Penulis: Umi Waqhidah, Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta
Digitalisasi pada dewasa ini tidak dapat dihindarkan. Digitalisasi yang identik dengan era masyarakat 5.0 dan berhubungan erat dengan Internet of Things, hampir menjamah segala aspek tak terkecuali pendidikan.
Digitalisasi yang digadang-gadang sebagai indikasi kemajuan suatu peradaban nyatanya tak mutlak selalu memberi pengaruh positif. Berkaca pada fenomena yang terjadi di negara- negara benua Eropa seperti Swedia, memberi tamparan keras bahwa tak selamanya teknologi merubah arah peradaban menjadi lebih baik.
Tren kemerosotan indeks literasi yang dialami siswa di Swedia dapat memberi peringatan terlebih pada negara-negara berkembang bahwa digitalisasi dapat mengancam hilangnya kemampuan peserta didik (generasi muda).
Kemampuan seperti berpikir kritis, berpikir logis, dan etika digital menjadi fokus dalam meneropong bagaimanakah kondisi generasi muda saat ini di masa depan nantinya.
Menilik pada kasus dan fenomena generasi muda di era digitalisasi sekarang, perkembangan teknologi yang sangat pesat terjadi sedemikian rupa tidak terkecuali hadirnya mesin-mesin berbasis kecerdasan buatan (AI).
Sebagaimana hasil penelitian sebelumnya, masyarakat kita yang notabene masyarakat 5.0 yang memiliki keakraban dengan berbagai teknologi menimbulkan keprihatinan akan terkikisnya nilai moral generasi muda.
Platform atau kanal-kanal media sosial yang tersebar luas dan dapat diakses secara bebas menjadi awal keberangkatan kerusakan moral yang sangat potensial. Problematika pendidikan saat ini terjadi pada berbagai macam sisi dengan kompleksitasnya yang sulit diurai.
Mulai dari kebutuhan dan permintaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan profesional yang tidak seimbang menyebabkan lulusan sarjana pendidikan membludak namun tidak dibarengi minat yang kuat untuk mengabdi sebagai seorang guru karena faktor utama yaitu kesejahteraan.
Kecakapan dan kompetensi pedadogi guru-guru dirasa tidak eksklusif karena dari diluar lulusan pendidikan seperti ilmu murni pun bisa menjadi guru, namun tidak dengan sebaliknya.
Permasalahan peserta didik yang kian hari kian memprihatinkan sering kali membuat hati terenyuh akan moralitas generasi saat ini. Tiga dosa besar pendidikan yakni pelecehan seksual, intoleransi, kekerasan, dan perundungan menghantui moral generasi muda.
Permasalahan yang terjadi pada pendidikan saat ini yang tendensinya sering menyudutkan pemerintah karena tidak mampu mengakomodir pendidikan yang bermutu dan sejahtera, nyatanya tidak sepenuhnya benar.
Selain pemerintah, lingkungan sosial masyarakat lah yang sebenarnya punya pengaruh sangat besar dalam menentukan arah generasi kedepan khususnya dalam hal moralitas. Standardisasi kehidupan yang berorientasi pada ketenaran sesaat di media sosial menggerogoti generasi muda.
Generasi muda rela membohongi diri sendiri dan orang lain hanya untuk meraih kepopuleran yang menjurus pada flexing, hanya memuat nilai eksistensialis bukannya esensialis yang bermakna dan jelas manfaatnya.
Indikasi menurunnya nilai-nilai moralitas, sopan santun, logika, berpikir kritis, kesenangan yang berlebihan (over fun), hedonis, narsis, dan gengsi menyebabkan meredup dan padamnya moral dan budi pekerti luhur bangsa.
Apabila ditilik lebih mendalam lagi, kondisi lingkungan sosial yang heavy toxic (sangat tidak sehat) dengan berbagai macam indikasinya di atas memperburuk kualitas generasi muda saat ini.
Budi pekerti luhur sebagaimana latar belakang bangsa ini yang notabene bangsa Timur yang terkenal akan welas asih, andap asor, sopan santun, dan budi pekerti luhur, namun semuanya luntur, terkikis, dan hampir punah.
Sebaliknya, generasi sekarang lebih condong ke arah kapitalis-liberalis yang bergaya hidup glamor serta bersorak keras tentang kebebasan yang membuat moralitas terjun bebas dalam nestapa.
Revitalisasi dan rekonstruksi moral generasi muda saat ini perlu digalakan demi kebaikan bangsa dalam rangka menyongsong Indonesia emas 2045 di era society 5.0 yang dibarengi dengan adanya bonus demografii satu dekade kedepan.
Berangkat pada sesuatu yang fundamental terlebih dahulu, generasi muda perlu membangun pola pikir yang terbuka guna membangun kesadaran akan arti kehidupan untuk kebermanfaatan pada masa yang akan mendatang.
Konsistensi, pola pikir yang bertumbuh (growth mindset), konstruksi pola pikir yang fundamental, membangun tanggungjawab generasi muda, menggugah kesadaran generasi muda bahwa hidup harus punya tujuan yang jelas untuk kebermanfaatan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, mengoptimalkan bakat dan potensi diri, serta mengasah kepercayaaan diri.
Sepatutnya generasi muda harus melek hidup di era kompetitif dan selektif yang mana ancaman keberlangsungan kehidupan tidak hanya bersaing dengan sesama manusia namun dengan teknologi itu sendiri.
Langkah konkret yang dapat ditempuh sebagai mahasiswa PAI dalam upaya menrumat generasi muda yaitu dengan kontribusi dan pengabdiannya keapda masyarakat.
Peran aktif mahasiswa PAI dalam membangun lingkungan sosial masyarakat melalui kegiatan pengajaran, baik melalui TPA maupun kegiatan pengabdian lain hendaknya menjadi atensi yang serius.
Pendidikan keislaman dapat menjadi alternatif solusi dalam memperbaiki akhlak moral generasi muda khususnya anak-anak dan para remaja.
Sebagai seorang figur yang Islami dan dibekali kemampuan pedagogi, mahasiswa PAI dapat memberi pemahaman melalui forum pengajaran seperti TPA menggunakan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik anak didiknya.
Pembelajaran yang bersifat fundamental seperti adab makan, berbicara, hormat kepada orang tua, menghargai orang lain, sopan santun, dan tepo seliro / toleransi. Pembelajaran secara interaktif-intensif dapat dilakukan mahasiswa PAI dengan menggunakan model, strategi, metode, maupun media pembelajaran yang memudahkan upaya edukasi moril generasi muda.
Upaya penanaman moral dapat dilakukan dengan metode demonstrasi langsung di depan anak didik (generasi muda). Pengoptimalan penyampaian pesan edukasi moril dapat disampaikan pula agar senantiasa membekas pada anak-anak dan remaja dengan menggunakan media yang kreatif inovatif.
Upaya lain yang dapat dilakukan yakni pelibatan masyarakat secara langsung untuk mencanangkan kegiatan positif seperti kajian remaja yang dikemas secara menarik dengan menghadirkan pembicara yang “gaul” sehingga pesan moral tetap tersampaikan.
Revitalisasi dan rekonstruksi moral sejatinya sudah menjadi perhatian lebih, apalagi dengan hadirnya era destruktif dan degradasi moral yang melanda generasi muda khususnya telah terjadi di depan mata bahwa lingkungan sosial generasi muda saat ini banyak tercemar (toxic).
Tindakan preventif yang dimulai sedari kecil menjadi gerbang pertama penanaman moralitas yang bernilai filosofis Pancasilais, sesuai dengan pilar kebangsaan demi terjaganya generasi bangsa yang bermartabat.
Sebagaimana mestinya, karakter bangsa harus terus menerus lestari maka PAI hadir selain mengajarkan aspek-aspek teologis, juga mengajarkan moralitas.
Karena pada prinsipnya, moral / adab / etika adalah lebih tinggi daripada ilmu secara hierarki. Relevan dengan tujuan filosofis bangsa yaitu Pancasila, sebagaimana dalam sila kedua merupakan prinsip yang harus terus tegak, tak lekang dimakan zaman.
Layaknya iman, moral generasi muda pun perlu dijaga stabilitasnya supaya tidak turun karena dinamisnya pengaruh zaman modern.