KULIAHALISLAM.COM – Pernahkah sainstis berpikiran bahwa dibalik materi dan gerak alam semesta ada pikiran ? Kalaupun tidak sampai kesana sebenarnya saya masih maklum karena pikiran memang bukan ranah sains tapi non-sains—ranah metafisik. Dan untuk paham ada pikiran (yang hidup) dibalik dunia alam dan materi (yang mati) memang perlu cara pandang bermata dua (dualis) tak bisa terus menerus hanya fokus ke dunia fisik materi (bermata satu).
Alam semesta |
Apakah efek samping sains itu mendidik manusia bermata satu ? Ini mungkin bisa jadi perdebatan rahasia di ranah teologi. Tapi memang sebuah bencana peradaban tersendiri andai hegemoni worldview mengarah kesana.
Cara untuk melatih bermata dua adalah dalam memandang dan mengolaborasi manusia yang terdiri dari jiwa, raga, pikiran, dan tubuh. Kalau bicara aktivitas manusia, misalnya, selalu mengembalikan melulu pada fungsi neuron, pada fungsi hormon dan menolak otonomi ruhani serta pikiran sebagai prima causa dibalik seluruh unsur tubuh dan aktivitas gerak tubuh maka ia patut dicurigai bermata satu.
Jadi kalau Aristoteles serta Thomas Aquinas bicara causa prima maka bagi dualis untuk memahaminya mesti sudah harus dengan menyeberang ke ranah metafisik tak bisa terus menerus berada di ranah sains dan persoalan keilmuan seolah sudah harus diover dari ranah sains ke ranah filsafat dan agama atau minimal berbagi, bukan melulu memaksakan mengolaborasi serta menyelesaikan dengan cara sainstifik.
Ada gitu yang memaksakan causa prima mesti ada dan diselesaikan di ranah material dan sains ? Ada yaitu misal yang beranggapan bawa awal mula segalanya adalah energi, fluktuasi quantum dan eksistensi beragam partikel quantum dan berhenti disitu dan tidak mengelaborasi, misalnya, adanya peran pikiran dibalik itu semua.
Sebenarnya kalau ada sainstis yang mengakui adanya “perancangan cerdas” dibalik semesta itupun sudah hampir selangkah lagi menuju ranah metafisik tapi kita harus paham bahwa perancangan itu hanya bisa dilakukan oleh pikiran karena zat atau partikel mati.
Elektron sebagai partikel quantum misal bisa diolah menjadi teknologi berbasis mekanika quantum itu karena peran pikiran manusia sebagai perancangnya. Tak bisa menaruh elektron pada tempat dan kondisi tertentu tanpa perancangan pikiran dan sim salabim menjadi wujud teknologi tertentu.
Tetapi apakah level “partikel Tuhan” masih bisa diteknologikan, misalnya ? Artinya penguasaan manusia atas partikel quantum yang masih bisa diukur dengan pengukuran serba pasti dan terukur dan dikelola (jadi teknologi) hanya sampai level tertentu.
Bila dikaitkan dengan pikiran maka bisa disebut bila elektron adalah masih “alam sadar” maka level bosson high dan partikel Tuhan sudah level “dunia bawah sadar” dan bagi yang paham dunia bawah sadar itu adalah alam yg tidak dikendalikan sepenuhnya oleh kesadaran manusia. Maka di level high bosson manusia sudah wajar kalau serius memikirkan adanya pikiran pikiran tersembunyi yang ada dibalik materi yang sudah tidak bisa dikelola oleh manusia tapi menjadi dasar dari penjelasan semesta.
Itu sebab saya selalu bercermin pada manusia untuk memahami alam semesta karena menurut saya memahami semesta secara utuh tak cukup dengan observasi sainstifik. Ketika potensi dunia indrawi dalam memahami sudah mentok maka potensi akal budi sudah mesti dikedepankan.
Manusia itu terdiri dari tubuh dan pikiran dan seluruh gerak tubuhnya dikendalikan oleh pikirannya dan kita tahu seluruh gerak tubuh yang terdesain (beraturan) dan karya-karya yang dibuat oleh tangan manusia itu mencerminkan eksistensi pikirannya.
Sehingga memahami manusia hanya dengan mengolaborasi tubuh dan unsur tubuh hingga ke level mikro seperti neuron atau sel-sel atau hormon atau lebih halus dari itu (katakanlah dibalik sel-sel dan hormon ada yang lebih halus lagi yaitu level quantum tubuh) maka tanpa melibatkan pikiran tetap tidak akan bisa mengungkap secara utuh rahasia perilaku manusia.
Persis sebagaimana mengolaborasi semesta hingga ke ranah bicara energi atau partikel quantum lain maka tanpa melibatkan peran pikiran dibalik itu semua maka kita sebenarnya tidak akan memahami semesta secara utuh.
Masalahnya bahasan pikiran secara utuh dengan kompleksitasnya hanya ada di ranah non-sains sehingga untuk memahami secara utuh eksistensi pikiran tetap mesti menyebrang ke ranah non-sains dan metafisik.
Maka demikian juga dengan materi dan gerak semesta ideal kalau dipahami dan dikendalikan oleh pikiran-pikiran besar.
Oleh: Irwan Wiharja