Keislaman

Qisas Dalam Hukum Pidana Islam

4 Mins read

Kuliahalislam.Qisas dalam hukum pidana Islam yaitu memberikan perlakuan yang sama terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana dia melakukannya terhadap korban. Qisas hanya tertuju pada kejahatan yang menyangkut nyawa atau anggota badan seseorang. Jika seseorang membunuh orang lain secara sewenang-wenang maka Wali korban diberi hak untuk menuntut pembalasan melalui Hakim untuk membunuh pula pelaku pidana tersebut.

Demikian juga halnya kalau seseorang melakukan kejahatan yang menyebabkan hilangnya salah satu anggota tubuh orang lain, maka pihak korban berhak untuk menuntut pembalasan dengan menghilangkan pula anggota tubuh yang sama pada pelaku tindak pidana tersebut.
Tindakan qisas ini disyariatkan balas surah al-Baqarah ayat 178 ;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Arab-Latin: Yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba ‘alaikumul-qiṣāṣu fil-qatlā, al-ḥurru bil-ḥurri wal-‘abdu bil-‘abdi wal-unṡā bil-unṡā, fa man ‘ufiya lahụ min akhīhi syai`un fattibā’um bil-ma’rụfi wa adā`un ilaihi bi`iḥsān, żālika takhfīfum mir rabbikum wa raḥmah, fa mani’tadā ba’da żālika fa lahụ ‘ażābun alīm

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.

Ayat tersebut merupakan ayat khusus yang menyangkut tindak pidana yang berkaitan dengan menghilangkan nyawa orang lain. Adapun Qisas dalam tindak pidana yang menyangkut anggota badan dapat dilihat melalui Firman Allah dalam surah al-Ma’idah Al ayat 45 yang diantara kandungannya menegaskan bahwa setiap yang luka diberlakukan Qisas.

Jika korban pembunuh tersebut meninggal dunia, maka hak menuntut melakukan Qisas ini berada di tangan ahli warisnya. Hal ini ditegaskan Allah dalam surah al-Isra ayat 33 yang artinya : “Dan barangsiapa dibunuh secara zalim maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya”.

Untuk terlaksananya Qisas ini, diperlukan pembuktian bahwa yang diduga pelaku pembunuhan atau pelaku kejahatan yang menghilangkan anggota tubuh seseorang adalah benar-benar pelaku pidana tersebut. Untuk itu diperlukan dua orang saksi yang benar-benar melihat kejadian tersebut.

Jika pidana itu menyangkut anggota badan, maka adalah hak pribadi korban untuk melakukan tuntutan. Ini artinya, pihak korban dapat saja menggugurkan hukuman Qisas tersebut sepanjang itu menyangkut haknya, tetapi dia tidak berhak menggugurkan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum.

Oleh sebab itu, kendatipun si korban telah menggugurkan hak Qisas tetapi jika dari segi perbuatan Jarimah hal tersebut mengganggu ketentraman umum maka penguasa berhak pula untuk membebani dengan sanksi hukum takzir ( hukuman yang tidak ditetapkan oleh syariat, melainkan oleh manusia; hukuman yang penentuan jenis, bentuk dan ukurannya diserahkan kepada penguasa), yang berat ringannya disarankan kepada hakim.

Jika para korban ( korban atau ahli warisnya jika korban telah wafat) memaafkan pelaku pidana atau tidak mau melakukan Qisas, maka para ulama berbeda pendapat tentang apakah pemberian maaf ini diartikan sebagai kerelaan tanpa imbalan yang harus diberikan oleh pelaku atau harus dibarengi oleh suatu imbalan dari pihak pelaku. Perbedaan ini muncul dari pengertian kalimat ‘Ufiya dan kalimat-kalimat sesudahnya dalam surah al-Baqarah ayat 178.

Imam Syafi’i lebih cenderung berpendapat bahwa pihak korban dalam tindak pidana pembunuhan memiliki dua pilihan hukuman yaitu melakukan Qisas atau menerima diat ( ganti rugi dengan 100 ekor unta).Sementara itu ulama dari kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa ‘Ufiya berarti pemberian. Maksudnya, jika pihak korban memberi kesempatan bagi pelaku pidana untuk membayar ganti rugi maka hendaklah diikuti dengan pemberian ganti rugi pula.

Ini berarti hukuman terhadap pelaku pembunuhan hanya Qisas, tidak dibenarkan memaksa pelaku untuk membayar ganti rugi dengan diat. Dengan demikian ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa Qisas bukan hukuman pilihan sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i.

Namun pendapat imam Syafi’i ini didukung oleh hadis rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang menyatakan bahwa pihak korban ( walinya) dapat memilih hukuman yang akan dikenakan kepada para pelaku antara Qisas dan menerima ganti rugi (diat). Hal ini tentunya berlaku secara pribadi antara Wali korban dan pelaku pembunuhan.

Akan tetapi, sekalipun pihak korban menggugurkan hukuman Qisas ini secara sukarela, karena ini haknya secara pribadi namun tidak tertutup kemungkinan bagi pihak pemerintah untuk menentukan hukuman takzir kepada pelaku pidana. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab.

Dilihat dari segi motif pembunuhan yang dilakukan, maka tindak pidana pembunuhan ini dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, pembunuhan sengaja yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan adanya unsur kesenjangan dari pelaku. Unsur kesengajaan ini dapat dilihat dari alat yang dipergunakan untuk membunuh seperti pisau, senjata dan pedang atau dapat juga dilihat dari cara pembunuhan yang dilakukan seperti membakarnya, membenamkannya ke dalam air dan menjatuhkannya dari tempat yang tinggi yang mengakibatkan kemungkinan korban untuk hidup kecil sekali.

Kedua, pembunuhan semi sengaja yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan unsur kesengajaan tetapi bukan dengan alat yang biasanya dapat menghabisi nyawa seseorang. Misalnya, memukul korban dengan kayu atau tongkat. Untuk pembunuhan yang semi sengaja ini dikenakan hukuman denda 100 ekor unta.

Ketiga pembunuhan tersalah yaitu terbunuhnya seseorang tidak direncanakan dari semula tetapi terjadi hanya karena kekeliruan semata-mata. Misalnya, seorang pemburu dalam hutan tanpa sengaja menembak seseorang manusia yang dikiranya rusa. Di sini terlihat tidak ada maksud untuk membunuh manusia tersebut. Untuk pembunuhan yang tersalah ini, hukumannya juga dikenakan denda (diat).

Tindak pidana terhadap anggota badan juga dikenakan hukuman Qisas sebagaimana yang terdapat dalam surah al-Maidah ayat 45. Dalam pelaksanaan Qisas ini, unsur bersamaan harus benar-benar terjamin. Misalnya, jika pelaku pidana memotong jari petunjuk korban sebanyak dua ruas, maka Qisas yang akan dilakukan oleh korban juga harus dengan memotong dua ruas jari telunjuk pelaku pidana.

Namun hukuman ini juga dapat diganti dengan membayar denda. Bentuk dan jumlah denda untuk anggota badan ini berbeda antara satu dan lainnya. Misalnya, jika kedua matanya dicopot maka dendanya satu diat (100 ekor unta). Tetapi jika hanya sebelah mata yang dicopot maka dendanya setengah diat ( 50 ekor unta).

Tujuan dari syariat kisah ini sebenarnya adalah untuk menjadi tindakan preventif atau pencegahan bagi masyarakat yang menyaksikan pelaksanaan Qisas tersebut.
Artinya, dengan melihat pelaksanaan Qisas tersebut, masyarakat akan dapat lebih mawas diri, tidak sewenang-wenang terhadap nyawa dan tubuh orang lain.

Demikian juga halnya terhadap pelaku tindak pidana. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 179 : “Dan dalam Qisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal”. Jadi Qisas ini bukan hanya semata-mata pembalasan tindakan terhadap pelaku pidana sebagaimana yang dituduhkan sementara orang.

208 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
KeislamanKisah

Ketika Psikoanalisis Melihat Nabi Musa

3 Mins read
Sudah mafhum bahwa logis dan rasional adalah kata kunci untuk memahami jalan pikiran Nabi Musa. Selama puluhan tahun, Nabi Musa hidup bersama…
KeislamanTafsir

Tafsir Al Kasysyaf Keunggulan Linguistiknya dalam Menjelaskan Ayat-ayat Musykilat

3 Mins read
Pendahuluan ​Tafsir Al-Kasysyaf (‘an Haqā’iq at-Tanzīl) karya Al-Zamakhsyari (w. 538 H) merupakan salah satu karya monumental dalam khazanah Islam. Hingga kini, kitab…
KeislamanTafsir

Studi Komparatif Tafsir Al-Tha'labi & Az-Zamakhshari: Makna Istawa QS Al-A'raf 54

3 Mins read
Ayat sifat dan dinamika tafsir Pembahasan mengenai sifat-sifat Allah merupakan tema yang selalu mengundang perhatian dalam khazanah tafsir klasik. Di antara bagian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights