Konsep Ajaran Taqiyyah Secara Umum
Secara istilah taqiyyah berarti menyembunyikan dan berhati-hati dalam masalah agama di karenakan adanya larangan-larangan dan batasan atas kebebasan beragama, beribadah, oleh penguasa yang zalim. Dalam pengertian simplenya, taqiyyah merupakan keyakinan untuk menghindarkan diri dari bahaya yang dapat merugikan agama dan jiwa terutama siksaan berbentuk fisik.
Terdapat aneka-aneka praktek taqiyyah yang dilakukan oleh manusia selama ini. Sementara pakar berkata bahwa ide tentang munculnya taqiyyah di mulai pada masa filusuf Yunani Plato, yang melakukan praktek taqiyyah secara sembunyi-sembunyi guna untuk menyebar luaskan ajarannya.
Filsuf-filsuf pada saat itu  menggunakan berbagai istilah dan kata yang berbelit-belit untuk menyembunyikan hakikat ide yang hendak disebarkannya. Siapapun yang memulai ide tentang taqiyyah, yang jelas adalah bahwa Syi’ah secara umum sangat kental dalam menggunakannya. Seseorang dibenarkan oleh AlQur’an mengucapkan kata-kata kufur, jika terancam jiwa, atau badan, bahkan miliknya sangat berharga lagi amat dibutuhkannya.
Posisi taqiyyah dalam dua mazhab besar ini memiliki posisi yang berbeda, dimana golongan taqiyyah memandang praktek taqiyyah hanya sebatas rukhshah atau dispensasi ketika keadaan darurat, sedangkan Syi’ah sendiri melihat taqiyyah sebagai sesuatu yang sentral dan esensial dalam praktiknya, yang mana kaum Syi’ah menggunakan praktek taqiyyah bukan hanya di pakai dalam ranah keagamaan saja, tetapi juga melibatkan dalam sektor ekonomi, politik, dan dalam segala hal, ketika memang terdapat unsur kemanfaatan.
Karena hal tersebut Taqiyyah disini membandingkan dua pendapat yaitu menurut pandangan Sunni dan Syi’ah, pertama taqiyyah menurut Sunni yang kemudian di lanjut nantinya dalam pandangan Syi’ah.
Taqiyyah dalam Diskusi Tafsir Sunni dan Syi’ah
Menurut tafsir Al-Qurtubi yang berpaham Sunni, melarang orang-orang mukmin berbuat baik kepada orang kafir yang dapat menjadikan mereka sebagai pemimpin, sahabat ataupun penolong
Dalam penjelasannya taqiyyah hanya dibolehkan ketika sebelum kejayaan Islam, karena pada saat itu Islam belum mempunyai kekuatan yang sempurna berbeda dengan zaman sekarang.
Taqiyyah dalam tafsir AlQurtubi dalam QS. Ali Imran ayat 28 hanya boleh dilakukan oleh lisan saja ketika memang kondisinya mengancam jiwa, harta, keluarga. Maka dianjurkan untuk melakukan taqiyyah yaitu menyatakan kekafiran dengan syarat tidak diyakini dengan hati dan hatinya tetap tenang dengan keimanan.
Al-Qurtubi juga menjelaskan bahwa taqiyyah atau paksaan melakukan kekufuran terbagi dalam beberapa macam, contoh paksaan berzina, bersumpah dalam kekufuran atau kemaksiatan, mencuri, memakan riba, dan semua itu mempunyai beberapa pendapat contohnya dalam hal paksaan zina.
Sebagian ulama menyatakan bahwa ia mendapat hukuman hadd dan tetap berdosa karena syahwat tidak bisa digambarkan dalam bentuk paksaan dan ia lalai dari sebab kebangkitan syahwatnya tersebut. Sebagian lagi ulama berpendapat tidak ada sanksi dan hukuman hadd.
Ketika diyakini terbebas dari pembunuhan akan tetapi seorang muslim lebih tinggi derajatnya dan mendapatkan pahala yang besar disisi Allah ketika ia mau mengorbankan dirinya atas agama Allah dari pada yang mengutamakan rukhsah.
Tafsir Al Misbah, yang merupakan salah satu tafsir kontemporer dari kalangan Sunni juga memberikan argument terkait taqiyyah sendiri, bagaimana di sampaikan bahwa siapa saja yang murtad dari jalan Allah dan terbukti secara faktual, maka ia akan mendapat murka Allah, kecuali apabila jika ia di paksa mengucapkan kalimat kufur, akan tetapi hatinya tetap tenang dengan keimanan, maka ia tidak berdosa.
Akan tetapi jika hal ini di lakukan hanya untuk bersenang-senang dengan dunia seperti harta, strategi politik dan seni dalam hidup maka menurut tafsir Al Misbah maka ia tetap tergolong orang yang murtad.
Sedangkan dalam tafsir Al Qummi yang tergolong dalam golongan Syiah, menjelaskan bahwa taqiyyah sendiri merupakan rukhso (dispensasi) yang mana makna lahirnya seharusnya bertolak belakang dengan makna batinnya. Hendaknya orang menilai berdasarkan makna lahirnya bukan berdasarkan makan batinnya kecuali pada kasus taqiyyah.
Yang mana taqiyyah sendiri secara rinci merupakan izin bagi orang mukmin untuk melihat orang kafir, kemudian ia beribadah sebagai mana ibadahnya mereka, shalat sebagaimana shalatnya dan berpuasa sebagaimana puasanya, jika ia takut kepada-Nya secara lahir, namun dalam hatinya ia menyembah Allah, jika tidak maka ia akan menyembah-Nya.
Dalam konteks ini, seorang mukmin boleh secara lahiriah meniru praktik orang kafir (seperti shalat atau puasanya, dalam arti simbolik untuk mengikuti kebiasaan luar mereka) agar selamat namun hatinya tetap beriman kepada Allah.
Sedangakan menurut kitab Al-Mizan yang juga berpaham Syi’ah, bahwa taqiyyah tersebut berhubungan dengan kewilayahan (kepemimpinan, pemegang otoritas, ataupun kekuasaan) terdapat pengamalan lingkup taqiyyah yang lebih luas, maka itu diharamkan karena dikhawatirkan orang-orang kafir akan mencemari visi orang Mukmin, contohnya pengaruh pemikiran, gaya hidup bahkan akhlak.
Taqiyyah dalam Tafsir Al-Mizan dijelaskan dimana seorang mencari perlindungan dikarenakan takut jika menyampaikan kebenaran yang dapat mengancam jiwa, maupun agama serta ajarannya. Contohnya mengakui musuh secara zahir nya saja sedangkan hati tidak mengakui, bahkan taqiyyah dibolehkan dalam segala ihwal apapun, karena Allah juga telah menghalalkannya, bahkan taqiyyah menurut pendapatnya mempunyai kedudukan yang luas biasa.
Pada intinya konsep taqiyyah dari kedua golongan ini memiliki benang yang sama, yaitu sama-sama untuk melindungi diri dari musuh agar selamat, akan tetapi terdapat perbedaan dalam pengamalan. Misal dari golongan Sunni sendiri sebagaimana yang sudah di sampaikan oleh al-Qurtubi di atas bahwa taqiyyah dapat di lakukan ketika hal urgent saja, dan ketika ia tetap berpegang teguh pada ajaran Islam meskipun terancam maka ia merupakan orang yang lebih baik dari pada melakukan taqiyyah.
Sedangkan adalam Syiah sendiri pengamalan taqiyyah dapat di lakukana dalam lingkup yang lebih luas dan pengamalannya pun lebih bebas, yang mana taqiyyah juga bisa di amalkan dalam ranah politik juga.

