Sumber: Almuflihun.com |
KULIAHALISLAM.COM – Suatu kali dalam sebuah diskusi, ada yang mengkaitkan persoalan fikih. Lalu ia bertanya, pendapat manakah yang paling sesuai sunnah? Bagi yang terbiasa belajar ilmu fikih, pertanyaan ini tentu serasa aneh.
Karena jika kita buka seluruh kitab-kitab mazhab, sumber utama yang dijadikan rujukan adalah Alquran, lalu sunnah Rasulullah SAW, lalu ijmak dan qiyas. Ini artinya bahwa para ulama mazhab ketika berijtihad, bukan semata dari akal mereka, namun punya landasan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.
Lantas mengapa mereka bisa berbeda?
Bagi para ulama, tidak sederhana untuk dapat memahami Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Banyak perangkat dan cabang ilmu yang diperlukan, seperti kemampuan bahasa Arab, asbabun nuzul, nasikh mansukh dan lain sebagainya.
Guna mendapatkan pemahaman yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka para ulama meletakkan metodologi penggalian hukum yang kemudian dikenal dengan ilmu ushul fikih. Tidak jarang terjadi perbedaan pandangan di antara para ulama tentang metode yang mereka gunakan, yang pada akhirnya berimplikasi pada hasil ijtihad mereka. Dari sini pula muncul variasi mazhab fikih.
IImu ushul fikih juga bukan ilmu yang konstan, yang datang dengan penuh kesempurnaan. Ilmu ini muncul dalam rentang sejarah yang sangat panjang, dari masa sahabat hingga masa kita saat ini. Berbagai perubahan dan koreksi selalu dilakukan sehingga ilmu ini semakin sempurna.
Para ulama kita terdahulu juga sangat terbuka dengan ilmu-ilmu lain yang tumbuh dan berkembang saat itu, bahkan mereka tidak segan untuk mengadopsi cabang ilmu lain yang lahir bukan dari rahim umat Islam, seperti ilmu logika Aristotelianisme yang kemudian dijadikan alat bantu dalam sistem penggalian hukum. Tentu saja setelah dilakukan berbagai penyesuaian sehingga sesuai model ijtihad yang mereka inginkan.
Meski terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, namun mereka tidak pernah mengklaim bahwa pendapat mereka paling benar. Mereka tetap merasa bahwa pendapat benarnya, namun masih ada kemungkinan salah. Demikian juga pendapat orang lain dianggap salah, namun masih ada kemungkinan benar.
Pandangan seperti ini melahirkan sikap toleran dan upaya untuk melakukan tinjauan ulang atas ijtihad yang mereka hasilkan. Mereka tidak segan-segan untuk meralat fatwa mereka manakala dikemudian hari diketahui bahwa pendapat ulama lain ternyata yang dianggap lebih benar.
Situasi dan kondisi yang berbeda juga sangat memungkinkan untuk muncul fatwa yang berbeda pula. Bukan bearti ulama kita tidak konsisten dengan fatwa mereka, namun situasi dan kondisilah yang menuntut mereka untuk mencari ketetapan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan umat.
Ini terlihat dari mazhab Syafii yang mempunyai pandangan berbeda ketika masih di Irak dan di Mesir. Persoalan yang dihadapi Imam Syafii ketika berada di Bagdad tentu berbeda dengan persoalan yang beliau hadapi ketika berada di Kairo.
Perbedaan pendapat adalah keniscayaan. Ia muncul bersama dengan munculnya umat manusia di muka bumi ini. Jika dikehendaki, niscaya seluruh umat manusia dimuka bumi ini hanya memiliki satu pendapat saja. Namun kenyataannya tidak demikian.
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. (QS: an-Nahl: 93)
Perbedaan pendapat justru akan berdampak positif jika disikapi secara apik. Perbedaan bearti muncul sekian solusi atas persoalan umat. Dari beberapa solusi tersebut, bisa diambil mana yang kiranya lebih sesuai dengan kemaslahatan umat.
Apakah perbedaan tadi, berarti ada pendapat yang jauh dari sunnah? Tentu tidak. Semua pendapat ulama sesuai dengan sunnah. Hanya saja, setiap ulama mempunyai standar sendiri-sendiri dalam menentukan hukum.
Bagi ulama tertentu, suatu persoalan dianggap kuat sementara bagi ulama lain dianggap lemah. Dari sini, maka ulama kita sering mengatakan, pendapat ini paling rajih, pendapat ini paling kuat, pendapat ini yang saya pilih dan lain sebagainya.
Jadi ulama kita dulu tidak menggunakan redaksi, pendapat ini yang paling sesuai dengan sunnah. Mengapa demikian? Karena semua ulama menyadari bahwa mereka berijtihad untuk memahami sunnah. Mereka juga memahami bahwa para ulama semuanya mencintai sunnah Rasulullah SAW.
Istilah “pendapat ini yang sesuai dengan sunnah”, baru muncul belakangan ini dengan gerakan “sunnah” yang selalu merasa dirinya paling sunnah sementara kelompok lain yang berbeda pendapat dianggap tidak nyunah.
Kelompok ini sering menegaskan pendapat lain dan merasa paling benar. Bahkan fatalnya, kelompok ini mudah menyalahkan, membid’ahkan bahkan menuduh syirik kelompok lain yang berbeda.
Sesungguhnya, mereka ini kurang mendalami ilmu fikih dan ilmu ushul fikih. Mereka mengira bahwa fikih hanya dapat dipahami secara literal dengan membaca teks apa adabya. Padahal teks saja, terkadang banyak varian dan banyak macam. Andai teksnya samapun terkadang cara memahami teks berbeda.
Jadi, janganlah mudah mengkalim pendapatnya paling sesuai sunnah sementara pendapat lain menyelisihi sunnah. Sikap seperti ini tida bijak dan menegaskan ijtihad ulama lain padahal sesungguhnya ruang ijtihad sangat terbuka. Wallahu a’lam
Tulisan ini di setujui oleh Ustaz Wahyudi untuk terbit di Kuliahalislam.com
Oleh: Ustaz Wahyudi Abdurrahim, Lc., M.M