Penulis: Muhammad Ahid Muktafi Ilman Nabawi*
KULIAHALISLAM.COM – Dakwah merupakan salah satu sarana untuk mensyiarkan agama Islam. Dakwah sendiri secara bahasa memiliki arti memanggil, mengundang, mengajak, imbauan, dan hidangan. Maksudnya, berdakwah adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengajak pendengarnya agar lebih memahami tentang agama.
Kegiatan berdakwah dilakukan tanpa adanya kekerasan, paksaan, atau genjatan senjata. Hal tersebut merupakan cerminan dari agama Islam yang dikenal sebagai agama yang tidak suka dengan kekerasan dan cinta dengan yang namanya perdamaian.
Di Indonesia seorang pedakwah dinamakan dengan seorang mubaligh, kata tersebut merupakan isim fail dari fiil madhi ba la gha yang memiliki arti seseorang yang menyampaikan. Selain Mubaligh, masih banyak lagi sebutan bagi seorang pedakwah, seperti ustaz, kiai, gus, dan masih banyak lagi.
Perintah berdakwah terdapat dalam Alquran surah Ali Imran ayat 104. Dalam surat tersebut Allah SWT berfirman yang artinya sebagai berikut:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”
Dalam berdakwah, hampir semua pendakwah menggunakan dalil dalam dakwah yang disampaikan. Mengapa demikian? Dalil tersebut digunakan sebagai sebagai penguat atau tendensi dalam materi yang disampaikan.
Selain itu, penggunaan dalil juga berfungsi sebagai bahan untuk meyakinkan para pendengar bahwa apa yang dikatakan oleh seorang pendakwah adalah suatu kebenaran. Namun, seorang pendakwah tidak boleh asal-asalan dalam mengambil dalil, terutama dalil di dalam Alquran.
Maksudnya seorang pendakwah harul betul-betul memahami dalil yang akan diambil. Sekarang banyak sekali pendakwah yang hanya ingin menaikan pamor mereka dengan cara membuat konten berdakwah di media sosial. Kebanyakan dari mereka adalah orang awam yang tidak mengerti perihal agama.
Di dalam kontennya tersebut mereka menggunakan dalil-dalil yang mereka sendiri belum tahu betul maksud dari dalil yang mereka gunakan. Contoh dalil yang biasanya salah tafsir atau salah pemahaman adalah surat al-ma’un, dalam surat tersebut terdapat ayat yang berbunyi فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ yang artinya: “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat”.
Jika seorang yang pemahaman tentang Alquran kurang, maka mereka akan berpikir untuk apa kita melakukan salat padahal dalam Alquran sudah dijelaskan bahwa orang yang salat akan celaka.
Untuk menanggapi hal tersebut, perlunya kita sebagai seorang muslim yang taat kita harus bisa memahami isi atau maksud dari suatu dalil baik itu dari Alquran atau hadis. Banyak sekali kegiatan yang bisa kita lakukan untuk menambah wawasan kita tentang dalil-dalil, agar kita tidak salah pemahaman dalam berdakwah.
Kegiatan-kegiatan tersebut di antaranya adalah dengan belajar, karena dengan belajar wawsaan kita akan bertambah. Lalu, sering membaca kitab-kitab tafsir Alquran seperti tafsir Jalalain, tafsir Ibnu Katsir, tafsir Ayatul Ahkam, atau kitab kitab yang membahas hadis seperti shahih bukhari, dan masih banyak lagi.
Selain itu, untuk menambah wawasan kita tentang agama kita bisa mendengarkan ceramah dari kiai yang sudah baik wawasannya. Tidak hanya itu, kita juga bisa belajar di lembaga-lembaga yang berbasis Islam seperti di pondok pesantren, hal tersebut dikarenakan pondok pesantren, merupakan suatu lembaga yang di dalamnya mengajarkan bagaimana cara beragama yang baik.
Dalam berdakwah banyak sekali yang menggunakan dalil dari hadis, hal tersebut dikarenakan hadis lebih mudah di hafal dari pada Alquran. Namun perlu kita ketahui tidak semua hadis bisa dijadikan dalil atau dasar dalam berdakwah.
Maka dari itu, kita perlu mengetahui hadis apa saja yang bisa digunakan sebagai dalil. Dalam kitab mushtholah hadis atau kitab yang menerangkan istilah- istilah hadis dan juga tingkat keshahihannya. Dan di dalamnya juga menjelaskan syarat syarat menjadi seorang rawi atau orang yang meriwayatkan hadis.
Istilah-istilah yang sering kita dengarkan adalah hadis shahih, hasan, dhoif, dan munqoti’. Dari nama-nama hadis tersebut yang boleh digunakan hanyalah hadis sahih dan hasan. Hal tersebut dikarenakan hadis tersebut mempunyai kelima syarat yang harus dimiliki hadis sahih rawi yakni.
Pertama muttashil, atau persambungan sanad, maksudnya sanad atau runtutan perawi dari hadis tersebut harus jelas. Kedua adil, dalam syarat kedua terdapat empat kriteria yakni beragama Islam, mukallaf, melakukan ketentuan agama, memelihara muruah (saleh).
Ketiga dabit, atau kuat hafalannya, jadi seorang rawi harus memiliki hafalan yang kuat atau memiliki ingatan yang sempurna. Keempat yaitu tidak adanya illat atau kecacatan baik itu di dalam sanad maupun di dalam matan. Kelima yakni tidak adanya syuyuz atau kejanggalan.
Pada zaman sekarang banyak sekali model atau bentuk dari dakwah, seperti dalam bentuk video atau audio. Nah, sebagai pengguna media sosial yang bijak kita harus bisa mengoreksi atau memilih dari konten konten dakwah yang ada. Seperti dengan cara melihat siapa yang berdakwah dalam video tersebut. Apakah hal yang disampaikan pendakwah tersebut sudah valid atau belum.
*) Santri di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur
Editor: Adis Setiawan