendapat “Kemungkinan
Nabi Ibrahim itu berasal dari keturunan salah seorang leluhurnya di zaman purba
yang dikenal dengan nama “Ibri” dan kalimat “Ibri” berasal dari “Abra” yang
artinya berpindah-pindah tempat”. Jadi, kalimat Ibri sama pengertiannya
dengan orang Badui penghuni padang pasir yang berpindah-pindah tempat.
Dr. Gustav Le Bon dalam bukunya “ Al-Yahudi
Fi Tarikhil Khadharat al Ula” menyatakan orang-orang Ibri berasal dari
keturunan darah semetik yang berhubungan nasab dengan orang-orang Asyur dan
Arab. Negeri Arab bagian Tengah dan Utara merupakan tempat berdomisilinya
orang-orang Semetik ini. Orang-orang Semetik yang tetap tinggal di Arab menjadi
nenek moyang bangsa Arab sedangkan orang-orang Semetik yang meninggalkan lokasi
mereka di Hulu Sungai Eufrat dan berkembang di Asia dan Palestina, mereka ini
adalah nenek moyang orang-orang Asyhur dan Israel.
Dr. Isarel Wilvinson dalam bukunya “Tarikh
Al-Lugat as-Samiah” menyatakan bahwa orang-orang Kan’an di Mesir dan
Palestina menamakan orang-orang Bani Israel sebagai orang-orang Ibri karena
mereka tinggal di padang pasir secara berpibdah-pindah tempat. Lama kelamaan
orang Ibri lebih suka dipanggil “Bani Isreal” karena istilah Ibri
mengingatkan mereka pada kehidupan Badui yang liar dan kasar di padang pasir.
J.W.D Smith dalam karyanya “ God
and Man Early” berpendapat bahwa orang-orang Arab yang hidup zaman ini,
postur tubuhnya mirip dengan postur tubuh orang-orang dari keturunan Semetik
Purba. Sedangkan orang-orang Yahudi karena erat berhubungan dengan orang-orang Hittie
di Asia Minor maka postur tubuhnya yang semetik menghilang.
Ketua orang-orang Simetik yang masuk
ke Palestina melalui Irak itulah Nabi Ibrahim al Khalil bin Tarih. Ia
dibesarkan di kota Aur Kaldan. Nabi Ibrahim tidak menyukai ayahnya dan sangat
benci melihat perbuatan kaumnya yang menyembah Berhala. Akhirnya Nabi Ibrahim dan
istrinya Sarah pindah ke tempat saudaranya, Nabi Luth.
J.W.D Smith berkata bahwa penduduk Kan’an
menyebut Nabi Ibrahim dan pengikutnya dengan nama orang-orang Ibri karena
mereka datang menyebrangi Sungai Eufrat. Tempat terakhir pengembaraan Nabi
Ibrahim adalah Kan’an sekitar tahun 1750 Sebelum Masehi. Di Kan’an, Nabi
Ibrahim dan pengikutnya hidup dengan makmur karena Kan’an tanah yang subur.
Dr. Fuad Hasanain dalam bukunya “ At-Taurat”
berkata, orang-orang Ibri terdiri dari
kaum Badui yang tidak punya latar belakang pendidikan tetapi mereka tinggal di
lingkungan orang-orang yang mempunyai sejarah dan peradaban. Mereka suka hidup
mengisolir sehingga sulit hidup dalam satu masyarakat.
Sikap mengisolir mereka banyak
menimbulkan insiden berbahaya karena memandang bangsa lain sebagai musuh.
Charles Kent dalam bukunya “ A History of The Hebrew People” berkata,
perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa orang-orang Ibri itu terasa selalu
dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang memusuhinya, seolah-oleh mereka bulatan api
yang tidak memberikan peluang kepada mereka untuk melarikan diri.
Bahasa Ibrani
Orang-orang Ibrani telah melakukan
pengembaraan dari kota Aur Kaldan menuju Kan’an dalam priode yang panjang
sehingga bahasa mereka merupakan campuran dari kalimat-kalimat daerah dan
bangsa yang mereka kunjungi. Bahasa mereka baru berkembang dan dikenal tahun
1.400 SM namun tahun 200 SM, bahasa ini kehilangan pengaruhnya sehingga bahasa
Ibrani hanya bertahan 1000 tahun saja.
Walaupun bahasa Ibrani telah
kehilngan pengaruhnya namun bahasa Ibrani masih digunakan sebagai bahasa
sehari-hari orang-orang Israel dan digunakan pemuka-pemuka agama dalam
buku-buku agama mereka. Bahasa Ibrani mengalami kehilangan pengeruhnya karena
digantikan bahasa Aramik yang berkembang di Irak, Syria dan Palestina. Dan
bahasa Aramik pada periode selanjutnya pudar akibat bahasa Yunani juga berkembang pesat bahkan
dalam kitab suci seperti “The New Testament” awalnya ditulis dalam bahasa
Yunani, kecuali kitab Injil Matta yang
awalnya ditulis dalam bahasa Aramik.
Sumber : Prof. Dr. Ahmad Shalaby
dalam buku “Agama Yahudi”, diterbitkan Bumi Aksara