Penulis: Aisyah Ramadhani Anshory*
Sekitar pertengahan abad kesembilan hingga awal abad sepuluh masehi adalah masa kejayaan wilayah Mesir dan sekitarnya di bawah kepemimpinan dinasti Fathimiyah yang beraliran Syiah.
Di era tersebut, saat benua Eropa masih tenggelam dalam zaman kegelapan, dinasti Fathimiyah yang berpusat di kota Kairo berhasil meraih kemajuan luar biasa dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Para pemikir, ahli sastra, dan berbagai kalangan akademisi berkumpul di ibukota kekhalifahan untuk menyumbang karya-karya mereka. Bahkan dapat dikatakan, kegemilangan ilmu pengetahuan dinasti Fathimiyah di Kota Kairo pada zaman itu sedang menyaingi kota Baghdad milik kekhalifahan Abbasiyah.
Kemajuan ilmu pengetahuan di zaman dinasti Fathimiyah tak terlepas dari tiga sosok khalifah yang sukses mengelola negaranya dengan baik. Mereka adalah Al-Muiz Lidinillah (953-975 M), Al-Aziz Billah (975-996 M), dan Al-Hakim Biamrillah (996-1021 M). Kesuksesan ketiganya mengantarkan dinasti Fathimiyah menuju masa keemasannya baik dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, dan militer.
Mungkin hari ini tidak banyak hal yang diketahui mayoritas umat Islam tentang apa saja peninggalan dari dinasti yang didirikan pada 297 H/910 M ini. Namun demikian, penulis yakin para pembaca di sini tahu satu warisan besar dari dinasti ini.
Warisan tersebut telah bertahan selama lebih dari seribu tahun di tanah Mesir. Peninggalan berupa institusi pendidikan terkenal yang kini banyak diimpikan pelajar muslim sebab banyaknya sarjana dan cendekiawan muslim yang mengajar di sana, yaitu universitas Al-Azhar.
Selain universitas Al-Azhar, salah satu khalifah dari dinasti Fathimiyah, Al-Hakim, juga mendirikan sebuah lembaga yang memfasilitasi pertemuan para ahli di berbagai bidang ilmu untuk memajukan pengetahuan mereka tentang filsafat, kedokteran, matematika, astronomi, dan banyak lainnya pada tahun 1005 M.
Lembaga tersebut dinamai Daarul Hikmah, yang pada dasarnya terinspirasi dari Baitul Hikmah di Kota Baghdad. Bangunan Daarul Hikmah sendiri terdiri atas perpustakaan besar dan sebuah ruang baca yang menjadi tempat berdiskusi para ahli ilmu di zaman tersebut.
Demi mendukung keberlangsungannya, khalifah mengeluarkan dana operasional setiap tahun yang dialokasikan untuk memperbanyak manuskrip, memperbaiki buku, dan pemeliharaan umum. Total uang yang dikeluarkannya bahkan diasumsikan mencapai 257 dinar per tahun. Jumlah uang yang sangat besar di zaman tersebut.
Dari sekian banyaknya ilmuwan terkenal di zaman itu, salah satunya adalah Abu al-Hasan Ali bin Abi Said Abdurrahman bin Ahmad bin Yunus as-Sadafi, atau yang lebih umum dikenal sebagai Ibnu Yunus. Beliau adalah seorang ahli astronomi yang telah menyusun tabel-tabel astronomi sebanyak empat jilid yang kelak diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Salah satu penemuan terpentingnya adalah pendulum atau bandul ayunan yang digunakan untuk mengukur detik-detik waktu dalam observasi benda-benda angkasa. Pencapaian ini beliau raih sekitar 600 tahun sebelum Galileo Galilei yang disebut sebagai ‘Bapak Astronomi’ hidup.
Salah satu fakta menarik lain tentang dinasti Fathimiyah adalah bahwa dinasti ini pernah memiliki dua ibukota lain sebelum Kota Kairo. Pada awal pendiriannya, Fathimiyah menjadikan kota Raqqadah sebagai ibukotanya.
Kemudian di tahun 914 M mereka bergerak menaklukkan berbagai daerah di sepanjang pantai Afrika Utara hingga akhirnya mendirikan ibukota baru bernama Al-Mahdiyah di Tunisia pada tahun 921 M.
Setelah memperoleh kekuatan yang cukup besar, pasukan Fathimiyah memasuki Mesir dan menaklukkan penguasanya yang telah melemah, yakni dinasti Ikhshidiyah. Keberhasilan penaklukan ini kemudian menjadi era baru bagi Mesir dan sekitarnya sekaligus menjadi awal dibangunnya Kota Kairo sebagai pusat pemerintahan yang baru.
Di bawah pemerintahan Fathimiyah, ekonomi Mesir mengalami kemajuan sebab kebijakan yang sukses seperti peningkatan produktivitas lewat fokus mereka dalam mengembangkan pertanian di pinggiran Sungai Nil dan beberapa lokasi yang dikhususkan sebagai lahan pertanian.
Mereka juga membangun jaringan perdagangan luas dengan banyak wilayah dari Asia, Eropa, dan Laut Tengah. Sebagai penghubung dengan dunia luar, Kota Fustath berdiri menjadi satu di antara pusat perdagangan yang menerima dan mengirim barang ke luar negeri.
Kekayaan yang begitu melimpah ini mendatangkan kemakmuran bagi penduduknya. Khalifah membangun banyak masjid, perguruan tinggi, rumah sakit, dan banyak fasilitas publik lain yang bermanfaat bagi masyarakat. Istana khalifah sendiri begitu megah dan oleh sekitar 30.000 orang yang terdiri dari pelayan dan pengawal.
*) Mahasiswa Prodi Tasawuf dan Psikoterapi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Editor: Adis Setiawan