Penulis: Hilmy Harits Putra Perdana*
KULIAHALISLAM.COM – Penggunaan istilah pluralisme sangat sering didengar dalam lingkup perbincangan keillmuan khususnya lingkungan akademik. Tak jarang dialog mengenai pluralisme sering digelar dan dijadikan topik kajian secara mendalam dan komprehensif.
Kalau penulis boleh menilai, bahwa wacana pluralisme adalah sebuah hubungan yang tak bisa dipisahkan antara teori dan penerapan. Aktualisasi model pluralisme harus dilandasi dengan teori dan pemahaman yang cukup. Jangan sampai implementasi pluralisme menjadi jauh dari kata plural itu sendiri hanya karena tidak paham apa itu pluralisme.
Yang menjadi titik fokus pada kajian kali ini adalah pluralisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam perkembangan kajian tentang pluralisme sosial masyarakat maka tidak bosan-bosan untuk terus didiskusikan. Seperti sifat daripada ilmu itu sendiri yaitu harus mengikuti perkembangan zaman.
Seperti kata Imam Al Ghazali bahwa ilmu tanpa amal itu kegilaan dan amal tanpa ilmu itu sia-sia. Sebuah ilmu yang hanya berkelumit dalam pikiran saja tanpa ada aksi menurut Al Ghazali adalah salah satu bentuk kegilaan. Kegilaan yang dimaksud adalah kehausan akan ilmu tapi tidak diiringi dengan amalan budi luhur yang sesuai.
Ini menjadi salah satu realitas dalam bernegara, khususnya konsep keberagaman yang mana kerusuhan atau perpecahan juga diakibatkan oleh beberapa oknum yang dalam segi keilmuan malah cenderung unggul. Ini juga sebagai masalah dalam habluminan naas hanya karena ilmu yang didapatkan tidak diamalkan dan dipahami secara menyeluruh.
Di sisi lain, amalan yang tidak didasari oleh ilmu akan berakhir sia-sia karena pelaku hanya mengikuti praktik tradisi saja dengan tidak mengetahui landasannya. Kalau mereka mengikuti perilaku yang baik tidak masalah, tetapi kalau mereka mengikuti praktik yang salah dan ngawur itu yang menjadi masalah.
Dari dua pandangan ini kita dapat simpulkan bahwa pengamalan konsep pembinaaan pluralitas harus didasari dengan keilmuan yang konkret dan mendasar. Dari kata Imam Al Ghazali itu kita bisa refleksikan bahwa hubungan teoritis dan amaliyah ilmu pengetahuan itu sangatlah erat. Tidak bisa ditawar, dan tidak boleh berat sebelah. Apa yang menjadi ilmu yang sudah didapatkan itu harus diiringi dengan pengamalan termasuk pengamalan sikap toleransi dalam perbedaan.
Prinsip kesadaran masyarakat yang plural sangatlah penting dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi dengan keunggulan bangsa Indonesia dengan kemajemukan masyarakatnya, mulai dari ras, suku, agama dan lain-lain.
Kenapa penulis menyebutnya keunggulan, karena pluralitas penduduk Indonesia yang seperti itu adalah bentuk kekayaan bangsa Indonesia dan menjadi sarana persatuan dan kesatuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Disini saya akan memperkenalkan salah satu filsuf barat yang memiliki pemikiran dan gagasan yang menurut saya relevan untuk dijadikan pandangan kesatuan dan persatuan dalam masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.
Pandangan Monisme
Istilah “Monisme” secara kebahasaan berasal dari kata dasar “mono” yang berarti “satu” dan ditambah dengan imbuhan “isme” yang bisa diartikan sebagai aliran, paham atau mazhab. Gagasan monisme diperkenalkan salah satunya oleh filsuf Yunani kuno Pra-Sokratik. Tokoh ini bernama Parmenides yang lahir di kota Elea, salah satu kota di negeri Yunani Kuno (sekarang Italia Selatan).
Parmenides lahir pada tahun 540 SM dengan menganut mazhab Elea. Pandangan mazhab Elea adalah mengajarkan bahwa “Yang Ada” itu satu, ini yang menjadi landasan pandangan monisme sendiri. Monisme dalam pemikiran ini diartikan sebagai pandangan tentang hakikat alam semesta ini satu.
Sudah jelas bahwa pandangan monisme berseberangan dengan pandangan pluralisme (Yang Ada itu Beragam). Tetapi dalam kajian ini saya menjadikan paham monisme sebagai dasar sikap atas kemajemukan untuk mencapai persatuan.
Monisme berfokus pada sesuatu yang di annggap sama atau memiliki konsep kesatuan dengan menggunakan akal. Monisme tidak melihat perbedaannya (yang di tangkap melalui indra) tetapi melihat kesamaannya.
Pandangan monisme berpendapat bahwa alam semesta ini diibaratkan sebagai makhluk yang utuh dengan interaksi didalamnya. “Perbedaan” dalam alam semesta dianggap hanya sebagai ekspresi tampak dari sesuatu yang sejatinya tunggal.
Sederhananya adalah ketika kita melihat orang misalnya, ada orang yang mudah marah, orang yang sabar, orang yang baik, orang yang buruk dan masih banyak yang lain. Sehingga dalam monisme, kita tidak melihat itu sebagai perbedaan tetapi kita melihat kesamaannya yaitu sama-sama manusia.
Keberagaman dalam Pandangan yang Tunggal
Sifat kemajemukan dalam kelompok masyarakat tidak dapat dihindarkan. Apalagi Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak sekali keberagaman harus memiliki itikad persatuan yang kokoh. Faktor-faktor persamaan sosio-historis dari bangsa Indonesia menjadi semangat tersendiri dalam persatuan.
Dari zaman kerajaan sampai sekarang, Indonesia dikenal dengan negara yang Bhineka Tunggal Ika. Ini juga yang mendasari konsep pluralitas yang secara nyata terjadi dalam dinamika masyarakat Indonesia.
Meminjam teorinya Parmenides bahwa kita harus fokus dengan sesuatu yang hakiki, jangan sampai terprovokasi dengan hal yang tampak. Warga negara Indonesia secara hakiki adalah bangsa yang satu. Bangsa yang utuh dengan berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ini menjadi hakikat yang tunggal bahwa Indonesia itu adalah satu, tidak ada Indonesia yang lain.
Bentuk keberagaman yang ada di dalamnya adalah interpretasi dari sesuatu yang tunggal itu dengan membentuk interaksi-interaksi yang saling melengkapi. Ibaratkan sesuatu yang tunggal itu adalah tubuh manusia. Analogi yang sederhana adalah di dalam tubuh manusia terdapat keberagaman yang berbentuk sel, organ, jaringan dan lainnya yang berhubungan satu sama lain.
Lambung tidak bisa menerima makanan kalau tidak ada mulut, otak tidak bisa menerima informasi kalau tidak ada panca indra misalnya. Semua bagian-bagian itu terhubung satu sama lain. Dan nyatanya kita menyebutnya adalah individu manusia itu sendiri misalnya si A. Kita tidak menyebutnya ginjal A, jantung A, mulut A dan sebagainya.
Sama dengan bangsa Indonesia, kita menyebutnya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walaupun didalamnya memiliki tradisi dan budaya yang berbeda. Oleh karenanya, berlandaskan teori ini semangat kebangsaan dalam bingkai persatuan dan kesatuan wajib ditanamkan oleh seluruh masyarakat.
Jangan bersikap fanatik terhadap golongan sendiri dan egois dalam bermasyarakat. Kita hidup dalam keberagaman yang saling membutuhkan satu sama lain. Jangan mudah mencari-cari berbedaan dalam artian suka membuat permusuhan antar golongan, walaupun hakikatnya juga berbeda.
Dalam monisme, jangan melihat atau berhenti menilai dari suatu yang tampak saja (pluralitas), tetapi lihatlah sampai dari yang paling hakikat yaitu ke-tunggal-an itu sendiri. Konsep monisme untuk memandang pluralisme seperti ini yang harus ditanamkan sehingga mendukung tercapainya tujuan dalam bernegara seperti yang tertuang dalam Pancasila dan UUD NRI 1945.
*) Mahasiswa UIN SATU Tulungagung