Oleh: Adi Amar Haikal Husin
Alquran, sebagai kitab suci umat agama Islam, diyakini sebagai Firman Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi. Di sini, Dr. Mustafa Shah menjelaskan konteks historis dari pewahyuannya, transmisi dan kodifikasinya serta warisan spiritualnya yang sama dengan agama-agama utama Ibrahim lainnya.
Alqur’an dibawakan dalam bahasa Arab, dan juga dipercayai bahwa Alqur’an mengabadikan firman Tuhan secara literal dan diturunkan kepada Muhammad oleh Malaikat Jibril. Konteks sejarah kemunculan Islam adalah abad ke-7 M, yang dimana Nabi Muhammad adalah seorang saudagar yang lahir di kota Mekkah, di wilayah barat Jazirah Arab.
Mekkah juga tempat yang suci yang harus dihormati, dan juga ada Ka’bah, yakni sebuah bangunan berbentuk kubus di jantung tempat suci Mekah, yang menurut Alqur’an dibangun oleh Ibrahim dan putranya Ismail untuk menyembah satu Tuhan yang benar (QS. Al-Baqarah 2 : 127).
Menurut catatan tradisional, Muhammad lahir dari suku bangsawan Mekkah yang dikenal sebagai suku Quraisy. Mereka adalah pedagang dan penjaga kuil yang didambakan di kota itu.
Era pra-Islam digambarkan dalam sumber-sumber Islam tradisional sebagai ‘zaman kebodohan’ (jahiliyyah). Agama pada waktu itu didominasi oleh kultus politeisme, dan di antara festival keagamaan utama yang dirayakan di Arab pra-Islam adalah ziarah tahunan (haji) ke Ka’bah.
Meskipun orang Arab percaya pada keberadaan zat tertinggi yang menopang alam semesta, yakni Allah, mereka juga menyembah dewa dan berhala yang lebih rendah dan meminta perantaraan mereka.
Sumber-sumber sastra Islam mengisyaratkan bahwa pada usia Nabi memasuki umur empat puluh tahun, ketika diasingkan di sebuah gua di pinggiran Mekkah, ayat-ayat pertama Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad oleh Malaikat Jibril, sehingga menandai awal panggilannya untuk kenabian.
Para ulama membagi sejarah turunnya Alqur’an dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah (ayat-ayat makkiyyah); dan (2) periode sesudah hijrah (ayat-ayat madaniyyah),
Periode pertama yakni pada permulaan turunnya wahyu yang pertama yakni Surah Al-Alaq ayat 1-5, ketika Nabi Muhammad SAW belum diangkat menjadi Rasul, dan hanya berperan sebagai nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya.
Sampai pada turunnya wahyu yang kedua barulah Muhammad diperintahkan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah: “Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan.” (QS. 74: 1-2).
Kemudian sesudah itu, kandungan wahyu ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw, dalam membentuk kepribadiannya (QS. Al-Muddatsir [74]: 1-7). Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai Ketuhanan (QS. Al-A’la [87] dan Al-Ikhlash [112]. Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiyah, serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliah ketika itu.
Dapat dilihat, misal dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma’un yang menerangkan kewajiban terhadap fakir-miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong.
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 dan telah reaksi menimbulkan dikalangan tahun bermacam-macam masyarakat Arab ketika itu. Reaksi- reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok: Pertama, Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran- ajaran Al-Qur’an.
Kedua, Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Qur’an, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan:
“Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan Nubuwwah, kemuliaan apalagi yang tinggal untuk kami.” Ketiga, dakwah Al-Qur’an mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah lainnya.
Periode kedua, sejarah turunnya Al-Qur’an pada periode kedua terjadi selama 8-9 tahun, pada masa ini terjadi pertikaian dahsyat antara kelompok Islam dan Jahiliah. Kelompok oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara untuk menghalangi kemajuan dakwah Islam.
Pada masa itu, ayat-ayat Al-Qur’an di satu pihak, silih berganti turun menerangkan kewajiban- kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika itu (QS. An-Nahl [16]: 125). Sementara di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran (QS. 41: 13). Selain itu, turun juga ayat-ayat mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat (QS. Yasin [36]: 78-82).
Di sini terbukti bahwa ayat-ayat Al- Qur’an telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.
Editor: Adis Setiawan