KULIAHALISLAM.COM – Sejarawan Islam terkenal Indonesia yakni H.M.H Al-Hamid al-Husaini dalam bukunya yang sangat langka dan terkenal : Rumah Tangga Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam memaparkan sejarah rumah tangga Nabi dengan Saudah binti Jam’ah.
Siapakah Pengganti Sayyidah Khadijah yang Tepat Untuk Menikah Dengan Nabi ?
Sepeninggal istri Nabi yakni Khadijah binti Khuailid radhiyallahu Anhu tambah hari tambah berat beban yang terpikul di atas pundak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Setiap malam makin bertambah gelap makin banyak kenangan yang terlintas dalam pikiran beliau, kesendiriannya ditinggal wafat seorang ibu rumah tangga, seorang pendamping setia dalam tugas mendakwahkan Islam, dan seorang teman hidup yang sejati dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah di muka bumi ini, membuat beliau kesepian.
Dalam suasana merasa kesepian, duka cita dan kesedihan seperti itu beberapa sahabat terdekat turut merasa iba serta berharap agar beliau menikah lagi dengan wanita lain.
Mereka berpikir, hanya dengan cara demikian itu kesepian nabi dapat di atasi dan kesedihan nabi pun akan berkurang akan tetapi tidak seorangpun di antara mereka itu yang berani menyarankan hal itu pada saat-saat beliau masih dalam suasana berkabung.
Mereka menunggu kesempatan baik untuk menyampaikan harapan seperti itu kepada nabi. Pada suatu hari seorang wanita yang dekat dengan Khadijah bernama Khaulah binti Hakim Salamiyah datang kepada Nabi.
Dengan lemah lembut dan himbauan baik ia berusaha membuka pembicaraan mengenai kemungkinan beliau bersedia menikah lagi dengan wanita lain.
Ia bertanya : Iya Rasulullah, kulihat Anda sangat kesepian ditinggal wafat Khadijah”. Nabi menjawab : “Tentu, karena dia lah ibu rumah tangga pengatur kehidupan keluargaku sehari-hari.”
Khaulah diam sejenak sambil mengarahkan pandangan mata ke arah lain seolah-olah Sedang berpikir. Kemudian, ia menatap wajah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan secara langsung menyarankan agar beliau menikah lagi.
Nabi tertegun tidak segera menjawab, asik mendengarkan bisikan hatinya tentang kenangan indah cinta yang telah tiada. Beliau teringat akan peristiwa seperempat abad silam ketika Nafisah binti Munayah datang kepadanya menghimbau beliau nikah dengan Khadijah binti Kwailid radhiyallahu anhu.
Beberapa lama kemudian beliau dengan nada kesalnya bertanya, siapa sesudah Khadijah ? Khaulah yang memang sudah mengantongi jawaban segera menyahut : “Aisyah putri seorang sahabat yang paling Anda sayangi Ya Rasulullah.”
Mendengar nama sahabatnya disebut yakni Abu Bakar As Siddiq radhiyallahu Anhu beliau segera teringat, iya, sahabat itulah orang yang pertama beriman bersama-sama saudara sepupunya Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu Anhu dan Zaid bin Haritsah radhiyallahu anhu mereka itulah orang pertama yang beriman kepada nabi sesudah Khadijah radhiyallahu anhu para sahabat itulah yang bahu-membahu membantu nabi melaksanakan dakwah sejak detik pertama.
Abu Bakar As Siddiq radhiallahu anhu seorang sahabat yang dengan ikhlas mengorbankan hartanya bahkan selalu siap membela kebenaran Allah dan rasulnya dengan jiwa dan raga.
Teringat akan Abu Bakar As Siddiq beliau teringat juga kepada putrinya yang bernama Aisyah, seorang remaja putri yang berwajah manis, lembut dan ceria, seorang remaja yang dapat menghidupkan rasa keayahan yang penuh kasih sayang.
Berat rasanya nabi hendak menjawab ucapan Khaulah dengan kata tidak. Seumpama beliau hendak mengucapkan kata itu sebagai jawaban, mungkin tidak akan terucap juga.
Tawaran itu tentu sudah dibicarakan lebih dahulu oleh Khaulah dengan Abu Bakar As Siddiq, apakah patut kalau beliau menolak tawaran itu.
Persahabatan beliau dengan ayah gadis remaja itu sudah cukup lama, demikian juga keikhlasan dan kesetiaannya. Jarang sekali sahabat yang memperoleh kedudukan khusus di hati beliau seperti Abu Bakar As Siddiq radiallahu anhu, sahabat yang terpercaya itu melalui Khaulah menghendaki kesediaan beliau menikah dengan Aisyah.
Namun bukankah Aisyah itu belum dewasa ? Demikian kata Nabi kepada Khaulah, namun Khaulah tidak kurang akan dalam himbauannya. Khaulah berkata : Ya Rasulullah sekarang Anda lamar saja dulu kemudian tunggu sampai Aisyah dewasa.
Kalau beliau harus menunggu sekian lama 3 atau 4 tahun, lalu siapakah yang akan mengasuh putri-putri nabi yang ditinggal wafat oleh Khadijah, apakah Khaulah datang kepada beliau hanya untuk menawarkan calon istri yang harus ditunggu sekian lama.
Ternyata tidak ! Khaulah datang membawa nama dua calon untuk diajukan kepada Nabi. Selain Aisyah binti Abu Bakar As Siddiq radhiallahu Anhu yang masih remaja itu, ia juga mengajukan calon seorang janda bernama Saudah binti Jam’ah bin Qais bin Abdul Syams Bin Abdi Wudd Al-Amiriyyah dari Bani Amir.
Setelah beberapa saat berpikir pada akhirnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam minta kepada Khaulah supaya mewakili nabi melamar dan Saudah.
Khaulah pun pergi menemui Saudah. Khaulah berkata kepada Saudah : “Hai Saudah, sungguh Allah telah melimpahkan kebajikan dan keberkahan kepadamu.”
Saudah tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Khaulah, karena ia bertanya keheran-heranan, apa yang anda maksud ? Khaulah menjawab : Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengutusku datang kemari untuk menyampaikan lamarannya”.
Betapa terkejutnya Saudah mendengar hal itu. Iya, hampir tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Tampil keheran-heranan, ia mempersilahkan Khaulah membicarakan hal itu langsung dengan ayahnya.
Ayahnya Khaulah seorang sesudah berusia senja. Setelah menyampaikan salam hormat menurut tradisi, Khaulah berkata : Bahwa atas permintaan Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, Ia datang untuk melamar Saudah binti Jam’ah”.
Dengan dengan gembira Jam’ah menjawab : “Sungguh suatu kehormatan yang sangat besar, apa yang dikatakan Saudah mengenai hal itu?”.
Khaulah menjawab : “Saudah menerima baik lamaran Nabi atas dirinya”. Jam’ah lalu memanggil anaknya Saudah supaya menghadap kemudian bertanya :” Saudah, tahukah engkau bawa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib mengutus Khaulah datang kemari untuk melamar dirimu itu merupakan suatu kehormatan, Maukah engkau nikah dengan Nabi ? “.
Pertanyaan itu dijawab oleh Saudah bahwa Ia senang menerima lamaran tersebut dan bersedia menikah dengan Nabi.
Pertemuan itu disudahi dengan permintaan Jam’ah kepada Khaulah supaya menghadirkan Nabi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib Shallallahu Alaihi Wasallam untuk dinikahkan dengan Saudah.
Pernikahan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam Dengan Saudah
Penduduk Mekkah terkejut hebat mendengar berita bahwa Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam akan menikahi Saudah binti Jam’ah.
Berita seperti itu nyaris tidak dipercayai masyarakat Mekkah, apa maksud Muhammad melamar Saudah ? Mereka saling bertanya, Saudah seorang janda tua, tak ada lagi sisa kecantikannya.
Apakah wanita seperti itu akan menggantikan Khadijah, seorang wanita yang berkedudukan terhormat di tengah masyarakat Quraisy dan tidak sedikit pula tokoh-tokoh terpandang yang ingin mempersuntingnya, tetapi selalu ditolak?.
Tidak, Saudah binti Jama’ah tidak menggantikan Khadijah radhiallahu Anhu. Tidak ada wanita lain yang dapat menggantikan Khadijah.
Saudah binti Jam’ah bersedia menjadi istri Nabi karena tidak ada kehormatan bagi seorang wanita yang melebihi kehormatan istri Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Apalagi dengan pernikahannya itu ia akan dibawa oleh keringanan beban hidup sebagai janda, yang menghidupi anak-anaknya yang ditinggal suaminya bernama Sakran bin Abdusy-Syams bin Abdi Wudd Al Quraisiy Al-Amiriy.
Sakran adalah saudara sepupu Saudah sendiri. Ia seorang sahabat nabi yang beriman teguh dan gigih mempertahankan keislamannya dari penindasan serta pengejaran kaum Quraisy Mekah bersama sejumlah sahabat nabi yang lain terpaksa hijrah ke Habasyah ( Etopia ), tabah menghadapi berbagai kesulitan di negeri tersebut.
Pada suatu kesempatan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah menyebut delapan orang dari Bani Amir yang dengan kemantapan iman meninggalkan kampung halaman, berjalan kaki menelusuri Gurun Sahara dan mengarungi lautan berangkat Hijrah ke negeri asing untuk mempertahankan agama yang dipeluknya yakni Islam. Mereka menghindari penindasan kaum Musyrikin.
Di antara mereka itu terdapat Malik bin Jam’ah binti Qais bin Abdul Syams saudara laki-laki Saudah, Sakaran bin Ammar bin Abdul Syams yang merupakan suami Saudah yang juga saudara sepupunya, dua orang saudaranya yaitu Salith dan Hathib, dua anak laki-laki Amir bin Abdu Symas dan saudara sepupu Sakran bernama Abdullah bin Suhail bi Amr.
Tiga wanita yang ikut hijrah ke Habasyah dari Bani Amr adalah Saudah binti Jam’ah, Ummu Kaltsum binti Suhail dan Umarah binti Al-Wiqdam, semuanya cucu Abdu Syams.
Itulah tantangan berat yang dihadapi Saudah binti Jam’ah bersama suaminya. Nasib malang masih menimpanya dengan cobaan lebih berat. Sebelum kembali dari rantauan menginjakkan kaki ke Mekah lagi, suaminya meninggal dunia.
Begitu nama Sudah binti Jam’ah disebut oleh khaula, terbayang oleh Nabi penderitaan janda yang mulia itu dan seketika itu juga beliau menyambut baik tawaran pernikahan dengannya.
Selesai sesudah pernikahan Rasulullah dengan Saudah binti Jam’ah, Saudah telah menjadi salah satu seorang istri Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, salah seorang wanita termulia di dunia dan akhirat yang berhak menyandang kedudukan sebagai Ummul Mukminin (Ibu kaum beriman), terhadap suaminya ia benar-benar merasa dirinya terlampau rendah.
Perasaannya lebih parah lagi bila membandingkan dirinya dengan istri pertama rasulullah yang telah wafat yaitu Khadijah radhiyallahu Anhu atau Aisyah istri beliau yang masih remaja dan masih menunggu usia dewasa.
Dia saat memikirkan semuanya itu bumi yang diinjak oleh saudah sendiri, karena ia sungguh heran mengapa dirinya bahwa oleh kemuliaan setinggi itu akan tetapi ia seorang wanita yang rendah hati, tidak terkecoh oleh kedudukannya yang tinggi yang diperolehnya dari Rasulullah.
Ia menyadari bahwa dirinya yang sudah tua dan hati suaminya Muhammad terdapat dinding penyekat yang tak dapat di terobos. Sejak detik-detik pertama ia menjadi istri nabi ia memahami benar bahwa suaminya bukan seorang pria yang dapat dipisahkan dari kedudukannya sebagai Nabi dan Rasul.
Saudah tanpa bimbang meyakini bahwa bagian yang diterimanya dari Rasulullah adalah belas kasihan, bukan cinta sebagaimana yang biasa diperoleh seorang Istri dan suaminya, hal-hal seperti itu memang tidak pernah terpikirkan.
Ia puas dengan kebajikan suaminya yang telah mengangkat dirinya mencapai kedudukan mulia itu dari janda Sakran menjadi Ummul mukminin.
Ia puas tinggal di tengah keluarga Rasulullah mengurus rumah tangganya dan melayani serta membantu putra-putri Nabi. Bahkan ia justru merasa gembira jika melihat suaminya tertawa menyaksikan ia berjalan di depannya. Sebagaimana diberitakan dalam berbagai riwayat sejarah, Saudah radhiyallahu Anhu mempunyai badan gemuk dan tampak berat berjalan.
Namun ucapannya sering menimbulkan gelap tawa orang yang mendengarkannya. Saudah tetap tinggal bersama Rasulullah hingga saat kedatangan Aisyah binti Abu Bakar radhiallahu Anhu sebagai istri Pemuda Rasulullah.
Ia secara sukarela memberi tempat pertama kepada Aisyah itu dalam mengatur rumah tangga beliau. Dalam masa-masa berikutnya berdatangan lagi istri-istri nabi yang lain seperti Hafsah binti Umar Bin Khattab, Zainab binti jasi dan Ummu Salamah binti Abi Umayyah Al-Makhzumi, radhiallahu anhu.
Namun Saudah tetap lebih mengutamakan Aisyah daripada yang lain, tanpa menunjukkan perasaan tidak senang terhadap mereka yang selalu berusaha merebut hati Nabi.
Bagaimanapun beliau sebagai suami tetap mencurahkan kasih sayang kepada Saudah. Beliau bersikap Cermat dan hati-hati agar istri-istrinya itu tidak tersentuh perasaannya karena beroleh perlakuan tidak semestinya.
Sedapat mungkin Nabi berusaha menghangatkan hati Saudah. Pada suatu kesempatan nabi secara baik-baik dan lembut disertai rasa kasih sayang menawarkan talak atau perceraian kepada Saudah binti Jam’ah.
Itulah jalan satu-satunya untuk menjaga keadilan batin, kendati beliau sendiri tidak pernah mendengar atau melihat Saudah jengkel, mengeluh atau merajuk.
Betapa terkejutnya Saudah mendengar tawaran yang tidak pernah diduga-duga itu, dadanya Serasa sempit dan sulit bernapas. Dengan wajah layu ia menetapkan pandangannya kepada Rasulullah saya mengulurkan kedua tangan seolah-olah memohon pertolongan dari bencana yang amat besar itu.
Dengan hati iba Nabi menyambut uluran tangan istrinya itu, seakan-akan hendak dosa menghilangkan kecemasan istri tertua.
Saudah berkata kepada Nabi : “Janganlah Anda melepaskan diriku demi Allah, Sesungguhnya saya memang tidak ingin bersuami lagi. Saya bersedia menikah dengan anda karena saya ingin ada pada hari kiamat kelak Allah akan menghidupkan saya kembali sebagai istri Nabi”.
Seusai mengucapkan kata-kata tersebut Saudah diam, menunjukkan muka dan tampak amat sedih. Ia merasa telah memaksakan kepada suaminya sesuatu yang tidak disukainya.
Ia sangat berkeberatan menyetujui perceraian, karena ia saja telah rela dan ikhlas menyerahkan hidupnya kepada kepada Nabi. Pada mulanya Nabi mengira Saudah akan marah mendengar kata perceraian akan tetapi bukannya marah malah Saudah melainkan melepaskan kepentingan pribadinya demi keridhaan beliau.
Nabi tidak jadi menceraikan Saudah binti Jam’ah . Saudah hidup di tengah keluarga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam hingga saat beliau pulang ke hairbaan Allah.
Menurut beberapa sumber riwayat ia dikaruniai Allah, umur yang panjang dan baru meninggal dunia pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab radhiyallahu Anhu.
Ia wafat meninggalkan kenangan indah. Aisyah radhiyallahu Anhu banyak menyebut jasa-jasa dan kebaikan Saudah binti Jam’ah .Iya bersama Rasulullah berangkat ke Mekah dalam Haji Wada.
Ia bersama sejumlah wanita lain yang termasuk lemah merupakan orang yang merintis kemudahan-kemudahan tertentu seizin Rasulullah Dalam pelaksanaan manasik haji, seperti berangkat meninggalkan Muzdalifah, melempar Jumat sebelum fajar dan iftihadah ke Mekah, sekian.