Penulis: Safna Faradish Mei Diana Aliek*
Setiap orang tahu, bahwa Alqur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai way of life (jalan hidup) dan pedoman kehidupan bagi umat Islam di dunia.
Maka demikian, umat Islam perlu berusaha mempelajari, mengetahui dan memahami isi kandungan Alqur’an secara menyeluruh.
Sehingga pemahaman terhadapnya tidak hanya sebatas ‘tahu’ saja, melainkan berlanjut hingga tahap penelitian terhadap Alqur’an itu sendiri, seperti mendalami ilmu-ilmu yang mendukung dalam menafsirkan Alqur’an, yang kini dikenal dengan istilah ‘Ulum Alqur’an.
Di dalamnya, terdapat banyak sekali topik wacana yang menjadi bahasan ‘Ulum Alqur’an, salah satu diantaranya adalah ilmu asbab an-nuzul. Ilmu ini penting dipelajari dan diperhatikan agar seseorang tahu dan paham sebab-sebab atau konteks turunnya ayat Alqur’an.
Karena sebagaimana yang dikatakan para ulama, bahwa ayat-ayat Alqur’an diturunkan dengan dua bentuk.
Pertama, Allah menurunkan ayat-ayat Alqur’an tanpa suatu sebab atau peristiwa tertentu.
Kedua, Allah menurunkan ayat-ayat Alqur’an karena terjadi suatu sebab atau peristiwa.
Az-Zarqani membagi ayat-ayat Alqur’an yang turun karena terjadi suatu peristiwa menjadi tiga macam, yaitu:
Pertama, pertengkaran (khusumah) yang terjadi antara kelompok ‘Aus dan Khazraj yang disebabkan oleh niat jahat Yahudi sampai mereka berteriak; “as-silah, as-shilah”. Dari kejadian ini, Allah menurunkan QS. Ali ‘Imran [3]: 100, yaitu:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِن تُطِیعُوا۟ فَرِیقࣰا مِّنَ ٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡكِتَـٰبَ یَرُدُّوكُم بَعۡدَ إِیمَـٰنِكُمۡ كَـٰفِرِینَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikkan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.”
Kedua, kesalahan. Adalah ayat yang turun sebab ada perbuatan salah yang dilakukan oleh seseorang. Sehingga sebagai bentuk teguran, Allah menurunkan QS. an-Nisa [4] ayat 43, yaitu:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقۡرَبُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَـٰرَىٰ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk,”
Ayat ini turun ketika pada masa belum diharamkan khamr. Saat itu ada sahabat Nabi yang bernama Abdurrahman bin Auf melakukan jamuan. Ia mengundang para sahabat Nabi yang lain dan menjamunya dengan makanan dan minuman khamr. Mereka berpesta ria sampai mabuk.
Hingga pada saat maghrib tiba, mereka melaksanakan salat dengan diimami oleh Abdurrahman. Dalam salah satu riwayat, ketika salat Abdurrahman membaca ayat dari surah Al-Kafirun dengan bacaan yang salah dan ngelantur sehingga merubah maknanya. Oleh karenanya, Allah menurunkan ayat tersebut sebagai bentuk teguran.
Ketiga, cita-cita atau harapan, seperti turunnya QS. Al-Baqarah 2 ayat 125, yakni:
وَإِذۡ جَعَلۡنَا ٱلۡبَیۡتَ مَثَابَةࣰ لِّلنَّاسِ وَأَمۡنࣰا وَٱتَّخِذُوا۟ مِن مَّقَامِ إِبۡرَ ٰهِـۧمَ مُصَلࣰّىۖ وَعَهِدۡنَاۤ إِلَىٰۤ إِبۡرَ ٰهِـۧمَ وَإِسۡمَـٰعِیلَ أَن طَهِّرَا بَیۡتِیَ لِلطَّاۤىِٕفِینَ وَٱلۡعَـٰكِفِینَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang i’tikaf, yang rukuk dan yang sujud!”
Ayat tersebut turun ketika ada muwafaqat Umar bin Khattab RA kepada Allah dalam tiga persoalan. Maka Umar bin Khattab sampaikan kepada Rasulullah SAW, “wahai Rasulullah, bagaimana kalau maqam Ibrahim kita jadikan tempat salat..”, kemudian turun ayat perintah; (dan jadikanlah makam Ibrahim sebagai tempat salat).
Lalu Umar bin Khattab RA berkata, “wahai Rasulullah, sesungguhnya yang berkomunikasi dengan isteri-isterimu di antaranya ada yang shalih dan ada yang fajir (suka bermaksiat…”, kemudian turunlah ayat hijab, yakni dalam QS. Al-Ahzab 33 ayat 53.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa sebenarnya ilmu asbab an-nuzul sangat penting dipelajari guna memahami makna Alqur’an sehingga tidak terjadi kesalah pahaman dalam menafsirkannya.
Nah, untuk merujuknya yaitu melalui jalur riwayat (hadis) atau mendengar secara langsung dari para sahabat yang menyaksikan dan mendangar peristiwa turunnya ayat.
Jadi, riwayat atau pernyataan shahih dari sahabatlah yang boleh dijadikan pedoman dalam menentukan atau memahami asbab an-nuzul.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Al-Wahidi, “tidak boleh menceritakan tentang sebab-sebab turunnya Alqur’an kecuali dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab dan pengertiannya.”
Wallahu ‘alam bi al-shawab
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Editor: Adis Setiawan