Penulis: Latifah Nur Hidayah*
Apa yang kalian ketahui tentang wanita? Ya, wanita ialah makhluk yang sangat mulia yang di ciptakan oleh Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa wanita itu perhiasan dunia, ratu dunia, dan masih banyak lagi terkait julukan-julukan wanita.
Memang, jika berbicara tentang wanita tak akan pernah ada habisnya sama halnya sewaktu kita membicarakan tentang harta dan tahta. Tapi, apa kalian tahu peran dan kedudukan wanita dalam berbagai agama juga berbeda-beda?
Nah, di artikel ini akan dibahas mengenai pandangan “wanita” dalam berbagai agama.
Dalam perspektif agama Islam sendiri, Islam menempatkan wanita pada harkat dan martabat yang terhormat, tidak kurang derajatnya dengan kaum laki-laki.
Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa’ (4) ayat 1 yaitu;
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.“
Lalu, dijelaskan oleh Muhammad Ali Al Shabuni dalam Kitab Tafsirnya menyatakan:
افتتح الله جل ثناؤه سورة النساء بخطاب الناس جميعاً ودعوتهم إلى عبادة الله وحده لا شريك له ، منبهاً لهم على قدرته التي خلقهم بها من نفس واحدة وهي ( آدم ) ، وخلق منها زوجها وهي ( حواء ) ، ونشر من تلك النفس وزوجها المخلوقة منها خلائق كثيرين ، فالناس جميعاً من أب واحد ، وهم إخوة في الإنسانية والنسب ، فعلى القوي أن يعطف على الضعيف ، وعلى الغني أن يساعد الفقير ، حتى يتم بنيان المجتمع الإنساني.
Artinya:
“Allah SWT memulai dengan ayat pertama pada surat tersebut yaitu hendak menyeru dan mengajak kepada seluruh umat manusia selain agar selalu beribadah dan juga tidak menyekutukan–Nya, juga ingin menyampaikan pesan yang sangat penting yaitu tentang hakikat kejadian manusia.”
Yakni, bahwasannya manusia diciptakan oleh jiwa “orang” yang satu, yaitu Adam serta pasangannya yaitu Hawa. Dengan kata lain, sejatinya seluruh manusia secara genealogi dan kemanusiaan bersaudara karena berasal dari satu orang ayah yang sama, sehingga harus saling tolong menolong antara yang kuat dengan yang lemah (laki–laki, perempuan) dan antara yang kaya dengan yang miskin, agar terciptalah tata kehidupan masyarakat yang harmonis.
Jadi, di dalam agama Islam mengenai ajarannya sesuai dengan Alquran dan Hadis telah menempatkan kedudukan seorang wanita pada posisi yang sangat terhormat dan mulia sesuai dengan kodrat dan tabiatnya, setara dengan kaum laki-laki dalam masalah kemanusiaan dan hak-haknya.
Lantas bagaimana dalam pandangan agama Kristen Protestan terkait peran dan kedudukan seorang wanita?
Dalam agama Kristen Protestan ketika berbicara mengenai wanita tidak akan terlepas berbicara mengenai Hawa, dalam agama mereka wanita pertama yang dijadikan Tuhan yaitu Hawa. Ia adalah ibu semua perempuan.
Menurut Al-Kitab dalam perjanjian lama, wanita telah dihukum karena dosa ibu mereka yaitu Hawa, dengan membawa beban kehamilan dan rasa sakit pada saat melahirkan.
Firman-Nya kepada perempuan itu yaitu: “Susah payahmu waktu mengandung akan kubuat sangat banyak, dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu, namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.”
Jadi, secara umum kedudukan wanita dalam Kristen Protestan berkisar dan bergantung kepada kisah wanita yang pertama dijadikan tuhan ini.
Lalu, pada abad ke 15 sampai dengan 17, periode tersebut menyaksikan bahwa wanita kehilangan sebagian hak di bidang ekonomi dan politik yang mereka nikmati sebelumnya.
Kecenderungan di bidang ekonomi juga menggeser wanita dari keanggotaan atau profesi yang bersifat mandiri atau pengetahuan yang dibutuhkan umum.
Contohnya : kedokteran, kebidanan maupun farmasi. Menjadikan wanita sekarang ini tergantung pada posisinya sebagai ibu rumah tangga dengan perekonomian yang di kontrol oleh laki-laki.
Mengapa bisa begitu? Karena kaum mereka menggunakan doktrin kesejajaran asli hanya untuk mengungkapkan rendahnya wanita berdasarkan kesalahan Hawa terhadap kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Sehingga karena dosa yang dibuatnya menjadikan wanita kehilangan kesejajarannya dengan laki-laki yang semula dimilikinya, dan kini ditundukkan oleh peraturan para suami.
Kaum wanita boleh mengeluh atas penderitaan dan kesusahan tersebut, tetapi mereka harus belajar untuk menerima hal itu sebagai hukuman yang adil yang diberikan oleh Tuhan bagi mereka. Jadi, peraturan tetap di tangan suami dan istri wajib mematuhinya atas perintah Tuhan.
Sedangkan dalam pandangan agama Katolik, status dan peran wanita di anggap sebagai apa?
Perempuan memainkan peran yang amat penting dalam kehidupan Gereja tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi perempuan juga harus hadir dalam dunia kerja dan organisasi masyarakat, lalu perempuan juga harus mempunyai akses kepada posisi tanggung jawab yang memungkinkannya mengilhami kebijakan bangsa yang tepat bagi masalah ekonomi dan sosial.
Perempuan dengan sukarela membaktikan seluruh waktunya untuk kerja rumah tangga tanpa mendapat stigma dari masyarakat atau hukuman finansial jika mereka ingin melibatkan diri ke dalam karya lain, mereka dapat melakukannya dengan jadwal kerja yang sesuai dan tidak terpaksa untuk memilih meninggalkan hidup keluarganya atau menahan stress bagi keseimbangan dan keserasian keluarganya.
Dalam sejarahnya perempuan dan agama dalam pandangan agama Katolik, bahwasannya mereka mengenal bunda Theresa dari Calcuta.
Yang mana itu adalah simbol perempuan yang menjalin harmoni dengan agama dalam melawan kekerasan, kemiskinan dan ketidakadilan.
Sebelum bunda Theresa, di kalangan agama Katolik terdapat para santa yang merelakan hidup dan kekudusan mereka untuk membela iman (dan agama) yang mana juga berhadapan dengan kekerasan budaya, sosial, ekonomi dan politik.
Lalu, Bagaimana Peran dan Kedudukan Wanita dalam Pandangan Agama Hindu?
Dalam Kitab suci Weda Sruti yang mana salah satu sumber hukum agama Hindu yang pertama dan utama, seorang Dewi (wanita). Memiliki kekuatan yang luar biasa, sehingga wajar bila menduduki posisi yang “terhormat”.
Murdha-asi rad dhruva-asi, Dharuna dhartri-asi dharani, Ayuse tva varcase tva, Krsyai tva ksemaya tva. Yang artinya : “Wahai wanita, engkau adalah perintis, cemerlang, mantap, pendukung, yang memberi makan dan menjalankan aturan-aturan seperti Bumi. Kami memiliki engkau di dalam keluarga untuk usia panjang, kecermalangan, kemakmuran/kesuburan pertanian dan kesejahteraan”. (Yajurveda, XIV. 21).
Diuraikan juga bahwa, setiap orang suka terhadap status yang dimiliki dan peran yang harus dilaksanakan, tetapi ternyata mereka “dipaksa” untuk menerima status dan peran tersebut karena sudah ditentukan semenjak anak-anak, bahkan semenjak lahir atau bahkan semenjak dalam kandungan. (Young dan Marck dalam Aminuddin Ram dan Tita Sobari, 1999 : 122).
Lalu, jika dikaji dalam kekhususan seorang wanita pada agama Hindu bahwa mereka percaya kepada kekhususan sumbangan yang diberikan wanita kepada dunia, karena dia memiliki tanggung jawab yang khusus dan tugas yang khusus.
Selama anak-anak tidak bisa diturunkan dari langit dan harus dikembangkan di dalam tubuh hidupnya, selama itu pula akan ada kewajiban khusus perempuan.
Dalam pandangan agama Buddha sendiri terkait Peran dan Kedudukan wanita yaitu :
Perempuan sebelum Sang Buddha datang, tidaklah memiliki peran dan kedudukan apapun. Hal inilah yang menghambat perempuan untuk bebas dalam mengekspresikan diri mereka.
Status dan peran wanita dalam Buddha Dharma adalah sama sebagaimana status pria sama-sama manusia tinggi rendah, lemah kuatnya ditentukan oleh perilakunya masing-masing bukanlah oleh jenis kelaminnya, karna sang Buddha mengajarkan Dharma kepada siapapun yang berkehendak untuk mendengarkannya kepada laki-laki dan wanita dari kasta apapun.
Lalu, di dalam kitab Anguttara Nikaya dijelaskan bahwa, “perempuan dapat menjadi seorang raja pemutar rota, seorang perempuan dapat menempati posisi Sakka, bahwa perempuan dapat menempati posisi Maradan bahwa perempuan dapat menempati posisi Brahma.”
Lalu Buddha berkata, bahwa : “Kamman satte vibhajati yadidam hinappanitataya”. Artinya: perbedaan setiap makhluk yang kasar atau yang halus ditentukan oleh perilakunya sendiri.” (MN : 135).
Setelah datangnya Buddha Gautama seorang perempuan sangat dimuliakan dan disejajarkan dengan kaum laki-laki. Buddha bersabda : “Kalau seorang perempuan tidak kalah lebih baik ketimbang seorang laki-laki, karena seorang perempuan akan melahirkan seorang Buddha lainnya.”
Lantas bagaimana Peran dan Kedudukan wanita dalam pandangan agama Konghucu?
Perempuan Konghucu dalam kitab suci Si Shu tentunya dapat menjadi panutan dan suri tauladan bagi perempuan Konghucu pada khususnya dan perempuan pada umumnya.
Lalu, masalah kedudukan wanita di dalam masyarakat konfusiani banyak diperbincangkan dan dipermasalahkan, ada suatu kesan bahwasannya wanita di dalam masyarakat konfusiani kurang mendapat pemuliaan, bahkan direndahkan dan tertindas.
Mereka dianggap tidak berhak menjadi penerus kurun keluarga, hanya terkungkung oleh urusan rumah dan sebagainya. Sedangkan peran wanita Konghucu dalam masyarakat dan pembangunan yaitu, dikaji pada karya dan pembagian kerja dalam Kitab Kesusilaan Wangsanegara Chou tertera bahwasannya kehormatan wanita adalah tauladan utama dalam menumbuhkan daun bebesaran, memelihara ulat sutra, dan membuat benang sutera.
Di dalam kitab catatan Kesusilaan, Kitab Peribadatan (I-Li) dan kitab tatacara/etiket (Ch,u-Li) dikatakan : cara memberi hormat kaum pria sebagian besar berhubungan dengan sikap binatang, sedangkan cara mempersembahkan hormat kaum wanita pada umumnya berhubungan dengan bentuk tumbuh-tumbuhan.
Jadi, dapat kita lihat bahwasannya peran dan kedudukan wanita dalam berbagai agama juga berbeda, lalu pandangan mengenai “wanita” dalam konteks agama-agama ini juga sangat beragam.
Nah, tujuan kita dengan membaca artikel ini yaitu kita dapat mengetahui pokok-pokok yang terkandung di dalamnya. Disamping itu dapat menambah pengetahuan, kita juga harus open minded kepada semua agama. Contohnya seperti judul ini, kita jadi menambah wawasan dengan mengetahui apa yang belum kita ketahui.
Lalu kita kembali lagi bahwasannya wanita dalam perspektif agama-agama sangat beragam tetapi ada satu kesamaan bahwasannya wanita itu makhluk yang terhormat serta makhluk yang sangat mulia.
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Prodi Studi Agama-agama
Editor: Adis Setiawan