KULIAHALISLAM.COM- Kita hidup sebagai manusia yang bersosialisasi dalam berbagai generasi dengan karakteristik dan cara berpikir yang berbeda-beda. Dari generasi Baby Boomers hingga Generasi Alpha, masing-masing memiliki cara unik dalam memahami dan mengamalkan agama. Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab, setiap generasi memiliki karakteristik yang khas. Sebut saja Generasi Baby Boomers (1946-1964) cenderung memiliki pandangan agama yang lebih tradisional dan konservatif; Kemudian Generasi X (1965-1980) memiliki pandangan yang lebih rasional dan ilmiah;lalu Generasi Milenial (1981-1996) memiliki pandangan yang lebih terbuka dan inklusif; serta Generasi Z (1997-2012) memiliki pandangan yang lebih individualistik dan berbasis teknologi. Sementara itu, Generasi Alpha (2013-2025) masih dalam proses pembentukan identitas dan pandangan agama melalui media digital. Maka menjaga sikap dan perilaku sangat penting,agar tidak menciptakan kesenjangan sosial dan kesalahpahaman yang berdampak pada rusaknya simpul ikatan.
Alquran mengajarkan kita untuk saling memahami dan menghargai keragaman manusia. Dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, Allah SWT berfirman, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”. Menurut Imam Al-Ghazali, , ayat ini mengajarkan kita untuk memahami dan menghargai keragaman manusia sebagai rahmat Allah SWT. Maka disinilah pentingnya kita berpikir sebelum bertindak dalam segala pergerakan di kehidupan.
Untuk itu, Agama Islam juga mengajarkan kita untuk berpikir secara mendalam sebelum mengambil tindakan, bahkan berucap sekalipun. Dalam Surat Al-Isra ayat 36, Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyah, menafsirkan ayat ini mengajarkan kita untuk berpikir secara mendalam dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Kita diharuskan mengambil pikiran dalam-dalam, sebelum mengambil keputusan di kehidupan.
Pemikiran mendalam ini didasari dari landasan teologis Alquran dan Sunnah yang kemudian direnungkan melalui cerminan diri. Konsep tazkiyatun nafs, atau pensucian jiwa, merupakan salah satu konsep yang penting dalam Islam. Menurut Imam Al-Ghazali, tazkiyatun nafs dapat dilakukan melalui proses introspeksi dan muhasabah, atau evaluasi diri. Konsep inilah yang disebut irfani, yang menjadi alur pikiran seorang muslim dalam memahami identitas dan posisi awal sebagai khalifatul fil ardh sekaligus hamba Allah.
Konsep berpikir irfani, yang berarti berpikir secara spiritual dan mendalam, merupakan salah satu konsep yang penting dalam Islam. Menurut Dr. Seyyed Hossein Nasr menjelaskan berpikir irfani dapat dilakukan melalui proses tafakkur, atau refleksi, dan tadabbur, atau kontemplasi. Berpikir irfani dapat membantu kita memahami hakikat kehidupan dan tujuan hidup kita sebagai manusia.
Melalui proses pemikiran irfani, kemudian diaplikasikan dengan tindakan burhani. Konsep burhani menurut ulama adalah tindakan yang didasari oleh pengetahuan dan hikmah. Menurut Imam Al-Ghazali, tindakan burhani dapat memastikan tindakan seorang muslim terukur dan dapat dievaluasi. Ini sejalan dengan realitas zaman, yang mengharuskan manusia modern untuk mengambil keputusan berdasarkan data dan fakta.
Tindakan burhani juga membawa manusia untuk proaktif dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Menurut Dr. Muhammad Syahrur, tindakan burhani dapat membantu kita memahami hakikat kehidupan sosial dan membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain.
Namun dalam praktek beramal shalih, sebagai muslim kita hendak memastikan faktor landasan yang jelas berdasarkan perintah Allah dan rasulnya. Kita tidak bisa beramal shalih, terlebih lagi perkara ibadah-ibadah pokok dengan dalil: yang penting ujungnya baik dan semua senang. Niat amal shalih harus didasarkan karena Allah SWT, dengan mengharap ridho-Nya. Sungguh mustahil apabila kita ingin mendapat mahabbah atau cinta dari Allah, tapi tidak mengikuti arahan dan alurnya.
Menurut Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyah, “Kita harus memastikan bahwa setiap amalan kita didasarkan pada dalil yang jelas dan niat yang ikhlas karena Allah SWT.” Maka disinilah peran bahwa beramal harus bersifat bayani alias mempunyai argumentasi nash yang jelas dan terukur.
Dengan demikian, pribadi muslim modern yang berpikir irfani, bertindak burhani, dan beramal bayani menjadi sebuah keuntungan dalam mengarungi samudera kehidupan. Kita dapat memahami hakikat kehidupan, membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain, dan mencapai ridho Allah SWT.