KULIAHALISLAM.COM – Presiden Soekarno mempunyai kedekatan istimewa dengan Muhammadiyah. Beliau tercatat menjadi kader Muhammadiyah sejak masa perang kemerdekaan. Bahkan turut serta menjadi guru di lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Presiden Soekarno: Makin Lama Makin Cinta Muhammadiyah |
Muhammadiyah adalah anugerah bagi bangsa Indonesia — kata Presiden Jokowi dalam pidatonya yang ringkas, padat dan banyak kejutan.
Soekarno Presiden pertama juga tak kalah seru, beliau menyunting putri kesayangan Hasan Dien konsul Muhammadiyah Bengkulu yang bernama Fatmawati. Fatmawati adalah aktifis Aisyiyah militan.
Tak hanya itu, Presiden Soekarno adalah ‘santri nginthil’ Kiai Dahlan dan pengurus Majelis Pendidikan Muhammadiyah ini menuangkan perasaannya dalam sebuah artikel yang berjudul ‘Makin Lama Makin Tjinta’ membuat terkesima banyak orang.
Jangan pisahkan aku dengan Muhammadiyah saya pikir hanya Soekarno yang dengan heroik berkata : ‘Kubur aku dengan panji-panji Muhammadiyah’.
Dalam pidatonya yang landai, pada Muktamar Muhammadiyah di Aceh, Presiden Soeharto menyatakan diri sebagai : ‘Anak bibit Muhammadiyah yang disemaikan di bumi pertiwi’.
Presiden Soeharto mencintai Muhammadiyah dalam diam, banyak kebijakannya yang ‘menguntungkan’ Muhammadiyah secara institusional. Dalam konteks selaras.
Bagi Presiden Jokowi, Muhammadiyah telah banyak memberi dan menolong, termasuk ke tiga cucunya juga dilahirkan di klinik PKU milik Muhammadiyah. Presiden Jokowi begitu emosional menumpahkan perasaan hatinya dalam sebuah pidato milad ke-109 Muhammadiyah yang luar biasa, nampak ia begitu jelas dan teguh ke-Muhammadiyahan-nya.
Bersyukur ada pergerakan Islam progresif bernama Muhammadiyah—dihuni banyak orang ikhlas. Tidak kepikiran membawa pulang aset di Persyarikatan. Semua berkhidmad dalam kapal besar.
Mungkin kita tidak berada di dalam kapal persyarikatan struktural, tapi pemikiran dan tujuan substantif yang sama, sebab itu Buya Syafi’i Ma’arif menyebut Muhammadiyah sebagai tenda besar buat semua. Prof. Din mengilustrasikan sebagai federasi pemikiran, dan serikat dalam beramal.
Apapun—Muhammadiyah telah melahirkan banyak ragam karakter, tak juga Presiden Soekarno yang heroik, Presiden Soeharto yang cerdik, Jendral Sudirman yang tawadhu, Ki Bagus Hadikoesomo yang futuristik (Eruh sak durunge winarah), Buya HAMKA yang teguh, Pak AR. Fakhrudin yang akomodatif dan banyak akal, dan masih banyak lagi tokoh dan ulama Muhammadiyah yang tak bisa disebut satu-satu.
Para pimpinan Muhammadiyah juga tak kalah menarik. Kita punya Buya Syafi’i seorang intelek dan negarawan yang teduh. Prof. Amien Rais politisi senior yang konsisten dan visioner. Prof. Din yang elegant. Dan tentu saja Prof. Haedar yang tawadhu dan rendah hati. Seperti harmoni bermain cantik dalam orkestra yang indah meski beda peran, fungsi dan karakter. Saling menggenapi bukan sebaliknya.
Kader tak harus serumah. Saatnya para kader melihat kembali sejarah Muhammadiyah masa lampau, agar tidak merasa menjadi Muhammadiyah sendirian, meluaskan pikiran, meluaskan pandangan dan memperbanyak perspektif dalam ber-Muhammadiyah.
Bukan menafikkan apalagi membuat garis demarkasi. Tapi menggembala banyak karakter, memberi rambu bukan membatasi apalagi berpikiran sempit. ‘Jangan bawa Muhammadiyah ke tempat gelap dan lorong sempit’ tutur Prof. Malik Fadjar.
Mengedepankan wawasan Ke-Islaman dan ke-Indonesiaan sebagai narasi paling pas untuk melihat Muhammadiyah dalam perspektif ke depan yang holistik, dengan menghadirkan banyak energi untuk mengabdi dan berbakti untuk negeri tanpa banyak pidato dan reklame — Muhammadiyah telah membuktikan.
Oleh: Ustaz Nurbani Yusuf
Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah