Santri digital: dari kitab kuning ke cyber ethics. Di tengah hiruk pikuk dunia digital, ketika ruang publik dipenuhi hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi politik, kita seakan kehilangan kompas moral. Media sosial yang semula dijanjikan sebagai ruang demokrasi justru berubah menjadi arena konflik identitas dan banjir informasi palsu. Teknologi kecerdasan buatan melipatgandakan kecepatan produksi informasi, tapi sekaligus memperlebar jurang etika. Pertanyaannya di mana kita bisa belajar etika digital yang kokoh di tengah dunia maya yang rapuh?
Jawabannya bisa jadi datang dari tempat yang tidak disangka pesantren. Lebih tepatnya, dari lembaran kitab kuning yang selama ini dianggap kuno. Kitab tanpa harakat, berbahasa Arab padat, yang diwariskan ulama berabad-abad lalu. Dari teks itu, santri tidak hanya belajar fiqh dan tafsir, tetapi juga adab, tasawuf, dan sikap hidup yang menekankan keseimbangan (tawazun), toleransi (tasamuh), dan keadilan (i’tidal). Nilai-nilai itu, jika diterjemahkan ke dunia digital, bisa menjadi fondasi etika siber yang selama ini hilang.
Generasi digital terbiasa dengan fast content scroll cepat, video pendek, dan pesan instan. Kecepatan jadi ukuran, bukan kedalaman. Di sinilah kitab kuning menghadirkan antitesis. Membaca kitab kuning menuntut ketekunan, kesabaran, dan keterampilan analisis mendalam. Santri harus menelaah teks tanpa harakat, memahami gramatika, mengaitkan konteks, bahkan berdiskusi untuk menguji tafsir.
Proses itu bukan sekadar latihan akademis, tapi juga pendidikan etika membaca. Santri dilatih untuk tidak terburu-buru menyimpulkan, tidak asal mencomot potongan kalimat, dan tidak puas dengan pemahaman dangkal. Sifat ini sangat relevan untuk dunia digital hari ini, di mana jutaan orang jatuh pada jebakan clickbait dan potongan informasi tanpa konteks. Dengan kata lain, kitab kuning melatih apa yang kita butuhkan sekarang: deep reading di era shallow content.
Moderasi yang Relevan di Dunia Maya
Nilai-nilai utama pesantren tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), i’tidal (keadilan) juga bisa diterjemahkan langsung ke ruang digital. Tasamuh menjadi pedoman menghadapi perbedaan opini di media sosial tanpa harus saling menghujat. Tawazun menjadi prinsip agar kita tidak larut dalam ekstremisme algoritmik yang hanya menyajikan konten sejenis sesuai preferensi. Sementara i’tidal menuntun pengguna untuk adil dalam menyikapi berita, tidak asal menyebarkan informasi sebelum diverifikasi.
Bayangkan jika setiap pengguna media sosial mengamalkan tiga nilai itu. Polarisasi bisa mereda, ujaran kebencian bisa ditekan, dan ruang digital bisa menjadi wadah dialog sehat. Ironisnya, nilai-nilai itu sudah lama dipelihara dalam pesantren, tetapi jarang diterjemahkan untuk dunia digital.
Santri hari ini tidak hidup dalam isolasi. Mereka juga pengguna aktif smartphone, konsumen konten TikTok, hingga pembuat konten YouTube. Inilah generasi “santri digital” yang berada di persimpangan dua dunia tradisi klasik kitab kuning dan ekosistem algoritmik global. Justru posisi hibrid inilah yang membuat santri punya peluang unik: menjembatani nilai-nilai moderasi tradisional dengan kebutuhan etika digital modern.
Santri bisa menjadi model warga digital (digital citizen) yang ideal: kritis dalam membaca, berhati-hati dalam menyebarkan, moderat dalam berdebat. Pesantren yang selama ini dipandang konservatif bisa tampil sebagai laboratorium etika digital yang progresif.
Kritik dan Tantangan
Namun, kita tidak boleh terjebak romantisasi. Tantangan besar mengintai ketika pesantren masuk ke dunia digital. Pertama, ada risiko komodifikasi. Jika nilai kitab kuning hanya dipindahkan ke poster motivasi di Instagram tanpa praktik nyata, maka pesantren hanya ikut-ikutan tren tanpa memberi substansi.
Kedua, ada jurang literasi teknologi. Tidak semua pesantren siap dengan infrastruktur digital. Banyak pesantren kecil yang masih berkutat dengan keterbatasan akses internet, perangkat, dan kapasitas guru. Jika negara benar-benar ingin mendorong pesantren sebagai pusat etika digital, maka dukungan konkret harus diberikan pelatihan literasi digital bagi ustadz dan santri, platform pengajian online yang aman, hingga kurikulum etika digital yang berbasis nilai kitab kuning.
Ketiga, ada bahaya bias algoritma. Nilai moderasi pesantren bisa tenggelam jika ruang digital terus didominasi logika “engagement” yang mengutamakan kontroversi dan sensasi. Untuk itu, pesantren perlu berani melahirkan konten alternatif yang bukan hanya dakwah, tapi juga literasi digital kritis.
Agar kitab kuning relevan di dunia digital, ia harus dibuka. Bukan dalam arti melepaskan otentisitas, tetapi menerjemahkan kandungannya dalam bahasa kontemporer. Bayangkan jika prinsip-prinsip adab dalam kitab klasik ditulis ulang sebagai cyber ethics guidelines panduan etika bersosial media bagi generasi muda. Bayangkan pula jika tradisi musyawarah kitab kuning dipakai sebagai model forum diskusi online yang sehat.
Pesantren tidak lagi cukup hanya menjaga warisan; ia harus menawarkannya ke dunia. Karena krisis etika digital bukan hanya masalah Indonesia, tetapi juga global. Dari Silicon Valley sampai Jakarta, dunia membutuhkan kerangka moral untuk teknologi. Pesantren punya modal itu asal berani menerjemahkannya.
Kitab kuning mungkin tampak kusam dan kuno. Tapi dari lembaran-lembarannya, kita bisa belajar etika yang lebih modern daripada aturan netiket yang beredar di internet. Tradisi slow reading, nilai moderasi, dan disiplin etika sosial yang diwariskan ulama bisa menjadi vaksin bagi dunia digital yang semakin gaduh.
Santri digital adalah wajah baru pesantren setia pada tradisi, tapi juga akrab dengan gawai dan algoritma. Jika mampu memadukan keduanya, pesantren bisa tampil bukan hanya sebagai benteng moral bangsa, tapi juga sebagai penuntun global untuk etika digital. Dari kitab kuning yang “gundul”, lahir etika yang universal.
Bangsa ini butuh lebih dari sekadar teknologi canggih; kita butuh karakter yang kuat. Dan mungkin, jawabannya ada di pesantren tempat di mana lembaran kitab kuning menuntun jalan menuju masa depan digital yang lebih beradab.

